Sao Paolo, Purna Warta – Pemanasan global yang disebabkan manusia bukan El Nino yang menjadi sebab utama kekeringan parah Amazon tahun lalu yang membuat sungai Amazon berada di titik terendahnya. Hal itu mengakibatkan komunitas sungai membutuhkan kiriman air dan makanan serta membunuh banyak lumba-lumba yang terancam punah, kata para peniliti, Rabu (24/01).
Baca Juga : Mogok Kerja Nasional, Warga Argentina Lawan Reformasi Penghematan Milei
Perubahan iklim dan El Nino sama-sama berkontribusi dalam menurunnya curah hujan. Namun menaiknya suhu global merupakan faktor utama kekeringan menurut World Weather Attribution. Sebuah inisiatif yang mengumpulkan para peniliti iklim untuk segera menganalisa kejadian ekstrem dan kemungkinan adanya hubungan dengan perubahan iklim.
Kekeringan berpengaruh dalam pertanian, dimana gabungan dari menurunnya curah hujan dan kondisi yang panas membuat kelembaban tanaman dan tanah menguap. Penguapan yang muncul dari panas adalah faktor penting dari parahnya kekeringan, kata rekan penulis penilitian Frederike Otto, ilmuwan iklim di Imperial College of London.
“apa yang kini terjadi setiap 50 tahun sekali akan terjadi lebih sedikit jika dunia 1,2 C lebih dingin. Jika kita terus menaikkan suhu iklim, kombinasi sedikitnya curah hujan dan naiknya suhu akan semakin sering terjadi” kata Otto dalam konferensi berita pada Rabu (24/01).
Tim menggunakan metode yang diterima secara saintifik melalui simulasi kejadian cuaca di komputer, menampilkan dunia fiksi tanpa pemanasan global lalu membandingkan hasilnya dengan apa yang benar-benar terjadi.
Baca Juga : Deepfake Berkembang Tanpa Regulasi Etik, Paus Layangkan Himbauan
Kekeringan di Amazon – hutan hujan terbesar di dunia dan berperan penting dalam menyimpan karbon dioksida yang tanpanya akan berkontribusi terhadap pemanasan global – terjadi ketika dunia sedang mengalami tahun terpanas yanng pernah tercatat. Planet ini mengalami kenaikan mendekati 1.5 C untuk pertama kali sejak pra-industri. Negara-negara berharap supaya suhu tetap demikian untuk menghindari konsekuensi perubahan iklim semacam panas mematikan, naiknya permukaan air laut dan kebakaran liar.
Di Tefe Lake, Brazil suhu air naik menjadi 39,1 C yang diduga mengakibatkan kematian lebih dari 150 lumba-lumba pink dan lumba-lumba air tawar tuxuci dua spesies terancam punah. Sepanjang sungai Amazon warga melihat tanaman-tanaman mati dan ikan menghilang ditambah perjalanan menjadi mustahil karena rendahnya permukaan air yang membentuk antrean panjang sepanjang tepi sungai untuk menerima bantuan. Di Manaus, kota terbesar di daerah tersebut lebih dari 2 juta orang mengalami sesak nafas karena asap dari kebakaran liar.
Rekan penulis studi Regina Rodrigues dari Federal University of Santa Catarina mengatakan bahwa kekeringan menggarisbawahi pentingnya Amazon dalam perlawanan terhadap perubahan iklim.
“Jika kita melindungi hutan, ia akan melanjutkan perannya sebagai penampungan karbon berbasis tanah terbesar di dunia” kata Rodrigues “tapi jika kita biarkan emisi buatan manusia dan deforestasi terus berlanjut melampaui level krisis, maka ia akan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida yang akan mempersulit perjuangan kita melawan perubahan iklim”.
Baca Juga : Vandalisme di Melbourne, Patung Kapten Cook Australia Dirusak
Luiz Candido seorang meteorologis bersama dengan Institut Nasional Penelitian Amazon di Brazil, yang tidak berpartisipasi dalam studi, mengatakan bahwa penemuan tersebut membantu konsensus saintifik bahwa variasi iklim di area telah melonjak ke kondisi yang ekstrem.
Tapi Candido membantah bahwa interaksi antara laut, atmosfir dan hutan adalah interaksi yang rumit dan tidak mungkin memisahkan pengaruh variabel iklim alami dari pemanasan global yang disebabkan manusia. Ia juga mempertanyakan apakah studi melebih-lebihkan peran penguapan tanaman, ia menyebutkan bahwa banyak tanaman Amazon yang akarnya lebih dalam dari tanaman budidaya serta mampu mendapatkan kelembaban dengan meraih bagian tanah yang lebih dalam.