Washington, Purna Warta- Sebuah surat kabar AS mengutip keterangan mantan diplomat dan pakar internasional yang mengatakan bahwa kebijakan tekanan maksimum AS terhadap Iran telah gagal total dan kenyataannya Iran tidak takut pada Amerika Serikat.
Dennis Ross adalah orang yang bertanggung jawab menangani masalah Iran dalam aparat diplomatik AS selama kepresidenan Barack Obama, dengan mengacu pada kebijakan pemerintahan Presiden AS Joe Biden di Asia Barat (Timur Tengah) dan penarikan militer negara AS dari Afghanistan menegaskan bahwa “Iran sudah jelas tidak lagi takut pada kami, yang dengan sendirinya berarti bahwa kami tidak memiliki kekuatan menyerang lagi, baik pada masalah nuklir maupun masalah lain di kawasan.”
Dennis melihat kebijakan Amerika Serikat yang keliru dalam memajukan kampanye tekanan maksimum terhadap Republik Islam Iran, begitu juga kebijakan yang tumpul terhadap masalah program nuklir Iran.
“Iran kenyataannya telah bertahan dengan kebijakan tekanan maksimum Amerika Serikat dan kebijakan Trump, dan kami berharap bahwa kami akan menerima hasil ini,” katanya.
Kebijakan tekanan maksimum AS terhadap Iran benar-benar gagal
Pada tahun 2018, Trump, dengan dukungan antusias dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, secara sepihak menarik diri dari kesepakatan JCPOA dan menerapkan kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran, termasuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Republik Islam Iran dengan harapan bahwa sanksi tersebut dapat membawa Iran kembali ke meja perundingan untuk menerima perjanjian yang dipaksakan AS terhadap Iran. Ternyata kebijakan semua ini gagal total, dan anggapan Netanyahu bahwa Iran akan jatuh di bawah tekanan dan sanksi dan Trump dipaksa untuk meluncurkan serangan militer ke Iran telah salah dan gagal total.
Amerika Serikat ingin terus campur tangan di wilayah Asia Barat
Surat kabar tersebut juga mencatat bahwa Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada hari Senin ((27/9) untuk membahas perkembangan perang Riyadh di Yaman, sebagai bagian dari upaya AS untuk melanjutkan intervensinya di kawasan Asia Barat.
Kebijakan Luar Negeri lebih lanjut mengacu pada kemampuan nuklir Iran dengan menuliskan bahwa apakah Iran telah mencapai titik pembangunan senjata nuklir yang nyata atau tidak? Ada kekhawatiran yang lebih penting yaitu seperti halnya Jepang, mereka telah mampu memperkaya pengetahuan dan teknologi uranium untuk membangun sebuah negara yang memiliki senjata nuklir dengan cepat, dan hal ini secara dramatis telah mengubah keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut.
Laporan tersebut terus menerus berbicara tentang senjata nuklir, sementara Iran telah berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak berniat membangun senjata nuklir.
Iran saat ini bukan prioritas AS
Makalah itu kemudian mencatat munculnya ketidakpercayaan yang tumbuh dari pihak Zionis, Saudi dan sekutu AS lainnya seperti UEA kepada Washington, DC, dan mengutip kolumnis Amos Harrell, penulis tetap di koran Haaretz yang menyatakan “Dan telah menjadi jelas lagi bagi Israel bahwa prioritas AS saat ini adalah melawan China dan Kuwait dan perubahan iklim politik, sedangkan Iran untuk saat ini bukan dari salah satu dari tiga prioritas utama.”
Sabotase Zionis di Iran karena ketidakmampuan untuk menghadapi Teheran
Dalam sebuah wawancara, Harrell merujuk pada sabotase rezim Zionis terhadap fasilitas nuklir Iran, mengatakan bahwa karena mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak mempersiapkan tentara untuk aksi militer melawan Iran, para pakar keamanan Israel bergegas untuk membahas opsi-opsi baru termasuk tindakan subversif seperti pembunuhan ilmuwan nuklir Iran.
Ketidakmampuan Amerika untuk mengisolasi Iran
Foregnpolicy kemudian membahas mengenai ketidak efektifan AS dalam mengisolasi Iran di dunia internasional, dan bahwa negara-negara besar yang pernah bergabung dengan koalisi pimpinan AS sekarang telah bekerja sama dengan Iran, seperti China, yang telah menyatakan kesiapan untuk berdagang kembali dengan Teheran dan melakukan kontrak pembelian Minyak dari Iran.
Di sisi lain, Republik Islam Iran telah kembali mengirim bahan bakar ke Hizbullah di Lebanon melalui Suriah, dan dalam beberapa hari terakhir, Beijing telah menerima permintaan Teheran untuk bergabung dengan Organisasi Kerja sama Shanghai.
Pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan dengan negara P5+1 untuk menyelesaikan ketegangan atas program nuklirnya. Namun terlepas dari pengakuan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) atas kepatuhan Iran terhadap semua kewajibannya, pemerintah AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian JCPOA tersebut pada pada Mei 2016.
Pemerintah Joe Biden mengklaim bahwa mereka bermaksud membuka jalan bagi negaranya untuk kembali pada kesepakatan nuklir JCPOA melalui pembicaraan yang sedang berlangsung di ibu kota Austria, Wina. Sejauh ini, selama enam putaran pembicaraan di Wina antara Amerika Serikat dan pihak lain selain Iran untuk memfasilitasi kembalinya AS pada kesepakatan JCPOA telah gagal. Beberapa pihak mengatakan adanya kemajuan yang nyata dari pembicaraan tersebut, tetapi beberapa perbedaan tetap ada.
Salah satu area perdebatan dalam negosiasi adalah desakan Amerika Serikat untuk mempertahankan beberapa sanksi yang dijatuhkan pada Iran oleh pemerintahan Donald Trump setelah penarikannya dari JCPOA. Selain itu, pemerintahan Biden telah menyatakan bahwa ia tidak dapat memberikan jaminan bahwa pemerintahan AS berikutnya tidak akan menarik diri dari kesepakatan JCPOA.