Tehran, Purna Warta – Iran menyebutkan dalam sebuah kesempatan bahwa pihak AS harus memberikan jaminan bahwa Iran akan mendapatkan manfaat ekonomi dari JCPOA.
Berbicara pada Konferensi Peninjauan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) ke-10 di New York pada hari Rabu (3/8), Perwakilan tetap Iran di PBB, Majid Takht-Ravanchi mengatakan Tehran telah bertindak secara bertanggung jawab, dan kesabaran strategis, serta perlawanan maksimum selama negosiasi untuk menghidupkan kembali pakta tersebut, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Ravanchi mengatakan bahwa Iran telah bernegosiasi dengan itikad baik bersama lima pihak yang tersisa di JCPOA: Inggris, Prancis, Jerman, Rusia dan Cina untuk memastikan implementasi penuh dari kesepakatan itu.
Baca Juga : Jajak Pendapat Baru Mengungkapkan Sentimen Pro-Palestina Yang Kuat Di AS
Takht-Ravanchi menambahkan bahwa tanggung jawab sekarang ada di Amerika Serikat untuk memberikan jaminan bahwa Iran akan menikmati manfaat ekonomi yang dijanjikan dalam perjanjian.
Iran akan membatalkan langkah-langkah Kemajuan nuklirnya dan sepenuhnya mengikuti komitmen terkait nuklirnya sesuai dengan perjanjian 2015 setelah Amerika Serikat membuat keputusan yang tepat, katanya.
Negosiasi telah diadakan di ibu kota Austria, Wina, sejak April tahun lalu untuk memulihkan JCPOA, yang dibatalkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump pada Mei 2018.
Saat keluar dari perjanjian, Trump melepaskan apa yang disebutnya kampanye “tekanan maksimum” untuk membuat Iran bertekuk lutut. Tehran menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah gagal total. Pemerintahan Biden setuju, namun belum mengambil langkah nyata untuk memenuhi janjinya untuk mencabut kebijakan tersebut.
Dalam beberapa bulan terakhir, Iran telah melihat keragu-raguan Washington sebagai alasan di balik penundaan pembicaraan, karena sejumlah masalah utama tetap belum terselesaikan, mulai dari penghapusan semua sanksi pasca-JCPOA hingga pemberian jaminan oleh pihak Amerika Serikat bahwa hal itu akan dilakukan.
Pada 2019, Iran memulai langkah-langkah pembalasannya dengan mengurangi komitmennya pada kesepakatan nuklir 2015 setelah pihak-pihak Eropa dalam kesepakatan itu: Prancis, Jerman dan Inggris gagal memenuhi komitmen mereka ke Tehran dengan menghadapi sanksi sepihak AS.
Tehran mulai secara bertahap menghapus batasan yang ditetapkan dalam JCPOA pada kegiatan nuklirnya, yakni pada interval dua bulanan. Pada saat itu, Tehran bersikeras jika ekonomi Iran dilindungi dari sanksi, maka hal itu akan membalikkan keputusan nuklirnya.
Baca Juga : Sadr Mendesak Para Pendukungnya Untuk Terus Duduk Di Parlemen Irak
NPT dan penyebaran senjata nuklir
Di tempat lain dalam sambutannya, Takht-Ravanchi mengatakan lebih dari setengah abad setelah NPT mulai berlaku pada tahun 1970, masih ada ribuan senjata nuklir yang dikerahkan dan ditimbun dan ratusan miliar dolar dihabiskan untuk mengganti dan meningkatkan persenjataan nuklir.
“Misalnya, Amerika Serikat baru-baru ini meningkatkan peran dan jumlah senjata nuklirnya dan modernisasi ini menelan biaya sekitar $1,2 triliun. Inggris telah mengumumkan niatnya untuk mengembangkan dan membangun 80 hulu ledak nuklir baru. Prancis menghabiskan miliaran euro untuk secara bertahap menambah dan meningkatkan senjata nuklirnya dan platform peluncurannya,” kata diplomat Iran itu.
Dia menggaris bawahi bahwa Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) harus menjalankan tugas profesionalnya bebas dari campur tangan pihak ketiga, terutama dinas intelijen yang memberikan tuduhan yang tidak berdasar.
Persenjataan nuklir Israel
Takht-Ravanchi menekankan bahwa ketentuan non-proliferasi harus diterapkan secara global dan tanpa kecuali.
“Sayangnya, sebagai akibat dari penerapan standar ganda dalam menegakkan ketentuan non-proliferasi, senjata nuklir rezim Zionis, yang dikembangkan dengan dukungan dan bantuan AS, terus menimbulkan ancaman serius bagi keamanan negara-negara anggota Timur Tengah,” katanya.
Utusan Iran untuk PBB menyatakan bahwa Israel, sejak didirikan pada tahun 1948, telah melakukan semua kejahatan inti internasional, yaitu agresi terhadap semua tetangganya, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pendudukan wilayah beberapa negara tetangga.
Ravanchi meminta negara-negara anggota NPT untuk mengadopsi langkah-langkah pencegahan yang tepat terhadap rezim Tel Aviv yang melanggar hukum.
“Jika rezim ini melakukan agresi bodoh seperti itu maka akan membayar harga yang mahal. Lebih jauh lagi, kepentingan tertinggi negara kita, sebagai negara yang andil dalam Perjanjian, akan terancam,” tegas Takht-Ravanchi.
“Konferensi Peninjauan harus segera dapat mengatasi ancaman rezim Israel ini. Republik Islam Iran sangat mendukung pembentukan zona bebas senjata nuklir di Timur Tengah dan menyatakan keprihatinan yang mendalam atas penundaan yang lama dalam implementasi Resolusi 1995 dan Rencana Aksi 2010 di Timur Tengah,” katanya.
Baca Juga : Pelanggaran Gencatan Senjata Pada Hari Pertama dengan Sita Kapal
Duta Besar Suriah PBB: Penolakan Israel untuk bergabung dengan NPT mengancam perdamaian internasional
Sementara itu, Perwakilan Tetap Suriah untuk PBB Bassam Sabbagh mengatakan fasilitas nuklir Israel menimbulkan ancaman besar bagi keamanan regional dan internasional dan harus diperiksa secara komprehensif.
Sabbagh mengatakan Israel menolak untuk bergabung dengan NPT karena dukungan tak terkendali dari Amerika Serikat dan sekutu Baratnya.
Dia menegaskan kembali bahwa Suriah berkomitmen pada perjanjian itu dan menyerukan perlucutan senjata nuklir yang lengkap dan komprehensif.
“Kembali pada tahun 2003, Suriah mempresentasikan rancangan resolusi tentang pembentukan zona Timur Tengah yang bebas dari senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Namun, Amerika Serikat menghalangi inisiatif itu.
“Suriah juga bergabung dengan Konvensi Senjata Kimia pada 2013 dalam langkah yang ditujukan untuk tujuan itu,” kata Sabbagh.
Dia mencatat bahwa Suriah berharap Konferensi Peninjauan NPT ke-10 akan membuat kemajuan nyata menuju pencapaian tujuan perjanjian.