Al-Quds, Purna Warta – Pihak penjajah rezim Israel selalu menuntut “hak untuk mempertahankan diri” terhadap orang-orang yang mereka jajah.
Serangan Zionis yang melanda Asia Barat telah menimbulkan gambaran yang memilukan hati. Saat saya menulis ini, setidaknya 160 orang, sebagian besar dari mereka orang Palestina, telah terbunuh, termasuk setidaknya 41 anak – sebagian besar orang Palestina – di sisi lain tentara Israel melakukan serangan bom di Jalur Gaza yang padat penduduk dan kelompok poros perlawanan Palestina membalasnya dengan roket. Sementara itu, bentrokan antarkomune meletus di seluruh wilayah Palestina yang diduduki.
Sebagai tanggapan atas peperangan tersebut, negara-negara Barat, yang dipimpin oleh Presiden AS Joe Biden, dengan cepat mengutuk kelompok-kelompok Palestina atas serangan roket mereka, di sisi lain mereka lebih membela serangan Israel terhadap warga sipil Palestina.
Baca Juga : Pesan Saraya Al-Quds: Ratusan Jam Kami Menunggu, Mana Pasukan-mu Zionis?
Ekspresi hangat keluar terhadap aksi teror Rezim untuk membuat takut warga Palestina dengan melakukan pembunuhan warga Palestina dengan pernyataan dan dukungan kuat mereka terhadap pihak keamanan Israel dan “hak sah Israel dalam mempertahankan diri”.
Ini juga termasuk seruan yang mereka anggap sebagai suatu “sikap kejelasan moral” yang tidak lain menyiratkan bahwa tindakan kelompok perlawanan Palestina, meskipun mereka menjadi korban pembunuhan, kematian dan kehancuran yang ditimbulkan oleh pemboman Israel, namun tetap pihak Palestina dianggap salah oleh mereka,
Sementara beberapa politisi progresif – seperti Perwakilan AS Alexandria Ocasio-Cortez – telah menganggap dukungan terhadap hak Israel untuk membela diri sebagai suatu kemunafikan, akan tetapi pihak mereka telah menolak pernyataan tersebut demi melakukan pembenaran untuk Israel.
Penjajah Rezim selalu menuntut slogan hak untuk mempertahankan diri dari perlawanan penduduk asli, termasuk pembenaran dalam melakukan pembunuhan massal.
Sejarah kolonialisme Eropa terhadap Afrika banyak dikotori dengan banjirnya mayat dan kuburan massal dari mereka yang berani melawan penjajah Eropa yang unggul secara militer.
Sejarawan Caroline Elkins menjelaskan dalam bukunya Gulag “Serangan Pembunuhan” yang diterbitkan di Inggris mengenai sejarah kolonial di Kenya, yang menceritakan mengenai pemberontakan petani Mau Mau di tahun 1950-an, termasuk didalamnya sejarah mengenai pendirian kamp konsentrasi untuk 1,5 juta warga sipil Kikuyu dan rezim penyiksaan yang brutal kamp-kamp yang mungkin telah merenggut nyawa Puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang yang dicurigai akan melakukan pemberontakan terhadap penjajah.
Gagasan bahwa penjajah tanah imperialis memiliki hak untuk meneror, melakukan tindakan brutal, menyiksa dan membunuh mereka yang hendak merebut kembali tanah mereka di bawah slogan “pertahanan diri” bertentangan dengan Resolusi Majelis Umum PBB 43/37 tahun 1982 yang mengakui “legitimasi” dari perjuangan rakyat untuk kemerdekaan Keamanan regional, persatuan nasional, kebebasan dari cengkeraman penjajahan dan dominasi asing serta pendudukan asing dengan segala cara yang memungkinkan, termasuk perjuangan bersenjata sekalipun. Resolusi tersebut menegaskan kembali hak sah secara khusus dalam kasus perjuangan Palestina.
Baca Juga : Hamas: Sehari-Dua Hari Lagi Israel Menyerah
Begitu juga, hari ini di Gaza, alih-alih mencari pembenaran dari slogan “sikap kejelasan moral,” Barat menggunakan keambiguan slogan moral tadi untuk membenarkan serangan terhadap populasi pengungsi oleh kekuatan kolonial yang mengusir mereka dari tanah mereka sendiri dan menjebak serta memblokir mereka di wilayah terbuka seperti halnya sebuah penjara, lalu mereka dengan santainya menuntut hak untuk membela diri.
Ketika media Barat berbicara tentang bentrokan kedua belah pihak, mereka menyamakan hal itu dengan konflik di antara dua kelompok yang saling bertahan, dan konflik tersebut muncul sebagai pergulatan antara dua pihak dengan klaim yang sama atas keamanan dan tanah. Hal ini sangat mengabaikan fakta sebenarnya, sebab Palestina pada hakikatnya sedang berada dalam suatu perjuangan untuk membebaskan nasional dan negaranya melawan pendudukan ilegal dan tidak bermoral yang telah berlangsung selama beberapa dekade, termasuk penerapan pihak Rezim pada sistem diskriminasi ras dan etnis terhadap warga asli Palestina, yang ditolak oleh Human Rights Watch yang membuat sebuah laporan kasus Rezim Israel sebagai kejahatan internasional apartheid, walaupun laporan tersebut ditolak mentah-mentah oleh media barat.
Dalam banyak wawancara, para pembicara dari pihak rezim Israel berulang kali menekankan bahwa tentaranya sebagai “pasukan yang paling bermoral di dunia” mengalami kesulitan untuk menemukan dan membunuh para pemimpin poros perlawanan Palestina, yang kata mereka, bersembunyi di balik warga sipil.
Pers Barat dengan senang hati menerima anggapan Rezim bahwa para pemimpin Hamas dan kelompok perlawanan lainnya sebagai target yang sah. Dengan implikasi bahwa meskipun taktik mereka mungkin agak menjengkelkan, Israel tetap melancarkan serangan yang mereka anggap sah. Penerimaan yang tidak kritis dari framing ini membuat media Barat terlibat dalam delegitimasi perlawanan Palestina terhadap dominasi dan penjajahan negara Israel.
Seperti yang dinyatakan oleh Ocasio-Cortez, mewujudkan pandangan bahwa “Israel memiliki hak untuk membela diri” tanpa memasukkan konteks penganiayaan terhadap warga asli hanyalah sebuah alasan saja dan pembenaran untuk melakukan serangan lebih lanjut.
Jika media Barat, para politisi, dan diplomat benar-benar mencari langkah dengan slogan “kejelasan moral”, mereka sepatutnya menolak asumsi yang keterlaluan bahwa negara-negara kolonial seperti Israel memiliki hak untuk membela diri terhadap orang-orang yang mereka tindas.
Ditulis oleh Soraya Rizk