Perundingan Positif atau Perangkap Baru? Membaca Tanda-tanda di Balik Muscat

Purna WartaPada Sabtu, 26 April 2025, kantor berita Reuters melaporkan bahwa seorang pejabat senior pemerintah Amerika Serikat menyebut putaran ketiga perundingan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat di Muscat sebagai “positif dan konstruktif.” Namun, klaim ini patut dipertanyakan, terutama jika kita menilai dari perspektif historis dan geopolitik yang lebih luas.

Mengapa Amerika Serikat, yang sebelumnya mencatatkan kegagalannya dalam kesepakatan nuklir dengan Iran, kini berusaha membangun narasi “positif” seputar perundingan yang sebenarnya sangat sensitif dan berisiko bagi kedua belah pihak? Klaim bahwa perundingan ini bersifat konstruktif jelas mengundang keraguan, mengingat fakta bahwa Washington tetap memperlihatkan sikap yang tidak seimbang dalam penyelesaian masalah-masalah mendalam, termasuk isu sanksi dan pengakuan terhadap hak-hak kedaulatan Iran.

Bahkan, pejabat AS yang dikutip Reuters mengakui bahwa “masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” sebuah pengakuan yang jujur namun kontras dengan klaim “kemajuan” yang terus disampaikan oleh media Barat. Jika memang perundingan ini “positif,” mengapa kedua pihak harus terus berputar-putar dalam kesepakatan yang sudah jelas sejak awal: Amerika tidak siap untuk memberikan jaminan yang dibutuhkan Iran untuk memastikan bahwa kesepakatan yang tercapai tidak akan dihancurkan di masa depan seperti yang terjadi pada era Donald Trump dengan penarikan sepihak dari JCPOA (Perjanjian Nuklir Iran)?

Klaim ini semakin mengundang kecurigaan ketika kita mempertimbangkan format perundingan yang berlangsung tidak langsung. Artinya, meskipun ada pembicaraan antara perwakilan Iran dan AS, keduanya tidak duduk di meja yang sama. Hal ini bukan hanya simbol ketidaksetaraan, tetapi juga mencerminkan ketidakseriusan AS dalam membangun hubungan yang saling menghormati. Apa yang mereka sebut “positif” lebih tampak seperti permainan diplomatik yang berusaha menciptakan kesan bahwa ada kemajuan meskipun ada penghalang nyata yang tidak dapat diatasi tanpa keputusan yang berani.

Lebih lanjut, Menteri Luar Negeri Oman, Badr Al-Busaidy, dalam pernyataan terbarunya di platform X (dulu Twitter), menekankan bahwa perundingan ini didasarkan pada “keinginan bersama untuk mencapai kesepakatan” yang “didasarkan pada rasa saling menghormati.” Namun, pertanyaannya adalah: apakah benar bahwa rasa saling menghormati ini ada, atau apakah yang sebenarnya terjadi adalah sebuah upaya untuk menekan Iran agar menuruti agenda yang tidak seimbang demi keuntungan AS?

Tidak cukupkah pengalaman pahit negara-negara seperti Palestina, Sudan, Bahrain, dan Maroko yang telah menandatangani perjanjian dengan Israel dan Amerika, hanya untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa normalisasi itu tidak membawa stabilitas atau keamanan jangka panjang? Setiap kali Washington berbicara tentang “kemajuan,” yang mereka maksud adalah pengorbanan yang lebih banyak lagi atas prinsip kedaulatan negara-negara yang lebih lemah, dengan janji-janji kosong tentang “perdamaian” yang sering kali tidak pernah terwujud.

Jangan lupa, pada akhir putaran ketiga perundingan ini, pejabat senior AS mengakui bahwa meskipun ada kemajuan, “masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.” Namun, pernyataan ini semakin memperjelas bahwa apa yang dijanjikan dalam perundingan ini lebih merupakan pengulangan dari kebijakan diplomatik lama yang penuh jebakan — kesepakatan yang lebih menguntungkan AS dan sekutunya, dengan sedikit atau tanpa manfaat nyata bagi Iran.

Suriah, Palestina, Yaman, Lebanon dan seluruh kelompok Perlawanan harus tetap waspada. Perundingan ini mungkin menawarkan ilusi kemajuan, tetapi esensi dari setiap kebijakan Amerika adalah untuk mengontrol, menekan, dan menundukkan, bukan untuk membangun kesepakatan yang adil dan menguntungkan semua pihak. Ketika Washington berbicara tentang “kemajuan,” itu adalah kode untuk mengatur langkah berikutnya dalam menjauhkan Iran dari jalur perlawanan, dan semakin mendekatkan mereka pada jebakan perdamaian palsu yang diatur oleh kepentingan imperialisme.

Iran tidak boleh terlena dengan narasi “positif” yang dibangun oleh Washington dan media Barat. Ini adalah pertempuran yang jauh lebih besar dari sekadar isu nuklir. Ini adalah pertarungan untuk mempertahankan kedaulatan, martabat, dan hak rakyat Iran atas masa depan mereka sendiri, tanpa campur tangan dari kekuatan imperialis.[MT]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *