Purna Warta – Yang bisa dibongkar dari sastra politik AS (khususnya politik asing) adalah siasat lintas partai dan uni politik internasional Gedung Putih. Berdasarkan hal ini maka Pemilu beserta lika-likunya dan transisi pemerintahan dari Republik ke Demokrat tidak bisa dijadikan patokan perubahan politik internasional atau diangap satu paradigma doktrin baru pemerintah Washington. Petinggi Gedung Putih adalah para pemain yang bergerak dalam satu struktur paradigma dan doktrin yang sudah digariskan.
Dengan fakta di atas maka yang disaksikan hanyalah kontroversi semu Joe Biden-Donald Trump. Joe Biden menentang Donald Trump, bahkan janji untuk kembali ke JCPOA didengungkan, semuanya bayangan. Di lapangan, tidak ada beda, tidak ada perubahan unik dalam aksi menghadapi urusan internasional. Adalah hal biasa jika Joe Biden langsung menghajar markas gerakan perlawanan rakyat Timteng, yang biasa disebut Mukawamah, di al-Bukamal dan jembatan perbatasan Irak-Suriah. Ini adalah pesan bahwa garis politik kuasa-hegemoni masih bersambung dengan pemerintahan sebelumnya. Pemerintah Joe Biden menangkap tongkat estafet politik Donald Trump. Pemerintah Joe Biden adalah pemerintah warisan Donald Trump yang keras menantang resistensi.
Malah ada tambahan tujuan dalam serangan Gedung Putih pimpinan Joe Biden di perbatasan Irak-Suriah dan itu tak lain adalah memutus tol penghubung poros Iran-Irak-Suriah demi menjaga Israel dari langkah-langkah sigap Mukawamah. AS-nya Joe Biden berusaha menyampaikan pesan kepada Tel Aviv bahwa mereka masih sama dengan pendahulunya sebagai juru penyelamat petinggi rezim Zionis.
Terkait Arab Saudi. Washington masih mendekap erat Istana Riyadh, meskipun beterbangan dokumen-dokumen rahasia kasus pembunuhan Jamal Khashoggi. Perang Yaman adalah bukti lain dari dekapan hangat ini. Meskipun ada peringatan pembatasan dukungan senjata, namun di medan, Pentagon enggan untuk menarik janji penjualan.
Begitu pula dengan JCPOA. Gedung Putih hanya menjadikan resolusi nuklir Iran tersebut sebagai pelantara agar AS kembali menjabat tangan anggota 5+1. Pernyataan-pernyataan petinggi Washington adalah bukti jelas bahwa AS tidak akan mengangkat sanksi atas Tehran. Karena Joe Biden adalah rantai tanpa putus pemerintahan Donald Trump dengan politik tekanan maksimumnya serta manuver pemerintah Barack Obama menghadapi Iran.
Kala itu, Barack Obama mencari celah berunding dengan Iran. Dengan perundingan, Obama ingin menjerat Iran dengan menjatuhkannya jadi pemain biasa, non-profesional yang menghancurkan stabilitas sistem yang ada, tentunya sistem yang dipetakan Amerika Serikat di kancah internasional.
Dengan fakta di atas, maka baik kita membaca Presiden Biden dengan kacamata Obama maupun Trump, Presiden baru Amerika tidak pernah berniat menghidupkan JCPOA. Joe Biden bermaksud untuk menyatukan Uni Eropa dari politik multilateralisme ke arah siasat unilateralisme melawan Iran. Karena kebijakan Donald Trump untuk menyuntikkan unilateralisme telah mengasingkan AS dengan sekutu-sekutunya.
Dengan kecemerlangan telaah atas sastra politik Joseph Nye yang dikawinkan dengan kekuatan perangkat lunak dan keras, Joe Biden terjun melawan Iran. Oleh karena itulah, kebijakan Joe Biden untuk kembali ke JCPOA bukan untuk berunding dengan Tehran, akan tetapi lebih dilandasi pada upaya menyatukan poros Brussels-Washington.
Joe Biden sadar bahwa Iran tidak akan sudi berunding dengan Amerika Serikat tanpa mengangkat sanksi-sanksi, di samping Gedung Putih sendiri juga tidak ada niatan untuk mematikannya. Bahkan sekalipun Iran bermaksud menuju meja perundingan, hal itu akan berjalan sangat kompleks, yang bukan hanya meliputi masalah dukungan terhadap poros Mukawamah, tapi juga akan mengait persoalan HAM.
Jika Iran berunding, akan ada efek yang sangat luas. Jika dilihat dari atmosfir yang ada dan pendekatan AS, perundingan tidak akan pernah memihak Iran. Sekalipun Pentagon menjanjikan ajal sanksi, tapi tidak ada jaminan di realitas.
Buktinya adalah perundingan Libya-Amerika. Setelah menadatangani resolusi, Amerika lari terbirit mengangkangi. Dan sepertinya sejarah ini akan terus berulang, hanya beda geografi dan kondisi. Libya ditekan sampai ke dasar semenjak tahun 1979. Tahun 2001-2003, Libya semakin serius menjalin perjanjian dengan Amerika setelah ketakutan menonton strategi arogan Pentagon di Irak dan Afganistan. Hingga akhirnya tahun 2004 Libya bergabung dengan organisasi anti senjata pembunuh massa. Muammar al-Gaddafi berharap Amerika mesucikan tangannya dari sanksi kotor pasca mengabulkan beberapa syarat, tapi sanksi tidak pernah final. Dan kini bukan keamanan yang ada, bukan pula kesejahteraan.
Pengalaman demi pengalaman sangat dirasakan pahitnya oleh Iran, Korut, Libya dan lainnya. Sejak dekade 80-an, yaitu sejak berunding dan terjalin kesepakatan antara Iran, Eropa dan Amerika hingga sekarang, tidak pernah ada stabilitas dan keamanan. Setelah keheningan semu, keributan kembali mencuat, tak terkecuali JCPOA.
Sejarah mencatat, perundingan antara Amerika dengan negara yang memiliki kepentingan yang bertolak dengan Washington, selalu disikapi sama oleh penghuni Gedung Putih. Selalu terlihat satu paradigma yang sama dan stabil. Petinggi datang silih berganti dengan stempel warna-warni, namun tetap satu rupa. Obama, Trump dan Biden tidak bisa diharapkan dan mereka juga bukan harapan akhir pertikaian AS-Iran.
Baca juga: Amerika Serikat Bangun Pangkalan Militer di Mosul Irak