Baghdad, Purna Warta – Menyusul pernyataan Komite Koordinasi Perlawanan Irak, juru bicara kelompok perlawanan Kataib Sayyid al-Syuhada menekankan bahwa perang di masa depan dalam melawan Amerika Serikat akan terbuka dan intens, jika pihak AS tidak mundur dari wilayah Irak dalam jangka waktu yang ditentukan.
Kazem Al-Fartousi, juru bicara kelompok perlawanan Kataib Sayyid al-Syuhada Irak mengeluarkan pernyataan tersebut dalam sebuah wawancara dengan Jaringan pemberitaan Rudaw, setelah adanya pernyataan terbuka dari Komite Koordinasi Poros Perlawanan Irak pada hari Sabtu (20/11).
Baca Juga : Arab Saudi Habiskan $ 63 Miliar untuk Membeli Senjata AS dalam Perang Yaman
Komite Koordinasi Kelompok Poros Perlawanan Irak mengumumkan kemarin sore bahwa mereka tidak melihat tanda-tanda pasukan AS meninggalkan Irak. Pihak poros perlawanan hanya akan memberikan jangka waktu tertentu supaya pasukan asing meninggalkan Irak.
Menyusul pernyataan tersebut, Sekretaris Jenderal Kitab Sayyid al-Syuhada meminta kelompok poros perlawanan untuk meningkatkan kesiapan mereka dan mempersiapkan perjuangan yang menentukan dalam melawan penjajah Amerika.
“Pemerintah telah melakukan usaha terbaik dengan tanggal yang diumumkan oleh Perdana Menteri Mustafa al-Kazemi selama kunjungannya ke Amerika Serikat, hanya saja AS belum menunjukkan komitmennya,” kata juru bicara Sayyid al-Syuhada dalam wawancara jaringan pemberitaan Rudaw.
Baca Juga : Haniyeh: Kebijakan Inggris Untuk Kriminalisasi Bangsa Palestina
Selanjutnya Jubir Kataib mengatakan bahwa sekitar 3.500 tentara asing masih berada di Irak, di mana 2.500 di antaranya adalah orang Amerika.
“Kami hanya berusaha untuk melawan kehadiran Amerika Serikat dan pasukan asing lainnya di tanah Irak. Oleh sebab itu operasi akan datang akan langsung, terbuka, dan intensif. Meskipun kelompok poros perlawanan mematuhi prinsip-prinsip etika dalam operasi mereka melawan kekuatan-kekuatan ini, tetapi perang masa depan akan terbuka, dan sebagai hasilnya, tidak ada pihak manapun yang akan berada di luar wilayah konflik,” tambah al-Fartousi.
Al-Fartousi mencatat: “Pemerintah menggunakan semua cara yang ada untuk membujuk AS keluar dari Irak, meskipun kami sama sekali tidak puas dengan pertunjukan penarikan pasukan AS yang telah terjadi. Kami menanggapi pengumuman ini dengan serius untuk memenuhi tuntutan rakyat , dan kami bukan pihak yang memulai perang.”
Baca Juga : Komandan Penasihat Iran di Suriah Berubah
“Sejak saat pertama, sebelum Perdana Menteri Mustafa al-Kazemi berangkat ke Amerika Serikat, kami mengetahui bahwa strateginya adalah sebuah kesalahan, karena AS sama sekali tidak ada keinginan untuk keluar dari Iran, dan hal ini disadari oleh para jenderal Amerika sendiri,” katanya.
Pasukan AS memasuki Irak pada tahun 2014 atas permintaan pemerintah Irak untuk memerangi ISIS, yang pada saat itu ISIS telah menduduki sepertiga dari negara itu. Dengan dalih ini, Amerika Serikat mengirim 3.000 tentaranya ke Irak dalam bentuk koalisi internasional yang disebut Anti ISIS, di mana 2.500 di antaranya adalah tentara Amerika Serikat.
Meskipun beberapa putaran pembicaraan strategis antara Baghdad dan Washington untuk mengakhiri kehadiran militer AS di Irak karena berakhirnya perang melawan ISIS dan persetujuan rencana untuk mengusir semua pasukan asing dari wilayah Irak atas kesepakatan parlemen Irak telah dilakukan, AS masih melanggar resolusi ini di lapangan.
Baca Juga : Serangan Baru Faksi Populer Terhadap SDF di Al-Hasakah
Parlemen Irak pada Januari 2020 telah sepakat mengusir pasukan Amerika dari negaranya, menyusul tindakan kriminal AS dalam pembunuhan Syahid Qassem Soleimani, komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam, dan Abu Mahdi al-Mohandes, wakil kepala Organisasi Mobilisasi Populer Irak.
Para pejabat AS sejauh ini membuat pernyataan kontradiktif tentang usaha meninggalkan Irak. Beberapa dari pejabat AS telah mengumumkan mengenai pembicaraan serius dengan pejabat Irak dalam hal penarikan pasukan AS dari Irak, sedangkan pejabat Washington lainnya seperti Jenderal Kenneth F.McKenzie Jr, komandan Komando Pusat AS mengatakan negaranya dalam jumlah besar akan tetap berada di Irak, dan ia mengklaim hal tersebut atas permintaan Baghdad.