Purna Warta – Salah satu analis Arab menjelaskan bahwa dengan bersandar pada politik realistis, Yordania mendapati bahwa taktik merubah sistem Suriah telah gagal. Tak ada opsi kecuali bekerjasama dengan Damaskus demi menutup kerugian yang dipikul Amman sebab siasat kalah AS.
Pada hari Jumat, 20/8, kemarin Kantor Kepresidenan Rusia di Kremlin menyatakan bahwa pada hari Senin, 23/8, Presiden Rusia akan menjamu Raja Abdullah II. Terakhir kedua Kepala Negara bertemu di bulan Oktober 2019 lalu di kota Sochi.
Arabi21 dalam satu pengamatannya menuliskan pena tentang kunjungan Raja Yordania, Abdullah II yang fokus pembahasannya mengenai dokumen Suriah dan perubahan halauan politik Amman tentang Damaskus demi mencegah kerugian lebih besar.
“Satu gerakan politik berantai telah dimulai dengan kepemimpinan Yordania. Salah satu perihal yang dibahas adalah masalah Suriah. Raja Abdullah II dengan kerjasama dengan Mesir dan beberapa negeri Teluk Persia menelisik situasi baru Suriah dan berupaya memulangkannya ke pangkuan Liga Arab,” tulis Arabi21 mengamati dan dijadwalkan kunjungan Raja Yordania ke Rusia pada tanggal 23/8/2021.
Gerak Diplomatik
“Departemen Program Yordania menyatakan bahwa Amman butuh 2.4 juta dolar untuk mengagendakan anggaran menutup krisis Suriah di tahun ini. Setelah pengumuman ini, Yordania berupaya untuk melempar batu di tengah genangan air Suriah, yang notabene menjamu pengungsi Damaskus hingga jumlah 1.3 juta sipil,” tambah Arabi21 melanjutkan.
Dalam sesi wawancara dengan Arabi21, beberapa mantan petinggi politik Yordania menjelaskan sebab perubahan arus politik Amman dan hal tersebut berada di balik upaya sang Raja untuk menurunkan tekanan krisis dengan mencari sumber pasti ekonomi dan situasi realistis serta keseimbangan kekuatan di dalam Suriah.
Mamdouh al-Ebadi, mantan Wakil PM Yordania, menyatakan, “Menguntungkan Yordania jika luas pangkuannya mencakup Suriah. Taktik sebelumnya telah memukul Yordania, karena menutup perbatasan dan ekspor-impor barang dengan harga mahal transportasi laut, khususnya di era blockade ekonomi.”
Mantan Wakil Perdana Menteri tersebut menegaskan bahwa penutupan perbatasan dengan Suriah telah membunuh Yordania.
Membuka Lembaran Baru
Relasi Suriah-Yordania, menurut analisa Arabi21, semakin memburuk pada tahun 2011. Damaskus menuduh Amman telah melatih militansi bahkan mempersenjatai mereka dan mempermudah jalan kelompok yang bernamakan Jihadis ke dalam kedaulatan Suriah. Hal ini telah mengakhiri hubungan kedua negara hingga mengusir Duta Yordania dari Suriah.
Pada tahun 2017, Raja Abdullah II juga sedikit menyindir pelengseran Presiden Bashar Assad dari tampuk kepemimpinan dalam satu wawancara dengan media Washington Post, bahkan menyatakan, “Rasional menghukumi bahwa seseorang, yang tangannya berlumur darah rakyatnya, lebih baik diusir dari medan.”
Akan tetapi intonasi keras Raja Yordania ini turun dan dalam wawancara dengan CNN pada Juli lalu menyatakan, “Bashar Assad dan sistem pemerintahannya akan terus berjalan dalam jangka panjang.” Dan selanjutnya, Raja Yordania meminta perundingan dengan petinggi Damaskus.
Di saat yang sama, PM Yordania, Bisher al-Khasawneh memamerkan peran Yordania dan Mesir dalam upaya mengembalikan Suriah ke Liga Arab.
“Yordania bersama Mesir dan beberapa negara sahabat mengupayakan Suriah kembali ke kedudukan semula di Liga Arab. Sebab absennya Suriah di Liga Arab tidaklah membangun,” jelasnya dalam wawancara dengan surat kabar Independent.
