New York, Purna Warta – Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, mengecam Israel karena secara sengaja menghambat operasi kemanusiaan dengan memblokir masuknya bantuan penting ke Gaza di tengah perang genosida yang telah berlangsung lebih dari dua tahun.
Dalam keterangannya di hadapan Komite Keempat Majelis Umum PBB pada Kamis, Lazzarini mengatakan bahwa rezim Israel telah melumpuhkan operasi kemanusiaan pada saat rakyat Palestina menghadapi datangnya hujan lebat dan musim dingin dengan tempat berlindung dan bantuan yang sangat minim.
Ia menegaskan bahwa meskipun terdapat perjanjian gencatan senjata yang mewajibkan masuknya bantuan kemanusiaan, Israel hanya mengizinkan sebagian kecil dari jumlah bantuan yang dibutuhkan penduduk Gaza.
“Menjaga mandat dan operasi UNRWA adalah kewajiban menurut hukum internasional; hal itu penting bagi kelangsungan hidup jutaan warga Palestina; dan merupakan syarat mutlak bagi tercapainya solusi politik,” ujar Lazzarini.
Pernyataan tersebut muncul menyusul temuan terbaru Komisi Penyelidikan PBB dan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang mewajibkan Israel mencabut pembatasan terhadap UNRWA.
Presiden ICJ, Yuji Iwasawa, menyatakan bahwa Israel harus “menyetujui dan memfasilitasi skema bantuan yang disediakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga-lembaganya,” termasuk UNRWA.
Sejumlah badan PBB dan organisasi kemanusiaan juga menegaskan bahwa Israel tidak mematuhi ketentuan gencatan senjata di Gaza karena menolak membuka kembali perlintasan Rafah yang sangat penting di perbatasan Mesir.
Dalam konferensi pers terpisah di markas besar PBB di New York, Lazzarini mengungkapkan bahwa kekurangan dana yang parah mengancam layanan penting UNRWA. Ia mendesak negara-negara donor meningkatkan kontribusi agar badan tersebut dapat mempertahankan operasinya di Gaza, khususnya setelah Amerika Serikat menghentikan pendanaannya.
“Kami terus berjalan dari minggu ke minggu, bulan ke bulan. Sejauh ini kami masih dapat membayarkan gaji bulan November, tetapi kami sama sekali tidak tahu apakah kami bisa membayar gaji Desember,” kata Lazzarini.
Israel melarang UNRWA beroperasi di wilayah pendudukan setelah menuduh—tanpa bukti—bahwa sebagian stafnya terlibat dalam operasi al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan.
Setelah tuduhan tersebut, Amerika Serikat—pendukung terbesar rezim Israel—menangguhkan pendanaannya bagi UNRWA.
“Tanpa adanya aliran dana baru dalam jumlah signifikan, pemberian layanan penting kepada jutaan pengungsi Palestina di seluruh kawasan akan terganggu,” tambah Lazzarini.
Akibat keputusan Israel itu, UNRWA terpaksa menarik staf internasionalnya dari Gaza dan Tepi Barat yang diduduki, sehingga menghambat kemampuan badan tersebut menyalurkan bantuan pangan.
Meski demikian, UNRWA masih mempekerjakan 12.000 staf lokal di wilayah Gaza yang terkepung, dan layanan mereka tetap sangat vital bagi masyarakat Palestina, tegas Lazzarini.
“Sekitar 75.000 orang berlindung di 100 fasilitas kami di Jalur Gaza,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kampanye vaksinasi bersama antara UNRWA, UNICEF, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). UNRWA turut menyediakan layanan pendidikan bagi puluhan ribu anak.
“Selama dua tahun terakhir, kami telah memberikan lebih dari 15 juta konsultasi kesehatan primer. Saat ini rata-rata mencapai sekitar 14.000 konsultasi per hari,” ujarnya.
Berdasarkan ketentuan gencatan senjata yang mulai berlaku pada 10 Oktober—dan telah dilanggar ratusan kali oleh Israel—pengiriman bantuan seharusnya ditingkatkan secara signifikan, dengan 600 truk per hari yang masuk ke Gaza untuk memenuhi kebutuhan penduduk.
Namun kenyataannya, hanya sekitar 150 truk per hari yang diizinkan masuk, jumlah yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dua juta warga Palestina yang kini mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.
Kelangkaan pasokan ini membuat PBB memperingatkan bahwa krisis kelaparan di Gaza tetap berada pada tingkat yang mengerikan, khususnya di Gaza bagian utara, di mana kondisi kelaparan telah dinyatakan sejak Agustus.
UNRWA didirikan pada tahun 1949 setelah peristiwa Nakba, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka oleh rezim pendudukan.
Sebagian besar dari para pengungsi tersebut kini tinggal di Gaza dan Tepi Barat, bermukim di kamp-kamp pengungsian yang bergantung pada bantuan UNRWA.


