Tragedi Pengungsi Gaza di Malam-Malam Dingin

Hujan Gaza

Gaza, Purna Warta – Sumber-sumber lokal dan pemerintahan di Gaza menegaskan bahwa krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memburuk akibat hujan deras yang terus berlanjut. Mereka  para pengungsi terpaksa bermalam di udara terbuka saat hujan dan suhu dingin semakin parah. Kini, hujan telah berubah menjadi mimpi buruk bagi warga Gaza.

Musim Dingin: Musim Penderitaan di Gaza

Dengan turunnya hujan pertama, lebih dari satu setengah juta pengungsi di Jalur Gaza mendapati diri mereka berada di dalam tenda-tenda lusuh yang terendam air hujan dan banjir. Situasi ini mencerminkan kedalaman tragedi kemanusiaan yang kian hari makin meluas.
Musim dingin yang dulu dianggap singkat dan indah, kini berubah menjadi musim penuh kesakitan: tenda-tenda ambruk, kamp-kamp berubah menjadi kubangan lumpur, dan rumah-rumah setengah hancur runtuh menimpa penghuninya.

Meskipun gencatan senjata telah berlaku sejak sebulan lalu, musim dingin tahun ini tetap sama keras dan menyakitkan bagi para pengungsi seperti dua tahun masa perang. Keluarga-keluarga pengungsi berdiri di antara langit yang terus diguyur hujan, tanah berlumpur penuh puing, serta perbatasan tertutup yang bahkan menahan kebutuhan paling dasar untuk bertahan hidup.

Setiap hujan baru semakin memperburuk kondisi para pengungsi yang kekurangan kebutuhan dasar, kesulitan mengakses barang penting, dan kekurangan layanan vital di bawah blokade ketat yang diberlakukan Israel terhadap Jalur Gaza.

93 Persen Tenda Tidak Lagi Layak Huni

Dalam pernyataan terbarunya, Kantor Informasi Pemerintah Gaza menyebutkan bahwa meningkatnya cuaca dingin dan intensitas hujan telah menambah penderitaan para pengungsi. Disebutkan bahwa 93 persen tenda tidak lagi layak digunakan, dan dari 135.000 tenda, sebanyak 125.000 telah rusak.

Mereka menegaskan bahwa puluhan ribu tenda rusak akibat pemboman, kerusakan sebagian, ataupun faktor alam, sehingga ratusan ribu keluarga kini tak memiliki perlindungan dari hujan dan dingin.
Para pengungsi hidup dalam kondisi sangat memprihatinkan, tanpa kebutuhan mendasar, dan berjuang keras mendapatkan makanan, bahan bakar, perawatan kesehatan, serta air bersih.

Gaza Tak Memiliki Peralatan Menghadapi Banjir dan Badai

Juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Basal, mengatakan bahwa ribuan tenda mengalami kerusakan parah, pakaian dan selimut para pengungsi basah tanpa ada yang bisa menggantikannya. Situasi diperburuk oleh kurangnya kebutuhan dasar akibat perang.

Ia menambahkan bahwa pertahanan sipil tak mampu menangani banjir karena seluruh peralatan yang dirancang untuk menghadapi badai dan banjir telah dihancurkan oleh Israel. Kini, mereka hanya mampu mengevakuasi warga dalam kapasitas terbatas.

Basal menegaskan bahwa layanan publik dan fasilitas kota juga sangat rusak, dengan perlengkapan minim yang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Hujan deras turun bahkan sebelum musim dingin dimulai, sehingga dipastikan situasinya akan jauh lebih buruk dan lebih menyakitkan.

Pemerintah Kota Gaza juga menyampaikan bahwa kerusakan jaringan drainase telah membuat air limbah meluap ke rumah dan tempat penampungan, menciptakan situasi bencana. Mereka menyerukan intervensi internasional segera.

Israel Mencegah Masuknya Peralatan Pemanas ke Gaza

UNRWA menyatakan bahwa hujan memperparah kondisi Gaza dan menegaskan pentingnya memasukkan peralatan darurat dan perlindungan ke wilayah tersebut.
Namun, juru bicara Sekjen PBB, Stéphane Dujarric, mengungkapkan bahwa Israel belum mempermudah masuknya bantuan, dan sejak gencatan senjata 10 Oktober, sekitar 4.000 paket bantuan penting dicegah untuk masuk ke Gaza, termasuk tenda, tempat tidur, peralatan memasak, dan selimut.

Dujarric menegaskan bahwa arus bantuan sangat lambat karena pembatasan Israel, membuat bantuan tak dapat bergerak cepat. Jumlah truk yang masuk sangat jauh dari kebutuhan rakyat Gaza.

Tragedi di Malam-Malam Dingin

Sumber-sumber lokal menggambarkan bahwa tenda-tenda di kamp pengungsi lebih mirip tempat berlindung darurat, tanpa perlindungan dari cuaca, tanpa listrik, tanpa air bersih, dan tanpa sanitasi.
Hujan pertama membuat sebagian besar tenda tenggelam dalam lumpur. Matras dan selimut yang sedikit jumlahnya menjadi basah dan tidak dapat dikeringkan. Malam-malam dingin menjadi siksaan baru — tidur kini menjadi kemewahan yang tak terjangkau.

Keluarga hanya bisa berdoa agar hujan berhenti dan matahari muncul agar mereka dapat mengeringkan tenda dan barang-barang mereka.

Ketika Hujan Menjadi Mimpi Buruk

Samir Khater, warga Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera:
“Ketika hujan memenuhi tenda kami, saya, istri, dan anak-anak saya mendapati diri kami mengapung di genangan air. Saya tak tahu harus menyelamatkan apa lebih dulu — tenda atau anak-anak saya.”

Seorang wanita bernama Um Amjad berkata:
“Setiap kali mendengar petir, kami ketakutan. Hujan di sini bukan kehidupan — tetapi awal dari bencana baru.”

Abu Iyad, pria 70 tahun, menuturkan:
“Saya tak pernah menyangka bahwa malam hujan bisa menjadi mimpi buruk terbesar dalam hidup saya. Air memasuki tenda saya dan saya tidak mampu bangkit. Tenda tenggelam dan saya menggigil hebat.”

Seruan Mendesak untuk Bantuan

Amjad Al-Shawa, Direktur Jaringan LSM Palestina, menegaskan bahwa lebih dari dua juta orang tinggal di daerah rendah yang mudah tergenang air, dan mayoritas tenda sudah robek dan tidak cocok untuk ditinggali.

Ia menegaskan bahwa Gaza mengalami kekurangan besar dalam perlengkapan perlindungan, pakaian musim dingin, selimut, dan matras.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *