Pengadilan Militer Israel Kembali Perpanjang Penahanan Dr. Abu Safiya Selama 6 Bulan Tanpa Dakwaan

Abu Safiya

Al-Quds, Purna Warta – Sebuah pengadilan militer Israel kembali memperpanjang masa penahanan tanpa dakwaan terhadap Dr. Hussam Abu Safiya selama enam bulan ke depan, meskipun namanya sebelumnya sempat masuk dalam daftar tahanan yang dibahas untuk dibebaskan dalam kesepakatan gencatan senjata terbaru.

Baca juga: Jenazah Sandera Israel Menjadi Hambatan bagi Gencatan Senjata di Gaza

Pengadilan militer Be’er Sheva milik rezim pendudukan Israel menggelar sidang pada Kamis pagi untuk memperpanjang penahanan Abu Safiya, 52 tahun, yang menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara.

Ia hadir melalui konferensi video saat pengadilan memperbarui status penahanannya selama enam bulan tambahan berdasarkan apa yang disebut “Undang-Undang Pejuang Ilegal (Unlawful Combatant Law)”.

Pusat Hak Asasi Manusia Al-Mezan, sebuah organisasi independen yang berbasis di Gaza, mengecam keras keputusan tersebut, menyebutnya sebagai pelanggaran nyata terhadap hukum internasional serta perlindungan yang dijamin bagi tenaga medis di masa perang.

Organisasi itu menegaskan bahwa penculikan dan penahanan Dr. Abu Safiya tanpa dakwaan maupun pengadilan yang adil merupakan bentuk penyanderaan oleh pendudukan Israel, serta mencerminkan kebijakan sistematis dalam menargetkan sektor kesehatan Gaza.

Al-Mezan menyerukan pembebasan segera Abu Safiya beserta seluruh tenaga medis Palestina yang ditahan, serta mendesak komunitas internasional untuk turun tangan menghentikan pelanggaran Israel terhadap para tahanan dan pekerja medis Palestina.

Sementara itu, keluarga Abu Safiya menyatakan keprihatinan mendalam atas kelanjutan penahanannya dan menegaskan kepercayaan penuh kepada tim hukum serta upaya kemanusiaan yang sedang dilakukan untuk membebaskannya.
Mereka juga menyerukan kepada lembaga-lembaga terkait, organisasi hak asasi manusia, dan pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi untuk secara aktif menangani kasus ini dan memperjuangkan pembebasan segera Abu Safiya.

Baca juga: Penasihat Trump Sebut Gencatan Senjata Israel–Hamas Masih Berlaku, AS Dorong Rencana Keamanan Gaza

Ramy Abdu, Asisten Profesor Hukum dan Keuangan sekaligus Ketua Euro-Mediterranean Human Rights Monitor, menulis di media sosial bahwa Abu Safiya ditahan bukan sebagai tahanan hukum, melainkan “sebagai alat tawar politik.”

Israel menolak membebaskan dua dokter Palestina terkemuka — termasuk dr. Abu Safiya, seorang dokter anak — dalam kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan dengan gerakan perlawanan Hamas.

Seorang pejabat Hamas mengatakan bahwa “pendudukan menolak untuk membebaskan Abu Safiya,” yang diculik oleh pasukan Israel pada Desember 2024 ketika mereka menyerbu dan menutup rumah sakit besar terakhir yang masih berfungsi di Gaza utara.

Dokter lain yang juga dikecualikan dari kesepakatan pembebasan adalah Dr. Marwan al-Hams, direktur rumah sakit lapangan di Gaza.

Menurut Physicians for Human Rights Israel (PHRI), Abu Safiya mengalami kelaparan, kekerasan fisik, dan penggeledahan tubuh yang kejam selama dalam tahanan. Ia tidak pernah didakwa, diinterogasi, ataupun dihadapkan ke pengadilan sejak Maret lalu.

PHRI mengecam kelanjutan penahanan dokter Palestina itu, dengan menyebutnya sebagai contoh nyata penargetan sistematis terhadap tenaga medis dan institusi kesehatan di Gaza.

Pengacara Abu Safiya, Ghaid Qasem, mengatakan kepada media Palestina bahwa kliennya “dibiarkan menderita kelaparan dan penyakit” di pusat penahanan Israel Sde Teiman, yang dikenal dengan kekerasan dan praktik penyiksaan.

Qasem memperingatkan bahwa kondisi Abu Safiya memburuk akibat kelalaian medis yang disengaja, dan menambahkan bahwa ia menderita nyeri dada parah, detak jantung tidak teratur, serta tekanan darah tinggi, namun belum pernah diperiksa oleh ahli jantung sejak penangkapannya.

Pekan lalu, rezim Israel dan Hamas telah menyepakati tahap pertama dari rencana gencatan senjata di Gaza — termasuk pembebasan seluruh tawanan Israel di Jalur Gaza dengan imbalan tahanan Palestina serta penarikan bertahap pasukan Israel dari seluruh wilayah Palestina.

Namun, pengecualian terhadap para dokter dari kesepakatan tersebut memicu kemarahan para pejabat Palestina dan organisasi HAM, yang menuduh Israel memanfaatkan tenaga medis sebagai alat politik dalam perang melawan sektor kesehatan Gaza.

Pengamat menilai bahwa pengecualian terhadap tahanan penting Palestina — khususnya para dokter yang sangat dibutuhkan di tengah runtuhnya sistem kesehatan Gaza — disertai dengan pembatasan dan kekerasan yang berkelanjutan, menunjukkan pengabaian total Israel terhadap kehidupan rakyat Palestina dan menghambat upaya menuju perdamaian yang berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *