Krisis Populasi Makin Parah, Jepang Siapkan Subsidi Rp372 T

Krisis Populasi Makin Parah, Jepang Siapkan Subsidi Rp372 T

Tokyo, Purna Warta – Jepang tengah dilanda krisis populasi atau turunnya angka kelahiran. Atas hal itu, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida menyiapkan dana senilai US$ 25 miliar atau sekitar Rp 372,85 triliun untuk memperluas dukungan bagi kaum muda dan keluarga, sehingga harapannya dapat membantu meningkatkan angka kelahiran yang anjlok di negara itu.

Melansir dari Channel News Asia (CNA), dalam upaya tersebut, upaya yang tengah dilakukan pemerintah Jepang, seperti memberikan subsidi langsung dengan nilai yang lebih besar bagi masyarakat yang memiliki anak dan lebih membutuhkan banyak bantuan berupa keuangan untuk pendidikan dan perawatan prenatal. Serta, ada juga promosi gaya kerja yang fleksibel dan cuti ayah.

Baca Juga : PBB Serukan Gencatan Senjata Segera di Sudan

Fumio Kishida mengatakan, dia telah mengusulkan kebijakan untuk mengatasi penurunan angka kelahiran dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta langkah-langkah untuk meningkatkan pendapatan bagi kaum muda, dan generasi yang mengasuh anak.

“Kami akan bergerak maju dengan langkah-langkah ini untuk melawan penurunan angka kelahiran tanpa meminta masyarakat menanggung beban lebih lanjut,” katanya kepada para menteri, pakar, dan pemimpin bisnis yang berkumpul untuk membahas masalah tersebut, seperti dikutip, Jumat (2/6).

Tak hanya Jepang, banyak negara maju lainnya yang tengah berjuang dengan tingkat kelahiran yang rendah, namun masalah resesi seks ini menjadi sangat parah dan akut di Jepang. Jepang memiliki populasi tertua kedua di dunia setelah Monako, dan aturan imigrasi yang relatif ketat berarti menghadapi kekurangan tenaga kerja yang terus meningkat.

Negara berpenduduk 125 juta ini mencatat kurang dari 800.000 kelahiran tahun lalu, terendah sejak pencatatan dimulai, sementara biaya perawatan lansia melonjak.

Pada pertemuan hari Kamis, Kishida mengatakan dia ingin menganggarkan sekitar 3,5 triliun yen (US$ 25 miliar) atau setara dengan Rp 372,85 triliun (asumsi kurs Rp 14.914/dolar AS) selama tiga tahun ke depan untuk kebijakan tersebut.

Namun, dorongan tersebut telah menuai kritik karena kegagalannya untuk mengidentifikasi sumber pendanaan selain pemotongan pengeluaran di tempat lain dan meningkatkan ekonomi.

Baca Juga : Perkuat Koalisi Militer, Iran Siap Ekspor Senjata ke Negara-Negara Sahabat

Krisis Populasi Sebabkan Banyak Sekolah Tutup

Dalam pemberitaan Reuters akhir pekan kemarin, dua siswa bernama Eita Sato dan Aoi Hoshi menjadi satu-satunya dan lulusan terakhir di SMP Yumoto, di Desa Ten-ei, Prefektur Fukushima, utara Jepang. SMP itu sendiri akan ditutup secara permanen, setelah 76 tahun berdiri.

“Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut,” kata Eita.

Fenomena tutupnya sekolah terjadi akibat angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan. Jumlah ini meningkat terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima yang telah merasakan depopulasi.

Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran. Termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak.

Ia juga mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting. Tapi sedikit yang telah membantu sejauh ini. Kelahiran anjlok di bawah 800.000 pada tahun 2022, rekor terendah baru. Perkiraan pemerintah menyebut depopulasi juga delapan tahun lebih awal dari yang diharapkan.

Fenomena ini memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil. Padahal ini seringkali menjadi jantung kota dan desa pedesaan.

Baca Juga : Iran dan Turkmenistan Bertekad Kembangkan Hubungan Baik

Menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah menutup pintu mereka selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru yang berusia lebih muda.

Ten-ei, sebuah desa berpenduduk kurang dari 5.000, memiliki hanya sekitar 10% di bawah usia 18 tahun. Pada puncaknya tahun 1950, desa ini memiliki lebih dari 10.000 penduduk berkat dukungan pertanian dan manufaktur.

Tetapi ketidaknyamanan dan keterpencilan daerah yang semakin meningkat mendorong penduduk untuk pergi dari wilayah tersebut.

Depopulasi bertambah cepat setelah bencana 11 Maret 2011 di pembangkit nuklir Fukushima Dai-ichi yang berjarak kurang dari 100 km (62 mil), di mana Ten-ei menderita beberapa kontaminasi radioaktif yang telah dibersihkan.

Sementara sekolah Yumoto, sebuah bangunan dua lantai yang terletak di pusat distrik, memiliki sekitar 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya di tahun 1960-an. Foto-foto setiap kelulusan tergantung di dekat pintu masuk, dari hitam putih menjadi berwarna.

Namun jumlah siswa yang terlihat dan tiba-tiba menurun dari sekitar tahun 2000, dan bahkan tidak ada foto kelulusan dari tahun lalu. Otoritas Ten-ei sendiri akan membahas penggunaan kembali gedung sekolah, mungkin disulap menjadi menjadi kilang anggur atau museum seni.

Masalah Banyak Negara Asia?

Sebenarnya anjloknya angka kelahiran adalah salah satu masalah besar yang sedang melanda negara-negara regional Asia. Tak hanya Jepang, fenomena resesi seks ini juga terjadi di Korea Selatan dan China.

Data resmi menunjukkan pekan lalu bahwa populasi China menyusut pada 2022, untuk pertama kalinya dalam lebih dari enam dekade.

Baca Juga : Resmi, Iran Terpilih Jadi Wakil Ketua Majelis Umum PBB

Upaya Jepang sebelumnya untuk mendorong orang agar memiliki lebih banyak bayi memiliki dampak yang terbatas meskipun ada subsidi untuk kehamilan, persalinan, dan pengasuhan anak.

Beberapa ahli mengatakan subsidi pemerintah masih cenderung menyasar orang tua yang sudah memiliki anak daripada menghilangkan kesulitan yang membuat kaum muda enggan memulai keluarga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *