Tripoli, Purna Warta – Parlemen Libya yang bermarkas di wilayah timur telah memerintahkan kepergian duta besar negara-negara yang mendukung rezim Israel, yang telah membawa wilayah Palestina di Jalur Gaza ke dalam perang yang sangat mematikan.
Baca Juga : Rusia dan Tiongkok Memveto Resolusi Rancangan AS untuk Benarkan Agresi Israel
“Kami meminta duta besar negara-negara yang mendukung entitas Zionis Israel dalam kejahatannya segera meninggalkan wilayah [Libya],” kata parlemen dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (25/10).
Badan legislatif Libya itu juga mengancam akan memotong pasokan energi ke negara-negara tersebut. “Jika pembantaian yang dilakukan oleh musuh Zionis tidak berhenti, kami menuntut pemerintah Libya menangguhkan ekspor minyak dan gas ke negara-negara yang mendukungnya,” tambah pernyataan itu.
Israel melancarkan perang dahsyat pada tanggal 7 Oktober setelah kelompok perlawanan Palestina yang berbasis di Jalur Gaza melancarkan Operasi Badai al-Aqsa, sebuah serangan mendadak di wilayah pendudukan, sebagai tanggapan atas kejahatan intensif rezim Israel terhadap rakyat Palestina. Perang tersebut telah menewaskan sedikitnya 6.546 warga Palestina, termasuk 2.704 anak-anak, menurut kementerian kesehatan Palestina.
Dikatakan bahwa negara-negara tersebut mendukung entitas Zionis dalam kejahatannya di Jalur Gaza, sementara para pemimpin mereka berceramah tentang hak asasi manusia dan hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri.
Sejak tahun 2015, Libya telah terpecah antara para anggota parlemen, yang bersekutu dengan komandan militer Khalifa Haftar dan bermarkas di kota pelabuhan timur laut Tobruk, dan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional di Tripoli.
Baca Juga : Suriah: Israel Ingin Perluas Cakupan Serangan di Gaza
Pada bulan Agustus, politisi terkemuka Libya menyerukan penggulingan GNA yang dijalankan oleh Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibeh, setelah terungkap bahwa menteri luar negerinya dan rekan Israelnya telah mengadakan pertemuan rahasia.
Namun Dbeibah dengan keras menolak segala bentuk normalisasi dengan Tel Aviv dalam pernyataan publik pertamanya setelah Tripoli menerima reaksi keras atas pertemuan tersebut.