London, Purna Warta – Sebuah media Inggris, Reuters melaporkan Untuk kembali ke kesepakatan nuklir JCPOA, Amerika Serikat harus mencabut sanksi yang dijatuhkan pada 700 individu dan entitas atau lembaga yang terkait dengan Iran selama kepresidenan Donald Trump.
Media pemberitaan internasional mengabarkan bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden, untuk kembali ke JCPOA, diwajibkan mencabut sanksi terhadap Iran yang dikenakan pada 700 individu dan entitas selama masa jabatan Donald Trump.
Baca Juga : Hamas: Sehari-Dua Hari Lagi Israel Menyerah
Reuters melaporkan bahwa statistik ini didasarkan pada penghitungan sanksi yang dijatuhkan oleh Departemen Keuangan AS setelah negara itu menarik diri dari JCPOA.
Angka tersebut muncul ketika wakil menteri luar negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebutkan 1500 jenis sanksi yang harus dicabut Amerika Serikat. Reuters tidak merinci angka-angka sanksi tersebut, dan hanya mengutip seorang pejabat AS yang mengatakan bahwa jumlah yang dihitung dari sanksi Trump mendekati perhitungan Biden.
Banyak dari sanksi ini yang tidak dapat diterima oleh Iran seperti ekspor minyak mentah, dimana hal tersebut menjadi keuntungan terbesarnya dalam memenuhi kewajiban nuklirnya dan membatasi program nuklirnya.
Reuters kemudian mengklaim bahwa pencabutan sanksi akan membuat Joe Biden terkena tuduhan seperti pelunakan terhadap terorisme, tetapi hal itu adalah pukulan politik yang harus dia hadapi untuk kembali pada kesepakatan JCPOA.
Menurut laporan itu, John Smith, direktur Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS, menggambarkan gelombang sanksi yang diterapkan Trump sebagai suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah AS kontemporer antara tahun 2015 sampai 2018.
“Menargetkan institusi Iran karena tuduhan dukungan untuk terorisme atau karena hubungan dengan Pasukan Quds IRGC telah mempersulit untuk menghidupkan kembali perjanjian JCPOA,” katanya, yang sekarang menjadi mitra di Firma Hukum Morrison & Forrester.
Dengan menambahkan label seperti terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia, secara politis sangat sulit untuk menghapus Iran dari daftar hitam AS. Akan tetapi mungkin saja hal itu terjadi, walaupun dalam masalah ini Biden akan mendapatkan reaksi yang lebih buruk.
Menurut laporan itu, salah satu kendala utama pembicaraan Wina, yang belum terselesaikan adalah permasalahan mengenai sanksi total terhadap Bank Sentral Iran. Sanksi tersebut dijatuhkan pada tahun 2012 dan kemudian dicabut berdasarkan kesepakatan nuklir, yang akhirnya pencabutan sangsi tersebut dibatalkan juga ketika Trump mundur.
Pada September 2019, Trump melangkah lebih jauh dengan memasukkan daftar hitam Bank Sentral Iran karena diduga mendanai kelompok teroris, secara efektif sanksi tersebut pun melarang orang asing dan semua pihak terlibat dengan bank Iran ini. Trump juga menargetkan bagian lain dari infrastruktur minyak Iran, termasuk Perusahaan Minyak Nasional Iran, Perusahaan Tanker Minyak Iran Nasional dan Perusahaan Petrokimia Nasional, karena diduga mendukung terorisme.
Menurut Reuters, para ahli mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Iran ini harus menerima keringanan sanksi, jika tidak maka permasalahan akan terus berdatangan terutama bagi perusahaan-perusahaan asing yang akan bekerja sama dengan Iran, bahkan perusahaan-perusahaan Amerika juga dilarang berbisnis dengan perusahaan-perusahaan ini dikarenakan adanya sanksi.
Reuters mengutip Elliott Abrams, utusan terakhir AS untuk Iran di bawah Trump, yang mengatakan sanksi itu didasarkan pada hukum AS sebagai awal argumen Partai Republik untuk menyerang Biden.
Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan bahwa pemerintahan Biden tidak berusaha untuk mematahkan argumen dasar yang digunakan Trump untuk menjatuhkan sanksi. Hal ini berarti pihak Biden tidak akan membahas lebih jauh mengenai Lembaga-lembaga Iran itu, apakah membantu teroris atau tidak. Di lain hal menurut pejabat AS, pemerintahan Biden telah menyimpulkan bahwa kembalinya pada kesepakatan nuklir Iran adalah untuk kepentingan keamanan nasional AS, walaupun dengan resiko pencabutan sanksi.
Di bagian lain dari artikel Reuters, disebutkan bahwa keputusan Trump pada April 2019 untuk memasukkan Korps Pengawal Revolusi Islam dan Pasukan Quds-nya ke dalam daftar hitam juga telah memperumit masalah. Pada September 2019, Kantor Kontrol Keuangan Departemen Keuangan AS menggunakan kekuatan kontra-terorisme untuk menargetkan Bank Sentral Iran karena diduga memberikan miliaran dolar kepada IRGC, Pasukan Quds, dan Hizbullah Lebanon.
Baca Juga : Pesan Saraya Al-Quds: Ratusan Jam Kami Menunggu, Mana Pasukan-mu Zionis?
Menurut Reuters, pemerintahan Biden tidak perlu mencabut label teroris dari Pengawal Revolusi untuk mencabut sanksi terhadap bank sentral. Adapun menurut mantan pejabat AS, “Menteri Keuangan dapat membalikkan sanksi apa pun terhadap Bank Sentral Iran di bawah perintah eksekutif AS, yang memberi Presiden AS kekuatan untuk menegakkan atau mencabutnya sesuka hati.”
Departemen Luar Negeri AS menyimpulkan tanpa merinci bahwa Amerika Serikat akan mencabut sanksi yang tidak sesuai dengan JCPOA hanya jika Iran kembali ke kewajiban JCPOA. “Akan ada ketegangan politik yang intens, apa pun yang menyertakan huruf “T” (kata pertama terorisme) dalam kasus ini bisa menjadi poin pertikaian bagi mereka yang menentang pengembalian AS ke kesepakatan JCPOA,” kata Henry Rome, seorang analis kelompok Eurasia mengenai Iran.