Al-Quds, Purna Warta – Israel dilaporkan tengah bernegosiasi dengan Amerika Serikat untuk memperoleh jaminan tertulis agar dapat melanjutkan agresi militernya tanpa menghadapi sanksi, menyusul rencana pengerahan pasukan “stabilisasi” di Gaza dalam waktu dekat.
Harian Israel Yedioth Ahronoth, mengutip sumber, Kamis, menyebut bahwa jaminan tersebut diminta bahkan jika Dewan Keamanan PBB berencana mengesahkan resolusi pembentukan pasukan stabilisasi tersebut.
Awal pekan ini, media AS dan Israel melaporkan bahwa Washington telah menyerahkan draf resolusi kepada Dewan Keamanan PBB beranggotakan 15 negara.
Langkah itu diambil menjelang dimulainya negosiasi untuk memberikan mandat dua tahun bagi badan transisional pemerintahan dan pasukan stabilisasi.
Proposal tersebut merinci struktur dan mandat bagi sebuah “pasukan penegakan” internasional yang akan bertugas di Gaza selama dua tahun, dengan opsi perpanjangan.
Situs berita Axios mengutip pejabat AS yang menegaskan bahwa pasukan tersebut adalah “pasukan penegakan, bukan pasukan penjaga perdamaian.”
Pasukan stabilisasi itu dilaporkan akan mencakup personel dari sejumlah negara, dengan tugas mengamankan perbatasan Gaza dengan wilayah pendudukan dan Mesir, melindungi warga sipil serta koridor kemanusiaan, serta memberikan pelatihan bagi kepolisian Palestina yang baru.
Israel menegaskan tidak akan menerima keberadaan pasukan bersenjata dari negara-negara Islam dalam rencana tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Selasa menekankan bahwa setiap pasukan stabilisasi harus memiliki “legitimasi internasional sepenuhnya” guna mendukung warga Palestina di Gaza.
Resolusi tersebut dilaporkan akan memberikan izin bagi pengerahan hingga 20.000 personel menggunakan “segala cara yang diperlukan” untuk menjalankan mandatnya.
Sebuah gencatan senjata rapuh antara Israel dan faksi-faksi perlawanan Gaza berlaku sejak 10 Oktober, namun pihak Israel berulang kali melanggarnya melalui pengeboman dan pembatasan keras terhadap bantuan kemanusiaan.
Pengamat menyatakan Israel tidak tertarik pada perdamaian dan tampaknya memiliki narasi sendiri terkait pasukan stabilisasi itu.
Dalam konferensi pers bersama Trump pada September lalu, Netanyahu menyatakan bahwa “Israel akan mempertahankan tanggung jawab keamanan untuk masa mendatang” di Gaza.
Gerakan perlawanan Hamas juga belum menyatakan apakah akan melakukan demiliterisasi, salah satu poin utama dalam rencana kontroversial Trump yang terdiri dari 20 butir.
Kelompok Palestina tersebut menegaskan bahwa keberadaan perlawanan terkait langsung dengan pendudukan, dan mereka tidak akan menyerahkan senjata selama pendudukan belum berakhir.
Pemimpin Hamas di Gaza, Khalil al-Hayya, mengatakan akhir bulan lalu bahwa seluruh faksi politik Palestina telah sepakat menyerahkan kendali administratif Jalur Gaza kepada sebuah badan non partisan yang baru dibentuk.
Ia menambahkan bahwa realitas lapangan serta sikap publik internasional telah memengaruhi Washington.
“Pemerintahan AS dan Presiden Trump telah meyakini bahwa perang harus diakhiri. Pemerintahan AS memberikan (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu semua waktu dan kesempatan untuk mencapai apa yang diinginkannya, dan ia gagal,” katanya.
Hamas juga telah menyetujui daftar nama anggota komite dan menyetujui pengerahan pasukan PBB untuk memonitor gencatan senjata dan pemisahan, serta membuka ruang bagi badan Arab dan Islam untuk turut menjadi bagian dari pasukan tersebut.
Sejak gencatan senjata antara Hamas dan rezim Tel Aviv mulai berlaku bulan lalu, pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 236 warga Palestina dan melukai 600 lainnya di Gaza.
Perang genosida Israel di Gaza telah merenggut sedikitnya 68.875 nyawa warga Palestina dan melukai 170.679 lainnya sejak Oktober 2023.