Suriah dan Pertemuan Raja Abdullah II dengan Presiden Putin
Samih al-Maaytah, mantan Menteri Penasihat Informasi dan Perhubungan Yordania, mengatakan sebagai seorang analis bahwa urusan Suriah akan dibahas dalam kunjungan Raja Yordania ke Rusia. Dalam kunjungannya ke Washington, Raja Yordania berupaya meyakinkan pendekatannya dalam masalah ini. Berupaya meyakinkan Gedung Putih bahwa realita sekarang menunjukkan bahwa selain mencari solusi untuk Suriah, juga harus dilancarkan kerjasama.
“Visi Yordania untuk bekerjasama dalam kasus Suriah didasarkan pada satu fakta bahwa sistem pemerintahan Damaskus, secara politik dan militer, telah menundukkan oposisi ke tanah. Yordania, sama seperti beberapa negara Arab lainnya termasuk Mesir, yakin bahwa Suriah harus segera kembali ke Liga Arab,” tegasnya.
Kembalinya Suriah ke pangkuan Arab, menurut pengamatan Samih al-Maaytah, adalah satu kemaslahatan Arab, politik dan ekonomi bagi Yordania.
Semua hal ini dipaparkan di saat Yordania masih mengkhawatirkan situasi terkini di Daraa sebab adu senjata antara tentara pemerintah Suriah dan oposisi. Namun meski demikian, banyak pihak oposisi tahun 2018 menandatangani normalisasi hubungan dengan pemerintah Damaskus di bawah naungan pengamatan Rusia dan Yordania.
Selain itu, Yordania juga telah menyiapkan proyek listrik ke Lebanon melalui jaringan di Suriah dengan anggaran dari Washington.
Ambisi Amman Putar Halauan ke Suriah
Khaled al-Shanikat, mantan Ketua Organisasi Ilmu Politik Yordania dan Dosen universitas, dalam hal ini menyatakan, “Yordania semenjak krisis Suriah menuntut opsi politik untuk menyelesaikan krisis ini, meskipun ikut intervensi atau campur tangan sebab tekanan.”
“Hari ini setelah campur tangan Rusia, situasi menguntungkan Suriah dan ada beberapa fakta yang terus bergulir. Rusia adalah kuncinya dan beberapa pion permainan ada di tangannya. Bersandar pada politik realistis, Yordania mendapatkan bahwa ambisi merubah Suriah telah terhapus pasca mayoritas wilayah ada dalam kontrol pemerintah, kecuali beberapa daerah kecil.”
“Raja Yordania pergi berbincang dengan Putin sebagai politikus luar negeri. Raja menantikan dialog dengan Putin tentang tema kunjungan terakhirnya ke Washington dan apapun urusan terkait Suriah yang telah dibahas,” tambahnya.
“Yordania menanggung kerugian besar dari krisis Suriah dan inilah yang menjadi satu faktor banting setir Amman. Sudah lama Yordania menjamu imigran Suriah yang berjumlah 1.3 juta dan sangatlah memihak Amman jika para pengungsi ini kembali ke negaranya dengan bantuan Rusia,” hematnya.
Tanpa basa-basi melihat kekhawatiran Yordania akan keamanan wilayah Daraa, Dosen Politik tersebut menambahkan, “Yordania terus menekan hingga masalah terselesaikan dengan damai. Raja Abdullah II telah memaparkan urusan Suriah dalam kunjungannya ke Washington demi mencari solusi multilateral yang mencakup Rusia, Amerika dan beberapa negara lainnya.”
Terkait kembalinya Suriah ke Liga Arab, al-Shanikat menjelaskan, “Hal ini telah dibahas dan saya berfikir bahwa negara-negara Teluk Persia tidak lagi mempersoalkan rencana ini. Namun menurut yakin saya, masalah ini akan cepat teratasi di bawah persetujuan umum yang juga mencakup masalah kehadiran militan bersenjata di dekat perbatasan Yordania.”
Secara ekonomi, menurut analisa Dosen universitas ini, kembalinya perdagangan dengan Suriah melalui perbatasan akan menguntungkan Yordania. Sebagaimana tanpa izin Suriah, Yordania tidak akan bisa menjalin hubungan dengan Lebanon.