Makin Meluas, Konflik Bersenjata di Sudan Terus Menelan Korban

Makin Meluas, Konflik Bersenjata di Sudan Terus Menelan Korban

Khartoum, Purna Warta Kementerian Kesehatan Sudan mengumumkan peningkatan jumlah korban konflik berdarah di negara kawasan Afrika ini. Kementerian mengungkap hal tersebut dalam sebuah pernyataan hari Sabtu (29/4) engan mengumumkan bahwa konflik di negaranya telah menewaskan 528 orang, dan melukai 4.599 orang lainnya.

Sebelumnya Rabu lalu, Kementerian Kesehatan Sudan mengumumkan korban tewas antara tentara dan pasukan reaksi cepat sebanyak 512 orang dan melukai 4.193 orang.

Meksipun terjadi perpanjangan gencatan senjata selama 72 jam di Sudan dan pengumuman komitmen kedua pihak yang bertikai, tapi Sabtu malam terdengar suara ledakan menakutkan di Khartoum, ibu kota Sudan.

Bentrokan bersenjata di Sudan dimulai pada Sabtu pagi, 15 April, antara pasukan Angkatan Darat yang dipimpin oleh Abdul Fattah al-Burhan dan pasukan reaksi cepat, yang dikomandoi oleh Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal dengan sebutan Hemmedti.

Serangan militer Sudan dan pasukan reaksi yang cepat telah menyebabkan kerusakan pada properti publik dan menghentikan pasokan air dan listrik di beberapa daerah Khartoum.

Pada saat yang sama, banyak negara dan organisasi internasional telah mengevakuasai staf dan warga negara mereka dari Sudan. Kedua belah pihak yang terlibat dalam perang di Sudan mengklaim telah setuju untuk memperpanjang gencatan senjata selama 72 jam lagi, tetapi bentrokan terus berlanjut di negara itu.

Sebagaimana disebutkan, da dua jenderal di jantung krisis ini: Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Mohammed Hamdan Dagalo, yang lebih dikenal sebagai Hemedti, kepala dari kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Kedua jenderal itu dulunya bekerja sama, melakukan kudeta bersama, namun kini pertempuran mereka demi meraih supremasi justru menghancurkan Sudan. Mereka memiliki riwayat hubungan yang panjang. Keduanya memainkan peran kunci dalam kelompok pemberontak Darfur dalam perang saudara di wilayah barat Sudan yang dimulai pada 2003.

Jenderal Burhan mengendalikan tentara Sudan di Darfur. Hemedti merupakan komandan salah satu dari banyak kelompok milisi Arab, yang dikenal sebagai Janjaweed, yang digunakan pemerintah untuk menumpas secara brutal kelompok pemberontak Darfur yang sebagian besar merupakan non-Arab.

Majak D’Agoot saat itu merupakan Wakil Direktur Badan Intelijen dan Keamanan Nasional, sebelum dia menjadi wakil menteri pertahanan di Sudan Selatan ketika wilayah itu memisahkan diri pada 2011.

Dia bertemu Jenderal Burhan dan Hemedti di Darfur, dan mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan baik. Namun, dia mengatakan kepada BBC bahwa dia melihat sedikit tanda-tanda bahwa keduanya akan naik ke posisi puncak di negara bagian.

Hemedti hanyalah seorang pemimpin milisi yang “memainkan peran kontra-pemberontakan, membantu militer”, sedangkan Jenderal Burhan adalah seorang prajurit karier, meskipun “dengan semua ambisi korps perwira Sudan, segalanya mungkin terjadi”.

Ketegangan antara tentara dan RSF meningkat seiring dengan kian dekatnya tenggat waktu untuk membentuk pemerintahan sipil, yang fokus pada persoalan pelik soal bagaimana RSF harus diintegrasikan kembali ke dalam angkatan bersenjata reguler.

Kemudian pertempuran pun dimulai antara RSF melawan ASF, Hemedti melawan Jenderal Burhan, dengan misi menguasai negara Sudan. Dalam satu hal, setidaknya, Hemedti mengikuti jejak petinggi SAF yang sekarang dilawannya itu. Selama beberapa tahun terakhir, dia telah membangun kerajaan bisnis yang luas, termasuk tambang emas dan banyak sektor lainnya.

Jenderal Burhan dan Hemedti sama-sama menghadapi seruan dari para pemimpin sipil dan korban konflik di Darfur serta di tempat-tempat lain untuk diadili atas dugaan kekerasan.

