Cape Town. Purna Warta – Media setempat mengutip sejumlah sumber pada Minggu, melaporkan bahwa sebuah pesawat yang membawa 153 warga Palestina dari wilayah yang diblokade tersebut mendarat di Bandara Internasional OR Tambo, Afrika Selatan, pada 13 November.
Namun pesawat itu ditahan di landasan selama sekitar 12 jam, dan para penumpang tidak diizinkan turun, sehingga menimbulkan kebingungan dan kemarahan terhadap otoritas setempat.
Beberapa jam kemudian, para aktivis dan otoritas Afrika Selatan menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses perjalanan para warga Palestina tersebut yang diatur oleh sebuah kelompok bernama Al-Majd Europe.
Para aktivis juga menemukan bahwa para pengungsi itu tidak memiliki dokumen perjalanan apa pun untuk diproses di Afrika Selatan.
Mereka juga tidak memiliki stempel keluar atau dokumen resmi yang biasanya diterbitkan oleh otoritas Israel kepada siapa pun yang meninggalkan Gaza.
Yang lebih mengejutkan, sejumlah warga Palestina mengaku bahwa mereka memulai perjalanan tersebut tanpa mengetahui ke mana mereka akan dibawa.
Para aktivis mengatakan bahwa boarding pass para penumpang itu mencantumkan berbagai tujuan berbeda, mulai dari India hingga Malaysia dan Indonesia.
Na’eem Jeenah, seorang aktivis dan akademisi di Johannesburg, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa temuan tersebut menunjukkan Israel memanfaatkan keputusasaan warga Palestina untuk melanjutkan kebijakan pemindahan paksa secara diam-diam, dengan kelompok tersebut berperan sebagai perantara.
“Jelas bagi kami bahwa Al-Majd adalah kedok bagi entitas Israel dan intelijen Israel, serta merupakan proyek untuk membantu pembersihan etnis di Gaza,” kata Jeenah.
Hal itu juga tampak sebagai upaya untuk secara permanen mengeluarkan kalangan profesional — dokter, pendidik, dan pebisnis — agar tidak kembali ke Gaza.
Seorang pria Palestina yang mengatakan ia meninggalkan Gaza melalui Al-Majd Europe menyebutkan adanya “koordinasi kuat” antara kelompok itu dan tentara Israel dalam operasi pemindahan tersebut.
Ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ia membayar 6.000 dolar untuk keluar dari Gaza bersama dua anggota keluarganya. “Pembayaran dilakukan melalui aplikasi perbankan ke rekening pribadi seseorang, bukan ke sebuah lembaga,” ujarnya.
Israel dilaporkan membantu memfasilitasi pemindahan warga Palestina dari Gaza ke perlintasan Karem Abu Salem di bagian selatan wilayah pendudukan, sebelum dibawa ke Bandara Ramon, tempat mereka menaiki pesawat menuju Nairobi, lalu Johannesburg.
Al-Majd Europe didirikan pada 2010, diklaim terdaftar di Jerman, dan berkantor pusat di al-Quds yang diduduki.
Khalid Vawda, aktivis dari kelompok Social Intifada di Johannesburg yang pertama kali mengangkat kekhawatiran tentang organisasi itu pada akhir Oktober, mengatakan bahwa kelompok tersebut seolah muncul entah dari mana.
Ia mengatakan kelompok itu telah berbulan-bulan mengiklankan “layanan evakuasi” warga Palestina dari Gaza melalui media sosial.
“Tak seorang pun mencurigai apa pun, karena mereka mengira itu hanya cara lain untuk keluar dari Gaza mengingat perbatasan Rafah ditutup,” katanya.
Keluarga-keluarga membayar mulai dari 1.500 hingga 5.000 dolar per orang, dan diberi tahu titik pertemuan di Gaza tempat perjalanan dengan pesawat carteran akan dimulai.
“Saya yakin Israel memanfaatkan kondisi warga Palestina di Gaza,” kata Vawda.
“Selain itu, mereka juga mengambil keuntungan dari orang-orang yang rentan, yang mengalami PTSD setelah dua tahun genosida, dan telah menyaksikan orang-orang yang mereka cintai terbunuh,” tambahnya.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan bahwa pemerintah sedang menyelidiki bagaimana para warga Palestina itu bisa masuk ke Afrika Selatan melalui transit di Nairobi, Kenya.
Kedutaan Palestina di Afrika Selatan menyatakan bahwa penerbangan tersebut diatur oleh “organisasi ilegal dan menyesatkan yang mengeksploitasi kondisi kemanusiaan tragis rakyat kami di Gaza, menipu keluarga-keluarga, mengumpulkan uang dari mereka, dan memfasilitasi perjalanan mereka secara tidak sah dan tidak bertanggung jawab.”
Meskipun gencatan senjata diberlakukan pada Oktober, pasukan Israel masih terus membombardir Gaza secara sporadis, dengan ratusan warga Palestina terbunuh dalam beberapa pekan terakhir.
Lebih dari 80 persen bangunan telah hancur, membuat sebagian besar wilayah Gaza tidak layak huni — sebuah situasi yang diperkirakan akan menjadi bencana seiring datangnya musim dingin. Bantuan yang masuk tetap lambat dan jauh dari cukup.


