HomeInternasionalEropaBank of England Laporkan Angka Kemiskinan di Inggris Meningkat

Bank of England Laporkan Angka Kemiskinan di Inggris Meningkat

London, Purna Warta – Ekonom bank sentral Inggris memperingatkan dampak kenaikan harga yang berlebihan yang memicu penambahan angka kemiskinan di negara ini.

Menurut kantor berita Sputnik, ekonom senior Bank of England hari Selasa (25/4) memperingatkan dampak harga akan tetap tinggi, sehingga banyak orang harus menerima kenyataan bahwa mereka akan menjadi lebih miskin. Meskipun pemerintah Inggris berjanji untuk menurunkan tingkat inflasi di negaranya.

“Inggris, sebagai importir gas alam, menghadapi situasi di mana harga yang dibelinya dari dunia melonjak naik dibandingkan dengan layanan yang dijualnya,” ujar ekonom senior bank sentral Inggris. “Apa yang kita hadapi sekarang adalah keengganan untuk mengakui bahwa keadaan kita semua lebih buruk,” tegasnya.

Inggris Raya menjadi satu-satunya negara kawasan Eropa yang mengalami tingkat inflasi dua digit pada bulan lalu. Pejabat pemerintah Inggris telah berjanji untuk mengurangi inflasi dan menekan situasi ekonomi yang buruk. Tetapi Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menjelaskan bahwa rakyat Inggris seharusnya tidak mengharapkan pemerintah menjadi solusi untuk semua masalah mereka. Selain itu, tantangan ekonomi tidak akan hilang tahun ini.

Meskipun semua negara Eropa berada dalam krisis ekonomi dan inflasi merajalela, statistik dan survei menunjukkan bahwa Inggris berada dalam situasi terburuk dalam segala hal dibandingkan dengan semua negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Rumah tangga Inggris menghadapi pukulan terbesar dalam 30 tahun terakhir. Ini akibat tingkat inflasi yang tinggi. Mahalnya biaya di negara itu menjadi penyebab. Ini didorong tagihan energi yang melonjak.

Awal Februari ini, regulator energi Inggris, Ofgem, mengumumkan kenaikan harga gas dari pemasok akan dibebankan ke konsumen. Tarif listrik dan gas akan naik 54% ke pengguna rumah tangga. Ini akibat pembelian gas yang tidak memiliki “kesepakatan tetap” dengan pemasok. Harga yang harus dibayar konsumen naik sebesar 693 pound menjadi 1.971 pound (sekitar Rp 38.000.000) per tahun.

Belum lagi kenaikan pajak yang sudah dilakukan tahun ini. Jutaan warga Inggris yang biasanya nyaman secara financial kini menghadapi “krisis biaya hidup”. Hal ini dirasakan Nicola Frape. Ia terpaksa mematikan pemanas dan meringkuk bersama anaknya, dengan botol air panas, tiap malam.

Membiarkan pemanas menyala akan menguras rekening banknya yang pastinya “terpukul” inflasi. Padahal pendapatan tak naik. Tak ada lagi biaya untuk sekedar menonton bioskop. Perawat lansia berusia 38 tahun itu mengeluh sudah menghabiskan banyak uang untuk makanan dan bahan bakar (BBM).

Frape mengatakan pengeluaran untuk makanan dan bensin telah meningkat 20 pounds perminggu. Dia dan putrinya yang berumur 14 tanin, juga membatasi jalan-jalan guna menabung menghadapi “ancaman” lain di April.

“Terlalu banyak yang naik sekaligus,” kata Frape sebagaimana dimuat Reuters. “Tekanan akan semakin buruk di bulan April.”

Kenaikan harga barang di Inggris dimulai saat penguncian corona (Covid-19) dibuka akhir 2021 lulu. Pulihnya sebagian dunia, sebelum munculnya Omicron, mendorong makanan hingga energi naik. Permintaan pulih. Padahal barangnya masih kurang karena gangguan pada rantai pasokan.

Kini Frape dan serikat pekerja menuntut kenaikan gaji di atas 6,6%. Sebelumnya pemerintah menetapkan batasan itu dalam pah minimum. Beruntung Frape datang dari kelas menengah. Rumah tangga berpenghasilan rendah di Inggris, merasakan tekanan yang lebih keras.

National Institute of Economic and Social Research (NIESR), sebuah think tank Inggris, memperkirakan bakal ada kenaikan 30% dalam angka kemiskinan di negara itu. Inggris sendiri merupakan negara ekonomi terbesar kelima di dunia.

Satu juta anak dari keluarga pekerja esensial di Inggris hidup dalam kemiskinan, menurut studi yang dipublikasikan pada Rabu. Studi Trades Union Congress (TUC) itu menemukan di beberapa wilayah di Inggris, lebih dari seperempat anak-anak pekerja esensial hidup dalam kemiskinan.

Tingkat tertinggi ditemukan di Inggris timur laut dengan tingkat kemiskinan anak mencapai 29 persen, diikuti oleh London, 27 persen, West Midlands, 25 persen, serta Yorkshire dan Humber, 25 persen. TUC mengatakan penyebab utama dari kemiskinan di kalangan keluarga pekerja esensial, seperti perawat orang lanjut usia, kurir, dan staf pasar swalayan, adalah gaji yang rendah dan jam kerja yang tidak pasti.

“Kebijakan pemerintah saat ini memiliki kemungkinan lebih besar untuk menaikkan tingkat kemiskinan anak,” kata juru bicara TUC, seraya menambahkan bahwa para menteri membatasi kenaikan gaji untuk pekerja esensial di sektor publik, yang dalam beberapa kasus akan berarti hilangnya upah riil.

TUC, pusat serikat pekerja yang mewakili jutaan pekerja, memperingatkan kebijakan itu akan menghambat pemulihan ekonomi Inggris pasca Covid-19 dengan membatasi belanja rumah tangga. “Setiap pekerja esensial berhak mendapatkan standar hidup yang layak untuk keluarganya. Namun, kerja keras mereka sering kali tidak terbayarkan sebagaimana mestinya. Dan mereka kesulitan menyediakan biaya dasar untuk kehidupan rumah tangga,” ujar Sekretaris Jenderal TUC Frances O’Grady.

“Perdana menteri berjanji akan ‘membangun kembali dengan dengan lebih adil’. Dia harus mulai dari pekerja esensial. Mereka sudah mempertaruhkan nyawa demi menjaga negara ini tetap bertahan melewati pandemi,” tutur O’Grady.

TUC menyerukan agar pemerintah menjamin standar hidup yang layak bagi keluarga pekerja esensial dengan menaikkan upah minimum nasional menjadi 10 poundsterling per jam, serta mengakhiri penangguhan upah pekerja layanan masyarakat.

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here