Tehran, Purna Warta – Melihat anak-anak kecil menari dan menyanyikan lagu-lagu Arab indah tentang tanah air mereka yang penuh luka dan penderitaan, sambil melambai-lambaikan bendera yang lebih besar dari tubuh mereka, membawa senyum ke wajah siapa pun yang menyaksikannya.
Namun pemandangan ini jauh dari kata normal. Selama dua tahun terakhir, kenyataan sehari-hari di Gaza adalah genosida yang disiarkan langsung — menyaksikan anak-anak yang sama itu terhuyung di bawah bom dari jet tempur Israel buatan AS, atau terbunuh tanpa ampun di lokasi-lokasi yang disebut sebagai “tempat bantuan.”
Bagaimana mungkin sebidang tanah kecil — yang luasnya bahkan tidak mencapai sepersepuluh dari kota Teheran — yang dijadikan laboratorium kehancuran oleh kekuatan Barat melalui tangan Zionis, masih mampu menampung para penyintas dari kehancuran sebesar itu?
Strategi bumi hangus tidak menyisakan apa pun: tanah, langit, maupun laut. Gaza telah dijadikan laboratorium bagi para penjajah untuk melepaskan bentuk kehancuran paling keji terhadap manusia dan planet ini, menggunakan sumber daya tanpa batas untuk memusnahkan makanan, manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh sumber kehidupan, dengan tujuan menghapus bahkan kemungkinan adanya masa depan.
Jika pembersihan etnis terhadap seluruh 2,3 juta penduduk tidak memungkinkan, alternatifnya adalah penghancuran ekologi — memastikan bahwa tanah itu sendiri tidak lagi mampu menopang kehidupan penghuninya.
Itulah ekosida, dalam arti sepenuhnya.
Bayangan Tanah yang Mati
Beberapa jam setelah pengumuman gencatan senjata — yang tak seorang pun benar-benar percayai, dan yang para pendukung perjuangan Palestina pantau dengan waspada — beredar rekaman tank-tank pendudukan yang mulai keluar. Saat mereka meninggalkan Gaza, kamera menyorot tanah yang tampak seperti bayangan dari kehidupan.
Tanahnya telah berubah menjadi debu akibat serangan militer kolonial pemukim Israel, dan bangunan-bangunan rata menjadi puing. Gaza tak lagi tampak layak huni setelah dua tahun genosida.
Di atas keheningan mengerikan selama dua tahun kematian dan kehancuran itu, suara nyanyian anak-anak kini menggema.
Namun bagaimana kehidupan bisa kembali di sini? Bagaimana mungkin perayaan gencatan senjata, meski hanya sekejap, tumbuh di atas tanah yang kehilangan kesuburannya, tercemar bom, hutan-hutannya hangus, dan lebih dari 90 persen lahan pertanian telah musnah?
Tempat yang dahulu dikenal karena keindahan pesisir Mediteranianya, kebun zaitun dan jeruknya, serta irama kehidupan yang lembut dan menyatu dengan bumi, kini telah beracun, tercemar, dan penuh luka.
Dari Rekonstruksi Menuju Kebangkitan
Kini, apa yang dapat dilakukan warga Palestina terhadap lebih dari 40 juta ton puing yang menutupi wilayah mereka yang terkepung? Sebelum siapa pun dapat membangun kembali rumah, mereka harus memindahkan gunung-gunung reruntuhan itu — lapis demi lapis, tahun demi tahun.
Ini bukan sekadar rekonstruksi; ini adalah kebangkitan.
Namun meski demikian, rakyat tetap merayakan — merayakan hak untuk bernapas, hak untuk hidup.
Tapi, tanah seperti apa yang mereka pulanginya? Tanah yang telah dibom, dibakar, dan diracuni oleh bahan kimia dan racun. Bahkan jika perang berakhir, bumi tetap akan menanggung lukanya.
Bagaimana anak-anak bisa bermain bola di tanah seperti itu? Bagaimana pohon-pohon zaitun — simbol utama Palestina — bisa kembali tumbuh di tanah yang telah diracuni?
