Kudeta Militer di Guinea Dikecam Dunia Internasional

kudeta militer di guinea

Conakry, Purna Warta – kudeta militer di Guinea yang dipimpin Letnan Kolonel Mamady Doumbouya, tentara lulusan S2 yang pernah bertugas di Foreign Legion Perancis baru-baru ini, Minggu (5/9) dikecam dunia internasional. Saat melakukan kudeta, Mamady Doumbouya bersama pasukan khususnya menangkap Presiden Alpha Conde (83) yang diklaim bertindak otoriter.

Mengenakan baret merah dan kacamata hitam, Mamady Doumbouya dalam jumpa persnya mengumumkan pembubaran konstitusi yang diubah presiden Conde agar membuatnya bisa menjabat tiga periode. Kemudian, pemimpin kudeta Guinea itu berjanji untuk mengawasi transisi yang inklusif dan damai.

“Ada banyak kematian yang sia-sia, banyak yang terluka, banyak air mata,” katanya dikutip dari AFP, merujuk pada tindakan keras berdarah Conde terhadap pengunjuk rasa.

Dalam melakukan kudeta Guinea, Letkol Mamady Doumbouya terinspirasi mendiang pemimpin Ghana, Jerry Rawlings, yang mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 1981 lalu mengawasi peralihan ke demokrasi.

“Jika rakyat dihancurkan oleh pejabat tingginya, tentara berhak memberikan kebebasan kepada rakyat,” kata Doumbouya, mengutip perkataan Rawlings. Mamady Doumbouya adalah tentara berusia awal 40-an yang memiliki gelar master dalam bidang dinamika industri dan pertahanan di Universitas Pantheon-Assas, Paris, Perancis. Dia kemudian mengasah kemampuan militernya di akademi Ecole de Guerre Perancis, dan menjadi anggota Foreign Legion. Selama karier militernya, Mamady Doumbouya pernah terjun ke misi di Afghanistan dan Republik Afrika Tengah.

Unitnya, Grup Pasukan Khusus, baru saja dibentuk pada 2018. Mamady Doumbouya berasal dari Kankan di Guinea timur. Dia menikah dengan perempuan Perancis dan memiliki tiga anak, menurut media Guinea. Alasan Mamady Doumbouya lakukan kudeta di Guinea “Kami di sini bukan untuk bersenang-senang dengan kekuasaan, kami di sini bukan untuk bermain, kami akan belajar dari semua kesalahan yang telah dibuat,” katanya di saluran TV Perancis France 24, merujuk pada kudeta masa lalu di Guinea.

Guinea – salah satu negara termiskin di dunia meskipun memiliki sumber daya mineral yang signifikan – telah lama dilanda ketidakstabilan politik. Presiden Alpha Conde memenangi masa jabatan ketiga di Guinea dalam pemilu yang disengketakan dengan kekerasan pada Oktober 2020. Dia mencalonkan diri setelah mengubah konstitusi pada Maret 2020, yang memungkinkan dirinya melebihi dua masa jabatan, sehingga memicu protes massa. Puluhan orang tewas selama demonstrasi, sering kali dalam bentrokan dengan pasukan keamanan. Ratusan orang juga ditangkap. Conde (83) kemudian ditetapkan sebagai presiden pada 7 November tahun lalu – meskipun ada keluhan kecurangan pemilu dari penantang utamanya, Cellou Dalein Diallo, dan tokoh oposisi lainnya.

Sebagai mantan aktivis oposisi, Conde menjadi presiden pertama Guinea yang terpilih secara demokratis pada 2010, lalu menang lagi tahun 2015 dan yang terbaru tahun lalu. Namun, para kritikus menuduhnya membelok ke arah otoritarianisme.

Militer merilis sebuah pengumuman resmi pada Senin (6/9), yang mendesak Kementerian Kehakiman Guinea untuk mempercepat pembebasan “tahanan politik”. Letkol Doumbouya pada Selasa (2/9) sebelumnya juga mengulangi janji untuk mengadakan pembicaraan tentang pembentukan pemerintahan baru. “Pemerintah yang akan dilantik akan menjadi pemersatu nasional dan akan memastikan transisi politik ini,” cuitnya di Twitter.

Kudeta Minggu (5/9/2021) memicu kecaman diplomatik yang luas, termasuk dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Uni Afrika dan blok Afrika Barat ECOWAS, dengan seruan untuk pembebasan Conde.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *