Beirut, Purna Warta – Pada pagi hari 3 Januari 2020, beberapa rudal telah ditembakkan tepatnya di daerah dekat Bandara Internasional Baghdad dan menghantam kendaraan yang di dalamnya ada Haj Qasem Soleimani, Komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam, dan Abu Mahdi Al-Muhandis, Wakil ketua organisasi Irak Al-Hashd al-Shaabi dan sejumlah rekan-rekan mereka dan semuanya menjadi syahid. Tapi apakah yang sebenarnya terjadi di hari itu?
Jaringan Berita Al-Mayadin, yang telah meliput dan mendokumentasikan beberapa film dokumenter selama dua minggu pada peringatan pertama kesyahidan para komandan poros perlawanan, menulis dalam sebuah laporan tentang film dokumenter “The Last Hour” (saat-saat terakhir)
Setelah pembunuhan Soleimani dan Al-Muhandis, semua orang terkejut dan bertanya apa yang telah terjadi di malam itu? Apakah bukti yang memperlihatkan kejadian mengenai upaya Presiden AS Donald Trump dalam melakukan operasi semacam itu yang secara langsung menargetkan pemerintah Irak? Bagaimana para pelaku operasi ini mendapatkan informasi tentang langkah dan keberadaan Jenderal Soleimani yang dirahasiakan sepenuhnya? Serangkaian pertanyaan seperti itu muncul untuk mencari dan mengungkapkan mata rantai yang hilang dalam operasi serangan teroris ini.
Al-Mayadin menulis bahwa Perdana Menteri Irak saat itu, Adil Abdul-Mahdi, sebelum serangan teroris AS ini, pihaknya tidak mengetahui apa-apa mengenai niat AS untuk membunuh para syuhada yakni Soleimani dan Mohandes awal tahun lalu. Dalam film tersebut, ia berbicara tentang detail percakapannya dengan Trump, tiga hari sebelum serangan teroris.
Mengapa Haji Qasem pergi ke Baghdad?
Dia berkata “Trump menelepon saya pada Malam Tahun Baru [2020] sekitar jam 9,” dan dia menambahkan dalam perbincangan itu bahwa “Amerika tidak mengenal orang Iran dengan baik, tapi orang Irak lah yang mengenal mereka dengan baik.”
Abdul Mahdi dalam film dokumenter tersebut melanjutkan: “Saya mengatakan kepadanya mengenai Iran yang berkata bahwa mereka tidak mencari perang, seperti halnya perang tersebut sebenarnya tidak juga diinginkan Amerika. Saya kemudian menyarankan kepada Trump bahwa dia sebaiknya bernegosiasi langsung dengan Iran atau berusaha untuk mencapai kesepakatan diam-diam seperti yang dicapai pada tahun 2003. “Anda negosiator yang baik. Apa yang dapat anda lakukan dalam hal ini, kami siap untuk itu,” kata Trump kepada Adil Abdul Mahdi.
Mantan Perdana Menteri Irak itu mengatakan: “Pembicaraan ini berakhir pada saat itu dan dilain hal ada kesepakatan resmi dan undangan bagi Syahid Soleimani untuk datang ke Irak untuk melakukan konsultasi. Rencana pembunuhan itu terlihat bukanlah keputusan yang tergesa-gesa diambil dalam satu atau dua hari, tetapi memang sudah direncanakan sejak lama.”
Abdul Mahdi menambahkan: “Pemerintah Irak pada saat itu memerintahkan penangguhan izin semua operasi penerbangan [di wilayah langit Irak].” Terutama ketika dia menyadari bahwa Israel telah masuk dalam wilayah permasalahan ini, dan hal itu menyebabkan segalanya harus diawasi dan dibatasi.
Di sisi lain, Ali Mohammad Taqi, direktur Bandara Baghdad, mengatakan dalam film dokumenter itu: “Sebuah wilayah udara terbuka dialokasikan khusus untuk pesawat pengintai Amerika untuk mengidentifikasi dan mengawasi pangkalan militernya di Irak.”
Menurut Taqi, wilayah udara hanya mengizinkan dua pesawat pengintai yang beroperasi bagi mereka. Sehari sebelum kecelakaan, pesawat ketiga memasuki wilayah udara yang dimaksud dengan sangat cepat, sedangkan hanya dua pesawat yang dibolehkan terbang di wilayah udara tersebut. Biasanya, salah satu pesawat seharusnya sudah kembali untuk menggantikan pesawat lainnya, tetapi kenyataannya mereka tetap ada, dan pada saat itu mereka tidak menanggapi panggilan peringatan dari Iraqi Air Watch Tower mengenai pelanggaran yang tidak terkendali ini.
Namun dengan adanya kerahasiaan gerakan operasi pembunuhan ini, bagaimana pihak Amerika mengetahui waktu dan momen kedatangan Komandan Soleimani dan jadwal pertemuannya dengan Al-Muhandis? Siapa yang menunjukkan keberadaan mereka di dalam dua mobil seremonial Al-Hashd al- Shaabi?
Operasi serangan pembunuhan ini sangat akurat tanpa memberikan ruang kesalahan, dan pesawat hanya melakukan pemboman setelah memastikan tujuan yang ditargetkan. “Masalah pengintaian elektronik untuk pengawasan adalah suatu kemampuan teknogi yang tidak terbatas operasinya hanya pada wilayah Irak saja, tetapi mungkin terjadi juga di wilayah Suriah dan di seluruh Kawasan, oleh karena itu, saya menilai berdasarkan pengamatan waktu bahwa kemampuan teknologi ini telah digunakan di wilayah Suriah juga,” kata Ahmad al-Sharif, seorang analis urusan strategis dalam film dokumenter tersebut.
Dia juga menjelaskan mengenai alasan Amerika Serikat tidak melakukan operasi serangannya di Suriah, dan melakukan operasi itu di Irak, menurutnya karena jika operasi itu dilakukan di wilayah Suriah, maka akan terjadi masalah dengan saingannya yakni Rusia mengenai perbatasan wilayah kekuasaan. Rusia tidak akan diam akan hal ini, dan di sisi lain Amerika Serikat akan terhalang oleh informasi teknis dan aktivitas teknologi Rusia. Namun di Irak, kedaulatan absolut langit ada di tangan Amerika Serikat. Secara politik, dia juga bisa memanfaatkan ketegangan politik di dalam negeri dan melakukan operasi serangan ini.
Ali al-Khafaf, wakil kepala organisasi al-Hashd al-Shaabi dan seorang dokter yang dekat dengan al-Mohandes, mengatakan: “Al-Muhandis bersikeras pada hari-hari terakhir untuk bergerak sendiri karena dia mengetahui akan menjadi sasaran setiap saat.”
Pusat Informasi Organisasi Al-Hashdal al-Shaabi Irak baru-baru ini mengumumkan produksi film dokumenter “The Last Hour” tentang saat-saat terakhir kehidupan para syuhada Qassem Soleimani dan Abu Mahdi Al-Mohandes dan film tersebut disiarkan pertama kali pada peringatan pertama kesyahidan para komandan poros perlawanan ini.
Dalam serangan teroris pada 3 Januari tahun lalu, militer AS telah membunuh komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam dan wakil kepala organisasi Al-Hashd al-Shaabi, bersama dengan beberapa rekan-rekan pejuang poros perlawanan, saat mereka meninggalkan bandara Baghdad. Tindakan AS tersebut mendorong parlemen Irak untuk memberikan suara dan bersepakat di dua hari kemudian mengenai rencana untuk mengusir pasukan asing, termasuk AS, dari Irak.
Sejak 2014, sekitar 5.000 tentara AS telah ditempatkan di pangkalan militer Irak sebagai bagian dari koalisi internasional yang mengklaim memerangi ISIS.
Baca juga: Kejahatan Koalisi Saudi Tahun Baru Menyerang Acara Pernikahan di al-Hudaydah