Donald Trump: Arsitek Kehancuran Tatanan yang Amerika Sendiri Ciptakan

Amerika

Purna WartaAbad ke-21 mempersembahkan ironi historis yang luar biasa: Amerika Serikat, arsitek utama globalisasi, kampiun pasar bebas, dan penginjil ekonomi terbuka, kini membalik meja dagang dunia sembari menuduh para tamu mencuri sendok dari jamuan yang ia sendiri gelar.

Di bawah kepemimpinan Donald Trump, ekonomi Amerika bertransformasi dari role model global menjadi case study terapi kejut ekonomi. Ia mengadopsi kembali model merkantilisme, bukan karena berhasil, tapi karena tidak ada lagi kebijakan modern yang belum dicoba dan gagal.

Trump, bersama lingkaran ekonom pseudo-strategisnya, tampaknya percaya bahwa dunia tengah menjalani konspirasi kosmik untuk mengecilkan porsi ekonomi Amerika. Solusinya? Menarik pasukan, menutup pelabuhan dagang, dan menyandera sistem tarif global, semuanya dibungkus jargon patriotik. Maka lahirlah Neo-Merkantilisme ala MAGA: kebijakan ekonomi berbasis dendam historis, nostalgia imperium, dan kebingungan makroekonomi yang diwariskan dari ketidaksabaran menghadapi kenyataan.

Namun, neo-merkantilisme ini tidak berangkat dari semangat proteksionisme yang konvensional, melainkan lebih menyerupai terapi kolektif untuk superioritas yang terluka. Tarif tak lagi berfungsi sebagai alat fiskal, melainkan simbol perlawanan eksistensial terhadap kenyataan bahwa dunia tak lagi bersandar pada dolar sebagaimana dulu. Ini bukan lagi kebijakan ekonomi, ini ritual pemanggilan arwah kejayaan.

Lebih dari 11 triliun dolar menguap dalam perang tarif dengan Tiongkok, sebuah pencapaian luar biasa dalam disiplin ekonomi destruktif mandiri. Bahkan negara-negara Dunia Ketiga, yang selama ini menjadi korban kebijakan unilateral Washington, kini menyaksikan Amerika sebagai ilustrasi sempurna dari konsep self-sanction. Ini mungkin satu-satunya masa dalam sejarah ketika sebuah imperium memilih bunuh diri fiskal, lalu menyalahkan korban kolonialisme sebelumnya atas kematiannya sendiri.

Dalam skenario ini, setiap kebijakan ekonomi Amerika tampak seolah-olah dirancang oleh tim penulis Black Mirror, bukan oleh para ekonom. Kebijakan diluncurkan laksana permainan Russian roulette, dengan satu peluru inflasi, satu peluru stagflasi, dan sisanya berisi utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Setiap kali pelatuk ditarik, pasar global menahan napas.

Lebih tragis lagi, Amerika mencoba membangkitkan kembali model kolonialisme ekonomi di dunia multipolar, tempat Rusia, Tiongkok, dan bahkan Iran kini memiliki suara dalam menentukan arah geopolitik. Negeri Paman Sam kini mencoba membeli Greenland, menggertak Panama, dan mengancam Kanada, seolah-olah masih hidup dalam peta dunia abad ke-19, hanya saja kali ini dengan satelit Starlink dan utang obligasi dari Tiongkok.

Strategi ini tentu memiliki nilai ilmiah yang, dalam tafsir paling murah hati, dapat dianggap sebagai eksperimen sosial global: seberapa jauh sebuah negara dapat menantang hukum ekonomi modern sebelum terjerembap ke jurang resesi. Ini bukan lagi kebijakan ekonomi; ini adalah proyek geoekonomik nihilistik. Tujuannya bukan untuk menang, tetapi untuk memastikan tak ada yang menang jika Amerika kalah.

Namun seperti semua epos tragikomedi kekaisaran, drama ini tetap menyisakan harapan: jika Amerika gagal total, setidaknya ia akan meninggalkan warisan akademis yang luar biasa bagi generasi mendatang, sebuah bab khusus dalam buku teks ekonomi berjudul “Bagaimana Menghancurkan Tatanan Dunia dalam Dua Masa Jabatan (dan Mungkin Masih Terpilih Kembali).”

Kini dunia menyaksikan eksperimen sosial-ekonomi paling ambisius sejak Uni Soviet mencoba merencanakan seluruh perekonomiannya melalui spreadsheet. Bedanya, Uni Soviet runtuh dalam diam. Amerika kemungkinan akan melakukannya sambil menyiarkan langsung konferensi pers dari Gedung Putih dengan judul, “We’re Winning Again.”

Dan akhirnya, kita harus memberi penghargaan yang layak: dibutuhkan keberanian luar biasa untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang membuat musuh, sekutu, dan rakyat sendiri menderita dalam porsi yang merata. Sejarah tidak akan lupa. Bahkan jika dunia lupa siapa yang pertama kali menyebarkan globalisasi, ia akan selalu mengingat siapa yang pertama kali menamparnya sendiri

Oleh: Muhlisin Turkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *