Al-Quds, Purna Warta – Rateeba al-Natsheh, pakar urusan Israel, dalam wawancaranya dengan saluran berita Al-Alam menegaskan bahwa kabinet pendudukan Israel berupaya memperkuat kontrolnya atas Tepi Barat dan menganeksasinya ke wilayah pendudukan lainnya. Namun, rezim ini tidak ingin melakukannya secara langsung dan serentak, melainkan berusaha mendorongnya melalui pengesahan sejumlah proyek di Knesset.
Ia menyinggung upaya rezim Zionis untuk menerapkan pembagian temporal dan spasial di Masjid Ibrahimi. Menurutnya, ketika membahas Kota Hebron dan Masjid Ibrahimi secara khusus, hal ini kembali kepada rencana pembagian kota menjadi zona H1 dan H2—yakni menempatkan sebagian kota di bawah kendali Israel dan sebagian lainnya di bawah Otoritas Palestina. Pembagian ini telah menyebabkan pengusiran paksa banyak penduduk dari kawasan kota tua Hebron, serta meningkatnya serangan para pemukim dan perampasan properti mereka. Tujuan akhirnya adalah penguasaan penuh atas Masjid Ibrahimi.
Al-Natsheh menegaskan bahwa undang-undang yang disahkan di Knesset menunjukkan adanya upaya untuk membuka jalan bagi proyek permukiman, penjajahan, dan kontrol keamanan dengan dalih “kebebasan beragama” dan memberi peluang bagi pelaksanaan ritual Yahudi.
Ia menambahkan bahwa Masjid Ibrahimi bukan satu-satunya lokasi yang dijadikan dalih oleh Israel untuk menguasai Tepi Barat. Berdasarkan klaim dalam rencana Trump yang diajukan sebagai bagian dari “Kesepakatan Abad Ini” pada masa jabatan pertamanya, terdapat 13 situs agama Yahudi yang baru-baru ini diidentifikasi untuk dianeksasi sebagai “lokasi-lokasi keagamaan” yang akan dibuka untuk akses kaum Yahudi.
Pakar tersebut menekankan bahwa Masjid Ibrahimi—yang sebelumnya hanya digunakan oleh kelompok ekstremis Zionis selama sepuluh hari dalam setahun, dan yang berulang kali mereka coba pasangi menorah Yahudi sebagai simbol penguasaan—kini menghadapi upaya perebutan kendali secara penuh, tidak hanya melalui pembatasan dan serangan, tetapi juga melalui pengesahan undang-undang di Knesset.