Pertaruhannya sangat tinggi, dan ada banyak alasan bagi mantan sekutu yang berujung menjadi musuh bebuyutan ini untuk tidak mundur dari pertempuran mereka.

Banyak rumah sakit berlokasi di dekat markas tentara di ibu kota Sudan, Khartoum, yang paling terdampak. Pengeboman telah mengakibatkan kerusakan parah di sejumlah tempat seperti Rumah Sakit Al-Shaab, di mana seorang pengemudi ambulans dan tiga orang lainnya terluka.

Empat rumah sakit lain juga terkena dampaknya. Beberapa bahkan tidak bisa beroperasi sama sekali, sedangkan satu rumah sakit polisi telah dikosongkan seluruhnya dan dilaporkan telah diambil alih oleh RSF.

Berdasarkan informasi yang diterima oleh BBC, pasien-pasien di Sudan terjebak di rumah sakit tanpa listrik dan air. Sementara pasien-pasien lainnya yang membutuhkan perawatan medis telah dievakuasi, ketika pertempuran memasuki hari ketiga.

“Saya kira kami akan mati di jalan,” kata Faheem, setelah dievakuasi dari rumah sakit bersama putrinya yang berusia 14 tahun, Amal.

“Amal harus menjalani operasi tumor di kepalanya, setelah ada komplikasi dari operasi sebelumnya. Tapi kami harus terus pindah kamar karena penembakan. Kami akhirnya sampai di lantai dasar. Tapi kami lalu disuruh pergi dan mencari area yang aman.”

Hampir 100 orang telah tewas sejak kekerasan pecah pada Sabtu. “Saya menggendong Amal saat gedung-gedung di sekitar kami dibombardir. Dia merasa sangat tidak sehat dan kesakitan,” jelas Faheem.

Keduanya akhirnya berhasil menyelamatkan diri dari daerah itu. Faheem mengatakan kepada BBC bahwa dia baik-baik saja dan berharap bisa kembali menemui dokter dalam beberapa minggu ke depan untuk perawatan lanjutan, jika memungkinkan.

Beberapa orang telah dievakuasi, namun yang lainnya terjebak di rumah sakit-rumah sakit di berbagai wilayah selama berhari-hari. Para pekerja dan sukarelawan mengatakan kepada BBC bahwa mereka telah menjalani hari-hari hidup di bawah “tekanan psikologis yang luar biasa karena kekurangan makanan dan minuman”, serta menghadapi ketakutan akan penembakan tanpa pandang bulu yang terjadi di sekitar mereka.

“Kami mendengar suara pengeboman dan tembakan,” kata Ashraf, yang menemani kerabatnya yang terluka ke rumah sakit Sudan kepada BBC.

“Rumah sakit menghadapi situasi kritis, tanpa air dan listrik, yang membahayakan nyawa pasien,” Ashraf memperingatkan.

Seorang dokter yang kami ajak bicara, yang telah terjebak di rumah sakit yang sama selama tiga hari, membenarkan bahwa kondisinya semakin memburuk. “Rumah sakit menghadapi situasi mendesak: gangguan pasokan air dan listrik, sehingga pasien yang tersisa berada dalam posisi genting,” kata dia.

Dia mengatakan bahwa meskipun rumah sakit telah menerima bantuan makanan, dia mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika bangunan tersebut dihantam bom.

“Mereka sedang berusaha mengevakuasi rumah sakit saat ini, berkoordinasi dengan otoritas terkait tetapi tidak ada rencana evakuasi yang tepat, yang menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut karena lokasinya ada di daerah berisiko tinggi, rentan terhadap potensi serangan,” katanya kepada BBC.

Di seluruh media sosial, video-video yang telah diverifikasi oleh BBC menunjukkan orang-orang dievakuasi dari sebuah rumah sakit diiringi suara tembakan yang terdengar di latar belakang. Di tempat lain, seorang petugas kesehatan terlihat berusaha meyakinkan pasien mengenai persediaan oksigen yang hampir habis, sedangkan seorang perempuan terdengar berteriak meminta tolong di belakangnya.

Dalam video lain yang dikirim langsung ke BBC, sejumlah perempuan tampak berlindung di ruang bawah tanah sebuah rumah sakit dalam kegelapan, sambil menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Serikat Dokter Sudan telah mengeluarkan pernyataan mendesak yang menyerukan agar fasilitas kesehatan dilindungi serta mengizinkan perjalanan yang aman untuk ambulans.

Mereka menyebut pengeboman sebagai pelanggaran yang jelas terhadap hukum humaniter internasional dan meminta masyarakat internasional untuk membantu mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *