Kuala Lumpur, Purna Warta – Seorang cendekiawan Islam dan pemimpin masyarakat sipil Malaysia mengatakan haji tahun ini, yang dibingkai dalam solidaritas dengan Palestina, harus menginspirasi umat Islam untuk menentang pendudukan dan mendorong rekonsiliasi antar-agama yang mengarah pada Umat yang bersatu.
Dalam wawancara eksklusif dengan Kantor Berita Tasnim, Dr. Mohd Azmi Abdul Hamid, presiden Dewan Konsultasi Organisasi Islam Malaysia (Mapim), menekankan potensi haji yang belum dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk persatuan Islam dan perlawanan terhadap penindasan. Saat haji tahun ini berlangsung dengan tema: “Haji: Perjalanan Al-Quran, Solidaritas, dan Dukungan untuk Palestina yang Tertindas,” Cendekiawan Malaysia itu berbagi wawasan strategis tentang bagaimana haji dapat berfungsi sebagai platform untuk reformasi, dialog, dan aksi kolektif di seluruh dunia Muslim.
Berikut ini adalah teks lengkap wawancara dengan Cendekiawan Malaysia tersebut:
Tasnim: Menurut Anda, apa saja kapasitas utama jemaah haji besar dalam mempromosikan persatuan Islam, memajukan kemajuan negara-negara Muslim, memperkuat persahabatan, dan mengurangi konflik?
Abdul Hamid: Haji adalah pertemuan ilahi Umat global. Haji mempertemukan umat Islam dari setiap ras, bahasa, dan budaya dalam satu tindakan pengabdian. Haji memiliki potensi besar untuk menumbuhkan persatuan Islam dengan melarutkan perpecahan kebangsaan, etnis, dan sekte. Di tempat suci itu, kita diingatkan tentang kiblat bersama, iman bersama, dan takdir bersama.
Haji menawarkan platform langka untuk dialog di antara para pemimpin, ulama, dan jamaah haji biasa. Ini adalah ruang di mana solusi kolektif untuk ketidakadilan ekonomi, fragmentasi politik, dan kemerosotan moral dapat dibayangkan secara kolektif. Ini memperkuat persahabatan dengan membangun solidaritas antar-masyarakat dan mengurangi konflik dengan menghidupkan kembali etos persaudaraan, belas kasih, dan keadilan yang mendefinisikan Islam.
Tasnim: Apakah Anda percaya dunia Islam telah sepenuhnya memanfaatkan potensi haji yang sangat besar dalam beberapa tahun terakhir? Jika tidak, apa yang hilang?
Abdul Hamid: Tidak, dunia Islam belum sepenuhnya memanfaatkan potensi spiritual dan strategis haji. Sudah terlalu lama, haji telah dibatasi pada ritual pribadinya, sementara perannya sebagai kongres spiritual kolektif Umat masih belum berkembang. Yang hilang adalah koordinasi yang disengaja—platform terstruktur untuk dialog antarpemerintah, masyarakat sipil, dan ilmiah selama haji.
Tidak adanya rencana aksi bersama, konsensus politik, dan pertukaran intelektual telah menghilangkan peran historis haji sebagai wahana reformasi dan persatuan. Ada juga kurangnya integrasi antara pengalaman spiritual dan tanggung jawab sosial umat Islam pasca-haji.
Tasnim: Strategi praktis apa yang akan Anda sarankan untuk memanfaatkan haji dengan lebih baik guna meningkatkan hubungan antarbangsa dan masyarakat Islam?
Abdul Hamid: Pertama, kita perlu melembagakan KTT Dialog Haji—pertemuan paralel para cendekiawan, pemuda, tokoh masyarakat sipil, dan pemimpin untuk membahas tantangan yang dihadapi Umat.
Kedua, kita harus mengembangkan Diplomasi Haji dengan memfasilitasi pertukaran antarbudaya yang terstruktur dan lingkaran solidaritas di antara para jamaah dari berbagai daerah dan mazhab pemikiran.
Ketiga, haji harus digunakan sebagai platform untuk mengeluarkan deklarasi dan resolusi bersama dengan menggunakan momentum haji untuk merilis deklarasi moral tentang persatuan, keadilan, dan perdamaian untuk memandu tindakan Muslim global.
Terakhir, kita harus membuat Program Warisan Haji untuk membekali para jamaah agar dapat bertindak sebagai duta perdamaian dan persatuan di komunitas mereka setelah kembali, menjadikan haji sebagai landasan peluncuran bagi gerakan reformasi.
Tasnim: Bagaimana menurut Anda haji tahun ini dapat berkontribusi untuk mendukung orang-orang Palestina yang tertindas? Menurut Anda, apa saja harapan masyarakat Gaza terhadap jamaah haji tahun ini?