Udara yang Sarat Kematian
Udara di Gaza — sebidang tanah kecil yang menderita jauh melebihi ukurannya — kini sarat dengan kematian. Udara itu memikul beban kehancuran yang bahkan dunia pun sulit menanggungnya.
Dari tanah hingga langit, semuanya telah terluka.
Ledakan selama dua tahun telah memenuhi udara dengan racun: karbon dioksida, nitrogen oksida, sulfur, dan berbagai partikel yang menjadikan setiap tarikan napas berbahaya.
Menurut Nemirok et al. (2024) dari *Palestinian Institute for Climate Strategy*, sebanyak 362 juta ton CO₂ dilepaskan di Gaza oleh Israel hanya dalam waktu 15 bulan — lebih besar dari emisi tahunan di lebih dari 100 negara.
Sejak Nakba 1948, Israel dan sekutunya telah menciptakan tanggungan iklim sebesar $148 miliar akibat emisi militer (Palestinian Institute for Climate Strategy, 2025).
Apakah ini udara yang akan dihirup oleh anak-anak yang hari ini bernyanyi dan menari di jalanan dengan gembira?
Udara yang kini membawa lagu mereka dulu membawa asap. Udara itu kini memikul luka tak terlihat: partikel-partikel yang akan tinggal di paru-paru mereka selama bertahun-tahun, menyebabkan penyakit, gangguan jantung, dan kanker.
Tidak ada infrastruktur yang memadai untuk menghadapi apa yang akan datang — tidak ada rumah sakit, universitas, atau lembaga yang berfungsi untuk menyembuhkan tanah maupun rakyatnya.
Menurut Kantor Media Gaza, lebih dari 200.000 ton bahan peledak telah dijatuhkan di Gaza selama dua tahun terakhir — setara dengan lebih dari 13 kali kekuatan bom Hiroshima.
Sebanyak 268.000 rumah hancur, 2 juta orang mengungsi, 94 persen lahan pertanian musnah, dan perikanan lenyap total.
Ekogenosida yang Nyata
Inilah definisi sejati ekogenosida dalam praktik: penghancuran ekosistem hidup, pemusnahan setiap unsur yang menopang kehidupan. Bukan hanya manusia yang diserang, tetapi juga planet ini sendiri. Tanah, air, udara — semua sumber kehidupan telah dinodai.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa selama Nakba 1948, ketika sekitar 750.000 warga Palestina diusir, pasukan Israel menggunakan perang biologis.
Operasi bernama *“Cast Thy Bread”* melibatkan peracunan sumur desa dengan bakteri tifus untuk mencegah warga Palestina kembali ke tanah mereka.
Di kota Acre, kampanye ini menyebabkan wabah tifus yang menewaskan ratusan orang. Disahkan oleh David Ben-Gurion, pendiri entitas Zionis, tindakan ini merupakan bagian dari rencana pembersihan etnis yang lebih luas untuk mengubah demografi wilayah dan menciptakan “tanah kosong” bagi pemukiman ilegal.
Kehidupan Setelah Ekogenosida
Ketika semua tank militer meninggalkan Gaza, bayang-bayang mereka akan tetap tinggal. Mereka meninggalkan lanskap yang dihantui: surga Mediterania yang berubah menjadi padang tandus fosfor dan nitrogen, tempat pohon zaitun dulu berdiri sebagai lambang perdamaian dan keteguhan.
Keindahan alami Gaza, yang dulu ditandai oleh kebun-kebun dan angin lautnya yang lembut, kini terselubung debu dan racun. Mereka yang selamat dari genosida kini dihukum untuk mati setiap hari.
Namun, entah bagaimana, anak-anak itu masih bernyanyi. Mereka masih menari. Mereka masih mengingatkan dunia bahwa kehidupan — bahkan ketika terkubur di bawah reruntuhan ekogenosida — selalu menemukan jalan untuk bangkit kembali.
*Nahid Poureisa adalah analis dan peneliti akademik asal Iran yang berfokus pada Asia Barat dan Tiongkok.*