Purna Warta – Pertemuan luar biasa antara negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Liga Arab di Riyadh pada Minggu-Senin, (11-12 November 24), yang dihadiri oleh lebih dari 50 negara Arab dan Islam, menyoroti isu Palestina sebagai pusat perhatian dunia Islam dan Arab. Pertemuan ini menjadi momentum bagi para pemimpin kawasan untuk menyampaikan kecaman atas agresi Israel yang berlangsung di Gaza dan Lebanon, serta menegaskan hak-hak sah rakyat Palestina untuk kebebasan dan kedaulatan penuh. Namun, di tengah kuatnya solidaritas politik, tantangan diplomasi dalam mengupayakan perdamaian di wilayah ini tetap kompleks.
Dukungan Tegas dan Kecaman terhadap Israel
Dalam pernyataan akhir yang dikeluarkan pada pertemuan tersebut, para pemimpin negara Arab dan Islam dengan tegas menyatakan dukungan terhadap hak-hak rakyat Palestina, khususnya hak mereka untuk mendirikan negara yang merdeka dengan Al-Quds sebagai ibu kota abadi. Kecaman terhadap Israel datang dari berbagai pemimpin kunci, termasuk Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, yang mengutuk tindakan Israel sebagai “pembantaian” terhadap warga sipil Palestina dan Lebanon. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, yang menolak gagasan negara Palestina sebagai tujuan “realistis,” menyulut kontroversi, terutama di saat dunia Islam menyerukan penghentian kekerasan.
Putra Mahkota Salman menekankan bahwa tindakan Israel melanggar hukum internasional dan berpotensi menghambat setiap upaya perdamaian yang sedang diupayakan. Selain itu, Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit memperingatkan, kekerasan Israel tidak hanya menyebabkan penderitaan bagi rakyat Palestina tetapi juga mengancam stabilitas kawasan. Retorika ini menegaskan kembali posisi Arab dan Islam dalam mendukung keadilan bagi Palestina sebagai langkah fundamental menuju perdamaian yang abadi.
Gagalnya Upaya Perdamaian Masa Lalu
Sejumlah pemimpin, termasuk Presiden Suriah Bashar al-Assad, menyebutkan kegagalan berbagai inisiatif perdamaian sebelumnya, seperti Inisiatif Perdamaian Arab dan perundingan di Madrid. Assad menyoroti bahwa dukungan Barat terhadap Israel telah memperkuat posisi Israel dalam melanjutkan kekerasan terhadap warga sipil Palestina, dan bahkan menyamakan tindakan Israel dengan kekejaman Nazi. Analogi yang kuat ini menunjukkan seberapa jauh ketidakpuasan dunia Arab atas dukungan Barat terhadap Israel, yang dianggap memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Nampaknya, dunia Arab dan Islam melihat kegagalan inisiatif perdamaian masa lalu sebagai pelajaran untuk mengambil pendekatan yang lebih tegas. Pernyataan Assad mencerminkan pandangan umum yang berkembang di kalangan negara-negara Islam bahwa dukungan simbolis saja tidak cukup; diperlukan langkah konkret untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina.
Usulan Aksi Kolektif dan Diplomasi Internasional
Dalam pertemuan ini, berbagai usulan tindakan nyata juga diajukan. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyerukan negara-negara OKI dan Liga Arab untuk mendukung langkah Afrika Selatan dalam membawa Israel ke Mahkamah Internasional atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di Gaza dan Tepi Barat. Turki berpendapat bahwa tekanan diplomatik kolektif bisa menjadi solusi konkret untuk menghadapi Israel di ranah internasional.
Di sisi lain, Iran, melalui Wakil Presiden Pertama Mohammad Reza Aref, menyarankan diadakannya referendum di kalangan rakyat Palestina sebagai bagian dari strategi untuk memulihkan hak penentuan nasib sendiri. Usulan ini memperlihatkan, negara-negara Islam, seperti Iran dan Turki, tengah mencari cara untuk memperkuat upaya diplomatik mereka dalam menghentikan agresi Israel dan mengupayakan keadilan bagi Palestina.
Tantangan dan Realita Diplomasi yang Kompleks
Namun, tantangan dalam merealisasikan aksi nyata tetap besar. Meski pertemuan di Riyadh menghasilkan pernyataan dan komitmen politik yang kuat, militer Israel masih melanjutkan serangan intensif di Gaza dan Lebanon. Serangan terhadap fasilitas medis, rumah-rumah warga, dan situs keagamaan menunjukkan bahwa kecaman diplomatik saja tidak cukup untuk menghentikan aksi militer Israel. Fakta bahwa banyak inisiatif damai internasional gagal mencapai hasil konkret menunjukkan bahwa dunia Islam, meskipun bersatu dalam semangat, memerlukan dukungan yang lebih substansial dari komunitas internasional.
Meski demikian, pertemuan ini memperlihatkan, ada semacam kemauan politik yang kuat di kalangan negara-negara Islam untuk mengambil langkah kolektif, baik secara diplomatik maupun di ranah hukum internasional. Keteguhan ini mungkin menjadi awal bagi terbentuknya konsensus yang lebih solid di masa depan. Tetapi, tanpa aksi nyata yang didukung secara luas oleh kekuatan internasional yang lebih besar, upaya dunia Islam untuk mencapai keadilan bagi Palestina mungkin masih jauh dari kenyataan.
Akhirnya, KTT luar biasa OKI dan Liga Arab di Riyadh ini telah menunjukkan bahwa dunia Islam masih bersatu dalam mendukung perjuangan Palestina. Namun, dalam menghadapi tantangan kompleks diplomasi internasional dan dukungan Barat yang kuat kepada Israel, tekad ini membutuhkan bentuk aksi yang lebih konkret agar bisa memberikan dampak nyata. Dengan mengajukan usulan-usulan baru seperti referendum Palestina dan dukungan untuk tindakan di Mahkamah Internasional, dunia Islam tampaknya mulai bergerak menuju langkah-langkah yang lebih tegas.
Meskipun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan, tantangan besar masih menghadang. Dunia Islam perlu memperkuat kolaborasi mereka dan menjalin dukungan lebih luas di ranah internasional. Ini bukan hanya tentang melawan agresi Israel, tetapi juga memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia yang mendasar bagi rakyat Palestina.
KTT Riyadh ini mungkin merupakan langkah penting, tetapi perdamaian dan stabilitas yang abadi di Palestina dan kawasan sekitarnya masih memerlukan lebih dari sekadar retorika—ia memerlukan aksi yang nyata dan berkesinambungan. [MT]