Beijing, Purna Warta – Angka pernikahan di China dilaporkan mengalami penurunan tajam pada tahun lalu, mencapai level terendahnya dalam sejarah dan menjadi sinyal kekhawatiran atas potensi krisis demografis akibat anjloknya angka kelahiran.
Menurut data yang dirilis Kementerian Urusan Sipil China pada Jumat (9/6), sekitar 6,83 juta pasangan menikah pada 2022. Angka ini menunjukkan penurunan sekitar 10,5% dibandingkan dengan angka 7,63 juta pencatatan pernikahan pada 2021. Angka ini menembus rekor terendah sejak 1986.
Baca Juga : Apa yang Dicari Presiden Raisi melalui Lawatannya ke Venezuela?
Penurunan angka pernikahan sejalan dengan tren selama hampir satu dekade. Jumlah orang yang memilih untuk menikah berjumlah 13 juta dan terus menurun sejak 2013.
Menurunnya angka pernikahan, ditambah dengan penurunan angka kelahiran yang nyata, telah menjadi perhatian yang signifikan bagi pihak berwenang di Beijing.
Para ahli telah memperingatkan tentang potensi negatif yang akan muncul, seperti dampak ekonomi yang melemah, tenaga kerja yang menyusut dan populasi yang menua.
Populasi China mengalami kontraksi pertama dalam lebih dari 60 tahun pada tahun 2022, dengan tingkat kelahiran hanya 6,77 kelahiran per 1.000 orang. Angka ini berada di level terendah sejak berdirinya Komunis China pada tahun 1949.
PBB mencatatat bahwa China saat ini telah menjadi negara terpadat kedua di dunia, setelah India.
Baca Juga : Pemikir India: Perpecahan di Antara Umat Islam Harus Dihindari
Faktor Pendorong
Pejabat China telah mengakui korelasi langsung antara penurunan angka pernikahan dan penurunan angka kelahiran.
Otoritas China menghubungkan penurunan pernikahan dengan berbagai faktor, termasuk tekanan keuangan yang dihadapi oleh orang dewasa muda, tingkat pengangguran yang tinggi, dan meningkatnya biaya hidup.
Norma sosial dan peraturan pemerintah di China menimbulkan tantangan bagi pasangan yang belum menikah dalam memiliki anak.
Dalam upaya untuk membalikkan tren ini, pihak berwenang telah menerapkan langkah-langkah seperti melonggarkan kebijakan lama yang membatasi jumlah anak yang dapat dimiliki pasangan suami istri dan mencari cara untuk memberi insentif baik pernikahan maupun persalinan. Namun, efektivitas langkah-langkah ini masih terbatas.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penurunan pernikahan termasuk bertambahnya usia pernikahan, berkurangnya jumlah anak muda di China, dan ketidakseimbangan gender.
Wanita yang lebih muda, khususnya, mengungkapkan keluhan terkait pernikahan karena kekhawatiran mereka terkait masalah ketidaksetaraan gender.
Usia rata-rata untuk pernikahan pertama telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir, dengan orang dewasa muda memprioritaskan pengembangan pribadi dan profesional daripada menetap.
Upaya pejabat China untuk membalikkan tren ini belum membuahkan hasil yang signifikan dan masih menghadapi masalah ekonomi dan sosial yang rumit.
Baca Juga : Sindir AS, Rusia Sebut Saudi Negara Independen Bukan Jongos Siapapun
Bukan Hanya China
China bukan satu-satunya negara yang bergulat dengan penurunan angka kelahiran dan penyusutan populasi. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan juga telah menerapkan berbagai langkah untuk mendorong kelahiran, seperti insentif keuangan, subsidi perumahan, dan peningkatan dukungan pengasuhan anak.
Tantangan demografis yang dihadapi oleh negara-negara ini menyoroti perlunya solusi inovatif dan berkelanjutan untuk mengatasi potensi konsekuensi jangka panjang dari penurunan angka kelahiran.
Di pertengahan tahun ini yang dipenuhi dengan tantangan karena pembatasan dan lockdown ketat COVID-19, penurunan jumlah pernikahan terus berlanjut.
Penurunan ini memiliki implikasi yang signifikan bagi masa depan China, karena berkontribusi pada berkurangnya tenaga kerja dan populasi yang menua.
Menurunnya tingkat kelahiran dan menyusutnya populasi di China menimbulkan tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan.
Pemerintah telah melaksanakan berbagai prakarsa, termasuk acara kencan buta massal dan program yang mempromosikan sebuah konsep baru dalam pernikahan dan melahirkan. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang berarti.
Saat ini, China sedang bergulat dengan tantangan demografis, berusaha mencari solusi yang efektif untuk memastikan struktur populasi yang berkelanjutan dan seimbang untuk masa depan mereka.
Baca Juga : Sanggahan Terhadap Media Israel yang Memanipulasi Pernyataan Ayatullah Khamenei