Roma, Purna Warta – Kota al-Quds tidak dapat diakui sebagai “ibu kota” rezim Israel, demikian putusan pengadilan Italia.
Pengadilan Roma mengatakan putusannya didasarkan pada prinsip hukum internasional dan merupakan upaya dunia untuk merundingkan sengketa Israel-Palestina dengan mengambil posisi yang tidak memihak terkait masalah kepemilikan al-Quds yang kontroversial.
“Mengakui (al-Quds) sebagai ibu kota Israel akan bertentangan dengan hukum internasional dan bertentangan dengan janji Italia untuk mendukung perdamaian dan kenetralan dalam konflik Israel-Palestina,” kata pengadilan tersebut.
Putusan tersebut menyoroti sikap global bahwa status kota tersebut harus diselesaikan melalui negosiasi.
Pengadilan Roma mengatakan keputusan tersebut menggarisbawahi komitmen Italia terhadap perdamaian dan kenetralan dalam konflik Israel-Palestina, menekankan diplomasi atas tindakan sepihak, dan mencerminkan kompleksitas dalam mencapai resolusi yang adil dan langgeng atas status al-Quds yang kontroversial.
Putusan tersebut disambut baik oleh organisasi pro-Palestina dan kelompok hak asasi manusia yang melihatnya sebagai konfirmasi sistem hukum global yang menegakkan hak-hak Palestina.
Mereka mengatakan bahwa mendeklarasikan al-Quds sebagai “ibu kota” Israel tanpa kesepakatan yang dinegosiasikan “melemahkan peluang perdamaian dan memvalidasi tindakan Israel di wilayah yang diduduki.”
Francesca Albanese, pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Palestina, juga bereaksi terhadap putusan pengadilan Italia dan memuji keputusan “penting” tersebut.
“Hari ini tidak hujan, tetapi deras. Keputusan penting dalam sistem peradilan Italia mengenai status (al-Quds): berhenti menyebutnya sebagai ibu kota Israel, bukan. Dan motivasi hakim itu sungguh menyentuh,” tulis Albanese dalam sebuah unggahan di akun media sosial X miliknya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui resolusi seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB 478, telah dengan jelas menyatakan bahwa deklarasi Israel di al-Quds tidak sah, dan menyarankan negara-negara anggota agar tidak mendirikan kantor diplomatik di sana.
Negosiasi antara entitas pendudukan dan Palestina diharapkan dapat menentukan status akhir kota tersebut di bawah kerangka solusi dua negara.
Lebih dari 700.000 warga Israel tinggal di lebih dari 230 permukiman yang dibangun sejak pendudukan Israel tahun 1967 di Tepi Barat dan al-Quds Timur.
Masyarakat internasional memandang permukiman tersebut ilegal menurut hukum internasional dan Konvensi Jenewa karena pembangunannya di wilayah pendudukan.
Warga Palestina menginginkan Tepi Barat sebagai bagian dari negara Palestina merdeka di masa depan dengan al-Quds Timur sebagai ibu kotanya.