Purna Warta – Di seluruh Palestina yang diduduki, pohon zaitun—simbol kuno kehidupan, warisan, dan ketahanan—menghadapi kampanye penghancuran sistematis di bawah rezim Israel, ketika para pemukim dan tentara mencabut mata pencaharian keluarga yang telah merawat pohon-pohon ini selama beberapa generasi.
Musim panen zaitun telah dimulai di seluruh Tepi Barat yang diduduki, tempat keluarga-keluarga Palestina berpegang teguh pada tanah leluhur mereka meskipun telah puluhan tahun mengalami agresi dan perampasan oleh rezim Israel.
Di hampir setiap rumah Palestina, seorang teta—nenek dan penjaga tradisi—mewariskan resep dan kenangan panen sebelum pendudukan memagari kebun-kebunnya, sebelum tentara mengubah tindakan memetik zaitun menjadi gestur perlawanan terhadap keberadaan.
Zaitun, baik hijau maupun hitam, telah menjadi sumber penghidupan keluarga Palestina selama berabad-abad—diperas menjadi minyak, diolah untuk hidangan, atau dibentuk menjadi kerajinan tangan dan sabun. Zaitun bukan sekadar tanaman, melainkan lambang identitas dan keteguhan.
Pohon zaitun, yang dibudidayakan di seluruh Palestina selama ribuan tahun, berdiri sebagai sumber penghidupan sekaligus saksi hidup ketahanan masyarakat. Lebih dari 100.000 keluarga Palestina bergantung pada panen ini, yang berlangsung hingga November dan pernah menyatukan seluruh komunitas sebelum perang dan pendudukan militer memecah belah mereka.
Sebelum perang terakhir rezim Israel di Gaza pada tahun 2023, hampir separuh dari seluruh lahan pertanian di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki ditutupi dengan sekitar 10 juta pohon zaitun. Kini, hamparan lahan yang luas hancur, hangus akibat kekerasan pemukim dan buldoser.
Kehidupan dan Warisan Pohon-Pohon Palestina
Banyak pohon zaitun di Palestina berusia lebih dari seribu tahun—lebih tua dari pendudukan itu sendiri. Pohon-pohon ini, yang tangguh dan tahan kekeringan, pernah melambangkan perdamaian dan keteguhan. Kini, mereka berdiri dengan luka dan dipagari, cabang-cabangnya dipangkas oleh tentara, alih-alih petani.
Varietas Palestina seperti Nabali dan Souri menghasilkan minyak yang sangat berharga di seluruh Levant. Namun, panen itu sendiri telah menjadi tindakan perlawanan, yang dilakukan di bawah ancaman serangan pemukim, patroli tentara, dan penyitaan.
Panen Zaitun di Bawah Pendudukan
Apa yang dulunya merupakan musim kegembiraan kini ditandai oleh ketakutan dan konfrontasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendokumentasikan lebih dari seratus serangan oleh pemukim Israel pada musim ini saja—petani dipukuli, pohon dibakar, kebun diracuni.
Menurut Institut Penelitian Terapan Yerusalem (ARIJ), sejak 1967 rezim Israel telah mencabut sekitar 800.000 pohon zaitun di Tepi Barat yang diduduki—masing-masing mewakili harapan, kenangan, dan cara bertahan hidup sebuah keluarga.
Banyak petani bahkan tidak dapat mencapai tanah mereka tanpa izin yang dikeluarkan Israel, yang secara sewenang-wenang ditolak atau dibatasi hanya beberapa hari setiap tahun. Wilayah-wilayah luas di dekat permukiman ilegal ditutup sepenuhnya, mengubah tanah Palestina yang subur menjadi zona eksklusi militer.
Bagi warga Palestina, panen zaitun bukan lagi sekadar tradisi pertanian. Ini adalah pernyataan perlawanan—sebuah deklarasi bahwa terlepas dari pendudukan, kekerasan, dan upaya sistematis rezim untuk menghapus akar mereka, rakyat Palestina tetap terikat pada tanah mereka, pepohonan mereka, dan hak mereka untuk hidup bebas.


