London, Purna Warta – Surat kabar Inggris Financial Times menulis bahwa Arab Saudi bersikeras melawan demokrasi , peran lain yang begitu menonjol adalah melawan revolusi Musim Semi Arab, serta mendukung konflik di wilayah tersebut.
Nasib demokrasi di Timur Tengah sangat tidak beruntung karena negara-negara otoriter seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak bisa memfasilitasi kinerja demokrasi, kata surat kabar itu. Sebaliknya, Arab Saudi dan negara-negara kontra-revolusioner lainnya mendukung konflik proksi di Lebanon, Libya, Suriah, dan Tunisia.
Financial Times melaporkan bahwa satu dekade yang lalu, orang-orang di seluruh dunia Arab berteriak untuk jatuhnya para tiran, tetapi sekarang mereka menangis karena jatuhnya demokrasi.
Kemunduran ini memiliki konsekuensi global bagi kebebasan politik di Timur Tengah. Di Amerika Serikat, Presiden Joe Biden mengatakan abad ini akan melihat pertempuran antara otoritarianisme dan demokrasi.
Beijing, di sisi lain, menggunakan “model Cina” yang lebih mengutamakan stabilitas dan ketertiban daripada kebebasan politik, di sisi lain peristiwa di Timur Tengah merupakan tanda peringatan bagi demokrasi.
Di Tunisia, Presiden Qais Saeed berhasil menggulingkan perdana menteri dan mencabut wewenang anggota parlemen selama 30 hari. Meskipun tindakan presiden dalam skala besar ini dianggap kudeta, tindakan itu tampaknya populer di negara- negara yang telah menghadapi krisis ekonomi dan pemerintahan yang tidak efisien selama bertahun-tahun.
Tunisia adalah negara kecil yang telah memainkan peran utama dalam sejarah kontemporer Timur Tengah. Sejak gerakan musim semi Arab dimulai satu dekade lalu dengan penggulingan mantan Presiden Zainal abidin bin Ali setelah 23 tahun berkuasa, percikan api Tunisia kemudian menyebar ke seluruh wilayah di sekitarnya, sampailah ke wilayah Mesir, Hosni Mubarak dan Libia, Muammar Gaddafi, dua pemimpin lama yang jatuh karena gerakan tersebut.
Jalannya demokrasi Mesir berakhir pada tahun 2013, ketika kudeta militer terjadi, menyebabkan penggulingan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin. Libya juga memasuki perang saudara setelah kematian Gaddafi, begitu juga Suriah yang menyebabkan kerusuhan antara pemberontak dan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Tapi kelangsungan demokrasi di Tunisia yang diilhami oleh para pemberontakan Arab masih terus berkedip, dan kehancuran demokrasi di negara itu justru memiliki pesan yang berlawanan. Bahkan rencana akhir Qais Saeed sampai sekarang ini belum jelas, sehingga kondisi seperti ini akan mengarah pada kembalinya pemerintahan yang otoriter.
Bagaimana mereka yang setuju dengan argumen Biden dapat membenarkan penurunan demokrasi di Timur Tengah ini? Tidak perlu kita menguatkan keyakinan bahwa kebebasan politik itu sangat penting atau harapan bahwa kebebasan politik pada akhirnya akan dilembagakan di wilayah tersebut. Karena prinsip ini harus diimbangi dengan mengiringi nasib perjuangan rakyat jelata yang menjadi tawanan negara-negara gagal.
Terlepas dari pentingnya demokrasi, dalam piramida kebutuhan pangan, keamanan dan tempat tinggal, masalah demokrasi menjadi nomor dua. Jika pemerintah terpilih gagal memenuhi kebutuhan dasar ini, godaan untuk merangkul orang kuat yang menjanjikan stabilitas keamanan akan meningkat.
Di Timur Tengah, Lebanon dan Irak – negara-negara yang masih resmi menjadi negara demokrasi – berada di ambang kegagalan.
Tahun lalu, Beirut dihancurkan oleh ledakan kimia yang membuat pelabuhannya rusak. Sebagian besar reformis politiknya telah dibunuh, dan isu-isu ini menggarisbawahi fakta bahwa sebuah negara di bawah tingkat pemilihan dan kebebasan berekspresi ada di tangan para panglima perang.
Irak, bernasib seperti Lebanon, telah mengadopsi bentuk demokrasi yang membagi kekuasaan berdasarkan sektarianisme. Sebuah sistem yang mempersulit reformasi secara umum.
Meskipun Irak menghadapi kekurangan air dan listrik, tidak jarang terdengar suara rakyatnya yang mengingat kenangan Saddam yang telah memberi mereka jaminan listrik.
Negara-negara demokrasi yang sedang berkembang di Timur Tengah juga kurang beruntung. Negara-negara terkaya dan terkuat di kawasan ini seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar adalah rezim otoriter yang memiliki sedikit minat untuk membantu keberhasilan pengalaman demokrasi. Sebaliknya, mereka justru memulai perang proksi di Lebanon, Libya, Suriah, dan Tunisia.
Tidak ada alasan untuk percaya bahwa orang-orang Timur Tengah berbeda dari umat manusia lainnya dalam preferensi mereka untuk kebebasan dan supremasi hukum daripada kediktatoran. Namun dekade terakhir juga menunjukkan kenaifan mereka yang berharap demokrasi dapat dengan mudah dilembagakan di seluruh kawasan.
Berbagai peristiwa telah menunjukkan bahwa pemilihan umum yang bebas untuk membentuk pemerintahan yang stabil sulit dilakukan di negara-negara di mana puluhan tahun kediktatoran telah mencegah munculnya lembaga-lembaga demokrasi seperti pengadilan independen, lingkaran media yang bebas, dan layanan publik yang profesional.
Pengalaman negara-negara Asia seperti Korea Selatan dan Taiwan menunjukkan bahwa periode perkembangan ekonomi, pendidikan, dan kelembagaan yang pesat di bawah rezim otoriter dapat menciptakan kondisi yang meningkatkan kemungkinan keberhasilan transisi menuju demokrasi.
Bahkan Eropa berkembang pesat pada abad kedelapan belas di bawah kepemimpinan sekelompok penguasa yang dikenal sebagai tiran intelektual. Tapi masalahnya adalah jumlah non-intelektual di Timur Tengah lebih banyak daripada jumlah intelektual. Salah satu alasan revolusi 2011 adalah rasa jijik rakyat terhadap korupsi dan resesi selama bertahun-tahun.
Tirani di satu sisi mungkin tampak masuk akal, tetapi biasanya secara umum tirani ini berarti suatu penyiksaan, pembunuhan, dan ketidakadilan. Generasi Arab otoriter sebelumnya dapat memperoleh legitimasi melalui makanan, layanan bersubsidi, dan pekerjaan di pemerintahan, tetapi hari ini opsi ini tidak lagi berfungsi karena banyak pemerintah yang gagal dan berutang banyak.