Tehran, Purna Warta – Pemerintah AS tidak pernah melaksanakan kewajiban berdasarkan kesepakatan nuklir Iran 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), dan gagal menyerahkan perjanjian untuk diratifikasi Senat, menurut seorang analis politik Amerika.
Charles Dunaway membuat pernyataan dalam sebuah wawancara pada salah satu saluran televisi pada hari Jumat (17/6) setelah Presiden Iran Ibrahim Raisi mengatakan bahwa dunia harus memberi Iran hak untuk tidak mempercayai AS karena tindakannya yang tidak konsisten.
Baca Juga : Pembunuh Syahid Soleimani Menceritakan Detail Operasi Pembunuhan
“Di satu sisi, Amerika Serikat mengirim pesan bahwa mereka siap untuk bernegosiasi, tetapi di sisi lain, mereka menambahkan sanksi. Dunia harus memberi kita hak untuk tidak mempercayai mereka,” katanya.
Pernyataannya muncul setelah pemerintahan Presiden AS Joe Biden pada hari Kamis memberlakukan babak baru sanksi terhadap produsen petrokimia Iran serta jaringan perusahaan China, Emirat dan India atas apa yang digambarkan Departemen Keuangan AS sebagai usaha untuk memfasilitasi ekspor minyak Iran.
Departemen Keuangan AS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa langkah-langkah pembatasan baru ditujukan untuk menumpuk tekanan pada Iran di tengah negosiasi yang macet untuk menghidupkan kembali kesepakatan Iran 2015.
Pada hari Jumat (17/6), Menteri Luar Negeri Iran Husein Amir Abdullahian juga menegaskan kembali tekad Tehran untuk melanjutkan pembicaraan tentang kebangkitan kembali perjanjian multilateral 2015 tetapi menyerukan diakhirinya “kegilaan sanksi” Washington dan “pendekatan politis” Badan Energi Atom Internasional atas program nuklir negara itu.
Baca Juga : Putin: Era Dunia Unipolar Sudah Berakhir
Amir Abdullahian mengatakan pemerintah Iran mematuhi undang-undang parlemen Desember 2020, yang mewajibkan Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) untuk lebih mengurangi komitmen nuklir negara itu terhadap kesepakatan Iran 2015 sebagai tanggapan atas penarikan AS dari perjanjian tersebut.
“Dalam beberapa hal, JCPOA mewakili titik balik dalam diplomasi AS. Sejak runtuhnya Uni Soviet, elit AS merasakan momen unipolar mereka, AS bernegosiasi dengan negara-negara lemah atau negara-negara yang pemerintahannya dipimpin oleh kepentingan pro-AS. Dalam kasus itu, AS hanya mendikte persyaratan, mengeluarkan ancaman, dan menuntut persetujuan, ”kata Dunaway.
“Dengan Iran, negara yang lebih besar, lebih kuat, maka negosiasi ala AS itu tidak mungkin dilakukan. Pemerintahan AS pimpinan Obama ketika itu mengambil rute yang berbeda, dia menyetujui beberapa tuntutan Iran untuk menyatakan kemenangan diplomatik, tetapi tidak pernah melaksanakan kewajiban JCPOA berdasarkan perjanjian. Pemerintahan Obama juga gagal menyerahkan perjanjian untuk ratifikasi Senat, sehingga menghapus komitmen konstitusional untuk perjanjian pada pemerintah berikutnya, “tambahnya.
“Presiden Obama mengetahui bahwa JCPOA tidak akan pernah diratifikasi oleh Senat karena tekanan dan lobi Zionis. Tim Presiden Biden sadar bahwa perjanjian baru apa pun juga tidak dapat diratifikasi. Oleh karena itu hal ini menjadi sebuah masalah praktis, dan tidak ada kesepakatan antara AS dan Iran yang dapat dijamin setelah Januari 2024, dan juga sangat tidak mungkin Kongres yang didominasi Zionis akan mengizinkan pengurangan sanksi yang serius terhadap Iran,” katanya.
Baca Juga : AEOI: Iran Laporkan Kepada IAEA Tentang Natanz Meskipun Tidak Ada Kewajiban
“Usia lanjut Presiden Biden berarti dia tidak mungkin dicalonkan untuk masa jabatan kedua, dan Partai Demokrat tidak memiliki kandidat yang mumpuni untuk menentang Partai Republik, terutama jika Donald Trump mencalonkan diri lagi. Jika JCPOA dihidupkan kembali, maka perjanjian itu akan mati pada 2024, ”katanya.
“AS tidak bisa begitu saja merundingkan perjanjian diplomatik yang langgeng dengan salah satu musuh yang ditunjuknya. Kaum neokonservatif mendominasi kepemimpinan kedua belah pihak dan mereka berkomitmen pada hegemoni total AS atas dunia. Setiap perjanjian dengan Rusia, China, Kuba, Venezuela atau Iran tidak akan dapat diratifikasi dan kemungkinan akan ditolak oleh pemerintahan berikutnya. Neokonservatif juga merupakan Zionis yang berdedikasi dan menentang perjanjian apa pun dengan Iran yang tidak sesuai dengan persetujuan rezim Zionis,” kata Dunaway.
“Seperti yang dikatakan Rusia, AS tidak mampu membuat kesepakatan. Pemerintahan Biden hanya memasuki negosiasi untuk menjaga penampilan dan mengulur waktu, sementara rezim Israel bertindak dengan agresif dan impunitas yang semakin meningkat terhadap mereka yang mengancam rezim apartheidnya. Pembunuhan Shireen Abu Akleh baru-baru ini, pemboman bandara Damaskus, ancaman terhadap kediaman Presiden Suriah, dan meningkatnya kekerasan pendudukan menunjukkan bahwa rezim Israel telah diberikan kekuasaan penuh oleh AS. Amerika Serikat lebih mungkin mendukung serangan militer terhadap Iran daripada perjanjian damai, ”kata analis itu.
“Pemerintah Iran telah bernegosiasi dengan itikad baik dan menunjukkan komitmennya terhadap perdamaian dan hukum internasional. Amerika Serikat tidak dapat melakukan hal yang sama,” tegas Dunaway.
Baca Juga : Dubes Iran: Rusia Adalah Negara Tetangga Prioritas Utama Dalam Kerja Sama