Gaza, Purna Warta – Menurut laporan Pusat Informasi Palestina, meskipun musim dingin biasanya menurunkan konsumsi air, krisis justru tidak mereda—bahkan kian hari semakin parah, hingga beberapa liter air dalam sehari menjadi harapan yang sulit dicapai bagi keluarga-keluarga Palestina.
Air yang Tak Lagi Datang
Di setiap lingkungan, warga berlarian mengikuti suara truk pengangkut air; suara yang bagi mereka ibarat panggilan harapan. Namun kedatangan truk bukan berarti semua orang mendapatkan air; antrean panjang, jumlah yang sangat sedikit, dan distribusi bergilir membuat banyak warga pulang dengan tangan kosong.
Muhammad Hamoudeh, seorang pengungsi di kawasan Al-Mawasi di Khan Younis, menunjuk ember kosongnya dan berkata:
“ Kami hidup di tepi laut, tapi mati kehausan. Air yang sampai kepada kami bahkan tidak cukup untuk satu orang, apalagi satu keluarga.”
Ia menambahkan sambil menunjuk sekitar:
“Air tanah pun sudah tidak bisa digunakan; infrastruktur hancur, sumur-sumur tercemar, dan tidak ada yang bisa disaring.”
Krisis yang Lebih dari Sekadar Kekurangan Air
Selama berbulan-bulan perang, hampir seluruh sumur, jaringan pipa, tangki, dan stasiun air di Jalur Gaza menjadi sasaran serangan. Truk-truk pengangkut air bahkan para pekerja dan pengungsi yang mencari air pun ikut berada dalam risiko serangan.
Tanpa bahan bakar, sedikit fasilitas yang masih tersisa pun berhenti beroperasi. Adel Abu Mahlidi, yang mengandalkan jaringan air di sebuah lahan pertanian, mengatakan:
“Pompa sumur berjalan dengan tenaga surya. Hari-hari berawan berarti mati total… dan kembali pada pencarian air yang melelahkan.”
Abdul Rahman Al-Astal juga menceritakan:
“Sumur yang dulunya menyuplai seluruh lingkungan hancur dalam serangan terakhir. Kini keluarga kami, seperti yang lain, harus mengantre panjang setiap hari.”
Air yang Dibeli dengan Harga Sangat Mahal
Tanpa sumber air tetap, keluarga-keluarga terpaksa membeli air dari truk atau tangki milik swasta. Abu Tamer Ashour menjelaskan:
“Seribu liter harganya antara 80 hingga 100 shekel (sekitar 21–27 dolar). Itu jumlah besar, dan hanya cukup untuk dua sampai tiga hari untuk dua keluarga. Tapi apa pilihan kami? Air bukan barang mewah.”
Namun air ini pun tetap terbatas, mahal, dan sering kali tidak layak konsumsi.
Runtuhnya Infrastruktur dan Peringatan Dunia
Sumber-sumber lokal menyatakan bahwa rezim pendudukan menjadikan air, makanan, dan obat-obatan sebagai alat tekanan selama perang, dan menghancurkan lebih dari 90 persen infrastruktur vital Gaza. Dalam lima puluh hari terakhir, hanya sedikit bahan bakar yang masuk—cukup untuk lima hari operasi fasilitas air—sebuah jarak waktu yang tak mungkin dihadapi sistem layanan publik mana pun.
Pedro Arrojo-Agudo, Pelapor Khusus PBB untuk urusan air, memperingatkan bahwa Gaza berada di ambang bencana kesehatan. Ia mengatakan:
“Hampir 90 persen instalasi pemurnian air tidak berfungsi, dan tingkat pencemaran sumber air yang tersisa meningkatkan risiko penyebaran penyakit mematikan seperti kolera.”
Hidup di Ambang Kehausan
Gaza hari ini menyerupai kota yang dilempar kembali puluhan tahun ke belakang—tanpa infrastruktur, tanpa bahan bakar, tanpa kemampuan memproduksi atau memurnikan air. Ribuan keluarga hidup di antara pengungsian dan kekurangan air, menunggu hujan atau truk yang mungkin membawa secercah harapan.
Dalam kondisi ini, warga menciptakan solusi sederhana namun terpaksa: menyambung pipa antar-tenda, mengatur antrean distribusi air, berusaha menghidupkan kembali sumur-sumur yang setengah rusak… tetapi upaya kecil ini tak mampu menopang krisis sebesar ini.
Gaza terus hidup di tepi kehausan; haus, terkepung, dan menunggu hari ketika air kembali menjadi hak dasar, bukan barang langka.


