London, Purna Warta – Pengadilan Banding Inggris memutuskan bahwa peninjauan yudisial penuh terhadap pelarangan kontroversial pemerintah terhadap Palestine Action, sebuah kelompok aksi langsung, akan dilanjutkan bulan depan.
Baca juga: “Kejahatan Perang Israel”: PFLP Kecam Mutilasi Jenazah para Syuhada Palestina
Panel yang terdiri dari tiga hakim, dipimpin oleh Lady Chief Justice Sue Carr, menolak upaya Kementerian Dalam Negeri (Home Office) untuk menghentikan perkara tersebut, dan menegaskan putusan sebelumnya oleh Hakim Chamberlain yang memberikan izin kepada Huda Ammori, salah satu pendiri Palestine Action, untuk menggugat pelarangan itu.
Putusan ini menandai pertama kalinya dalam sejarah Inggris sebuah organisasi yang “dilarang” (proscribed) mendapatkan hak untuk menantang status pelarangannya di pengadilan terbuka berdasarkan Undang-Undang Terorisme negara itu.
Para pengamat menilai perkembangan ini sebagai pukulan telak bagi Home Office, yang dituduh melakukan represi bermotif politik, sekaligus sebagai kemenangan besar—baik secara hukum maupun moral—bagi kebebasan sipil dan gerakan pro-Palestina.
Pelarangan pemerintah yang diumumkan pada 5 Juli terhadap Palestine Action, sebuah jaringan akar rumput yang dikenal dengan kampanye langsung tanpa kekerasan menentang produsen senjata Israel Elbit Systems, dikecam luas oleh para pembela hak sipil sebagai serangan terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk memprotes secara damai.
Keputusan tersebut secara efektif menempatkan gerakan itu dalam daftar yang sama dengan kelompok teroris Takfiri seperti Daesh (ISIS), sehingga mengkriminalisasi siapa pun yang secara terbuka mendukungnya.
Sejak pelarangan diberlakukan, lebih dari 2.000 aktivis telah ditangkap, banyak di antaranya hanya karena membawa papan bertuliskan “Saya menentang genosida, saya mendukung Palestine Action.”
Baca juga: Implementasi Gencatan Senjata di Gaza Terhambat oleh Taktik Penghalang Israel
Dalam putusannya, Pengadilan Banding tidak hanya menolak banding Home Office, tetapi juga memperluas cakupan perkara, dengan menambahkan dua dasar gugatan baru ke dalam gugatan yang sudah ada.
Langkah ini memperkuat posisi hukum gerakan tersebut menjelang sidang yang akan digelar pada 25 November, berlangsung selama tiga hari, dan berpotensi menjadi preseden penting bagi kasus kebebasan sipil di masa depan.
“Kemenangan bersejarah”
Ammori menyambut putusan tersebut sebagai “kemenangan bersejarah” melawan “larangan otoriter” yang diterapkan pemerintah.
“Pengadilan banding dengan tepat menolak upaya [mantan Menteri Dalam Negeri] Yvette Cooper untuk menghalangi peninjauan hukum atas larangan yang sangat otoriter dan tidak masuk akal itu — sambil memberi kami dasar tambahan untuk menggugatnya,” katanya.
Sang aktivis menambahkan bahwa keputusan tersebut menegaskan prinsip bahwa para menteri harus dimintai pertanggungjawaban ketika mereka melanggar kebebasan fundamental secara melawan hukum.
Para hakim mencatat bahwa jalur hukum yang diinginkan Home Office—yaitu melalui Komisi Banding Organisasi Terlarang (POAC)—tidak akan mampu secara memadai menangani penderitaan ratusan orang yang menghadapi penuntutan di bawah perintah yang mungkin tidak sah secara hukum.
Dalam putusan tertulisnya, Lady Carr menekankan bahwa peninjauan yudisial adalah cara yang “lebih cepat dan lebih berwibawa” untuk menentukan legalitas pelarangan tersebut, terutama mengingat kepentingan publik yang besar dalam kasus ini.
Sebelumnya, Hakim Chamberlain memutuskan bahwa “secara wajar dapat diperdebatkan” bahwa pelarangan tersebut merupakan pelanggaran yang tidak proporsional terhadap hak kebebasan berbicara dan berunjuk rasa, serta bahwa Menteri Dalam Negeri gagal berkonsultasi dengan Palestine Action sebelum memberlakukan pelarangan itu—suatu pelanggaran terhadap prosedur hukum yang semestinya.
Namun, juru bicara Home Office bersikeras bahwa organisasi tersebut “tetap dinyatakan terlarang” dan memperingatkan bahwa pendukungnya akan menghadapi konsekuensi hukum sepenuhnya.
Para ahli hukum menyatakan bahwa hasil sidang bulan depan dapat menentukan ulang batas kekuasaan pemerintah dalam menekan perbedaan pendapat dengan dalih keamanan nasional.
Elbit Systems, perusahaan yang menjadi fokus utama aksi-aksi Palestine Action, merupakan produsen militer terbesar Israel, yang memproduksi sekitar 85 persen peralatan darat militer Israel serta 85 persen drone yang digunakan oleh angkatan udara Israel.
Kelompok ini meningkatkan aksi protesnya setelah Oktober 2023, ketika rezim Israel melancarkan perang genosida besar-besaran terhadap Jalur Gaza, yang hingga kini telah menewaskan sekitar 68.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.