Purna Warta – Olimpiade yang merupakan ajang olahraga terbesar di dunia selalu tersangkut urusan politik yang tak jarang diwarnai oleh protes-protes dan boikot sejak dicetuskannya ajang tersebut pada 1896. Olimpiade 2024 yang tak lama lagi dimulai tak jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Pada Olimpiade 1968 di Meksiko atlit Amerika Tommie Smith dan John Carlos melakukan protes terhadap aksi rasisme yang terjadi dalam perhelatan olaharaga besar tersebut. Pada Olimpiade 1976, 24 negara Afrika memboikot olimpiade tersebut sebagai bentuk protes terhadap partisipasi Selandia Baru. Hal itu disebabkan oleh tim Rugbi Selandia Baru melakukan kunjungan ke negara Apartheid Afrika Selatan.
Baca juga: Komite Olimpiade Diawasi Akibat Sikapnya Terhadap Rusia
Pada Olimpiade 1980 di Moskow, Amerika memimpin boikot memprotes invasi Soviet terhadap Afghanistan. Aksi Amerika tersebut berujung pada 65 negara lainnya menolak berpartisipasi dalam olimpiade menyisakan 80 negara yang masih membiarkan atlit mereka berkompetisi. Sebagai balasan, 14 negara blok timur dipimpin oleh Uni Soviet memboikot Olimpiade 1984 di California, Amerika.
Kini, Olimpiade 2024 sama saja dengan olimpiade-olimpiade yang diadakan di masa munculnya sejumlah konflik global, tentu saja tak lepas dari pengaruh bias dan agenda politik. Olimpiade musim panas ini akan diadakan bersamaan dengan pembantaian di Gaza yang belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.
Mantan atlit NBA Tariq Abdul Wahad mengatakan bahwa olimpiade kali ini tidak akan seperti olimpiade sebelumnya. “Ini akan menjadi sangat berbeda, aku harap para atlit akan menyampaikan pendapat mereka. Aku harap para aktivis hadir disana untuk meningkatkan kesadaran” ujar Tariq.
“Jika dalam olimpiade ada protes, aku sepenuhnya mendukung itu. Mengerikan sekali ketika membayangkan bahwa banyak sekali orang yang tidak sadar seperti kita” ujar Tariq.