Abdul Hamid: Ibadah haji tahun ini harus mengusung semangat perlawanan dan solidaritas dengan Palestina. Jamaah haji harus meningkatkan kesadaran global melalui gerakan simbolis, doa bersama, mengenakan simbol dukungan yang terpadu, dan mengadvokasi pembebasan Al-Aqsa, yang sangat terkait dengan geografi spiritual haji.
Masyarakat Gaza berharap jamaah haji mengingat mereka —bukan sebagai bentuk belas kasihan, tetapi melalui tindakan yang berani. Mereka berharap agar suara-suara disuarakan, agar para pemimpin tergerak, dan agar haji tidak tinggal diam saat darah mereka tertumpah. Haji dapat menjadi protes sakral terhadap pendudukan dan ketidakadilan.
Tasnim: Prakarsa khusus apa yang telah direncanakan oleh negara-negara Islam termasuk negara Anda tahun ini untuk memanfaatkan kapasitas haji? Apa saran utama Anda kepada jamaah haji?
Abdul Hamid: Sementara banyak negara Islam telah berfokus pada peningkatan logistik dan protokol kesehatan, masih ada kebutuhan untuk mobilisasi spiritual dan strategis. Di Malaysia, ada seruan yang berkembang bagi misi haji untuk memasukkan modul pendidikan tentang isu-isu Muslim global—terutama tentang Palestina.
Saran utama saya kepada para peziarah adalah ini: jadikan haji Anda bukan hanya perjalanan pemurnian pribadi, tetapi pembaruan komitmen Anda kepada Umat. Jadikan ihram Anda sebagai pernyataan solidaritas. Biarkan air mata Anda di Arafah mencakup penderitaan Muslim Gaza, Kashmir, dan Uighur. Anda kembali tidak hanya dalam keadaan murni, tetapi sebagai pengemban tanggung jawab suci.
Tasnim: Potensi apa yang dimiliki haji untuk meningkatkan persatuan antara Muslim Syiah dan Sunni? Menurut pendapat Anda, bagaimana kita dapat memperoleh manfaat terbaik dari kesempatan ini?
Abdul Hamid: Haji melenyapkan semua perpecahan manusia di hadapan keesaan Allah. Di padang Arafah dan Tawaf di sekitar Kakbah, tidak ada label Sunni atau Syiah yang penting—hanya bahwa seseorang adalah Muslim. Ini adalah kesempatan yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa saling menghormati, menghilangkan prasangka, dan menekankan kepercayaan bersama. Untuk mendapatkan manfaatnya, kita harus mendorong keterlibatan yang terbuka dan penuh rasa hormat antara para ulama dan jamaah haji dari berbagai mazhab, mempromosikan ritual dan pengalaman spiritual yang sama, dan menolak semua provokasi sektarian. Haji harus menjadi zona persatuan yang sakral, bukan permusuhan yang dipolitisasi.
Haji menawarkan salah satu platform yang paling ampuh untuk mendamaikan perbedaan dan memperkuat persatuan antara Muslim Syiah dan Sunni. Ketika jutaan orang beriman—apa pun sektenya—berdiri bahu-membahu dalam ihram, melakukan ritual yang sama, dan menyerukan kepada Tuhan yang sama, itu adalah pengingat yang mendalam bahwa iman kita yang sama jauh lebih besar daripada perbedaan kita.
Potensinya terletak pada tiga aspek utama ini:
Kesamaan Spiritual – Haji membawa fokus pada prinsip-prinsip inti Islam: Tauhid, Kenabian, dan Hari Pengadilan, yang dijunjung tinggi oleh semua Muslim. Di ruang sakral itu, penekanannya kembali pada penyerahan diri kepada Allah—bukan identitas sektarian. Interaksi dan Persaudaraan Antarmanusia – Jemaah haji dari semua latar belakang berinteraksi secara dekat. Jika diarahkan dengan tepat, kedekatan ini dapat menghilangkan stereotip dan membangun rasa saling menghormati. Kehangatan antarmanusia sering kali menang saat polemik gagal.
Simbol Persatuan Umat – Di saat Umat sangat terpecah belah, haji secara visual dan spiritual menunjukkan persatuan yang mungkin terjadi—dan diperintahkan oleh Allah.
Untuk memanfaatkan kesempatan ini, kita harus:
Mendorong dialog lintas sekte dan sesi pendidikan bersama selama haji.
Mencegah retorika yang menghasut dan mempromosikan etika ikhtilaf (perbedaan pendapat yang saling menghormati).
Menetapkan Piagam Ziarah Pan-Islam yang mempromosikan inklusi, toleransi, dan solidaritas di antara semua madzhab.
Pada akhirnya, haji dapat berfungsi sebagai tempat penyembuhan—bukan untuk menghapus keberagaman, tetapi untuk merayakannya di bawah panji Tauhid dan kasih sayang bersama. Jika kita mendekatinya dengan kerendahan hati dan ketulusan, haji dapat menjadi jembatan yang mengarah pada Umat yang bersatu.