Purna Warta – Salah satu surat kabar Inggris mengingatkan bahaya Rusia–China dan menegaskan bahwa negara-negara Barat harus memisahkan Moskow dan Beijing.
Dalam beberapa tahun terakhir, persekutuan Rusia dan China telah membuat goyang poros Barat. Times menelisik beberapa jalan dan metode yang bisa memecah Rusia-China.
Persaingan poros Barat versus Rusia-China disebut oleh media Inggris tersebut dengan persaingan antara negara-negara berdemokrasi dan sistem pemerintahan diktator dan meneruskan, “Barat harus bekerjasama dalam bidang ekonomi, teknologi dan meningkatkan anggaran pertahanan.”
Baca Juga : AS-Israel Tukar Peran Emirat-Saudi di Yaman, Untuk Apa Kiranya?
Tahap Baru dari Sejarah
“Tahap baru sejarah telah dimulai. Struktur dunia saat ini menghadapi masalah paling besarnya pasca keruntuhan tembok Berlin tahun 1989. Masalah tersebut bukan hanya berkaitan dengan strategi Rusia di perbatasan Ukraina, akan tetapi juga menyangkup langkah-langkah China di Asia. Persekutuan yang terus berkembang antara Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping mungkin saja didasarkan pada pribahasa musuhnya musuhku adalah temanku,” hemat Times.
Kepentingan Bersama Rusia-China
Times mengamati bahwa Moskow dan Beijing keduanya bertujuan untuk mengakhiri sistem dunia yang didekte oleh Amerika Serikat. Dua kedaulatan menuntut peresmian hegemoni dua pihak. Salah satu poin lebih dari perkembangan relasi Rusia dan China adalah memaksa Washington untuk memusatkan anggarannya di dua medan. Presiden AS Joe Biden menuntut pemusatan persaingan dengan China sehingga dia menarik mundur pasukan dari Afganistan. Akan tetapi, hingga saat ini Amerika masih berada di medan perang Eropa.
Pasukan Amerika Serikat sedang bergerak ke medan timur NATO. Kemenhan AS masih menggodok metode mengirim bantuan ke Ukraina ketika benar-benar terjadi perang. Gedung Putih dan Kemenlu AS juga terus mengobarkan diplomasi di medan ini.
“Dalam skenario ini, kemenangan akan ada di pihak Rusia, karena Negeri Beruang Merah sukses menarik perhatian semua pihak kepadanya dan poin juga akan dimiliki China, meskipun Negeri Tirai Bambu tidak melakukan hal apapun,” analisa Times.
Kekuatan Rusia-China, menurut pengamatan Times, menjadi faktor pendorong peningkatan kerja sama Moskow dan Beijing. Perkembangan itu akan memaksa para lawan untuk aktif di dua medan berbeda. Yang akan menjadi salah satu titik perhatian serta kekhawatiran adalah jika Rusia menekan Ukraina, di saat yang sama, China akan bergerak ke Taiwan.
Baca Juga : Perangkat Lunak AS, Bagaimana Menggalakkan Propagandanya Versus Iran?
AS Tidak Mampu Menjawab Kebutuhan di Dua Medan
“Washington tidak memiliki kapasitas diplomatik dan militer untuk menjawab balasan di dua medan. Sedangkan menghancurkan fokus serta konsentrasi AS merupakan salah satu target persekutuan Xi Jinping dan Vladimir Putin,” tulis Times mengamati.
Salah satu poin positif lainnya dari kerja sama Rusia-China adalah kedua belah pihak akan mampu meredam supresi ekonomi poros Barat.
Kremlin kini memiliki satu medan opsional untuk produksi gas, di mana medan tersebut akan digunakan untuk menekan negara-negara kecil dengan kenaikan harga. Detik ini juga, Kremlin mampu mencari pasar baru untuk produk gasnya meskipun dia tidak menjualnya ke Benua Biru.
Dari sisi lain, beberapa negara Eropa tidak ingin menjual produknya ke Rusia, sehingga China akan dijadikan opsi baru untuk pasar mereka.
Baca Juga : Manuver Bahrain dengan Visa Emas: Menarik Investor atau Reformasi Sosial?
Target Barat: Memutus Persekutuan Rusia-China
“Target negara-negara Barat adalah harus memisahkan Rusia-China. Poros Barat harus menurunkan ketergantungannya kepada dua negara ini sehingga sanksi atau boikot akan berdampak lebih keras dan menurunkan indikasi konflik,” tulis Times.
Times juga menambahkan, “Salah satu ide yang dipaparkan dalam urusan ini adalah menciptakan koalisi demokrasi maju yang bernama T12. Koalisi ini akan mencakup Amerika, Prancis, Jerman, Australia, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Finlandia, Swedia, India dan Israel. Harus dituliskan aturan baru tentang kecerdasan buatan dan opsi-opsi responsif akan serangan cyber.”
“Dunia demokratif harus menyadari hal ini bahwa mereka tidak bisa mengharap AS memikul kapasitas besar beban sistem. Dalam artian bahwa poros Barat harus saling bekerjasama di bidang militer untuk menghadapi anggaran raksasa Putin di bidang ini,” ingat Times.
Menurut analisa Times, negara-negara Barat tidak memiliki keselarasan bersama dan terus berkelahi satu sama lainnya. Bahkan mereka saling menganggap pesaing ekonomi. Jika negara-negara poros Barat tidak bersatu melawan ancaman baru ini, maka dunia akan menjadi tempat enak untuk negara-negara seperti China dan Rusia. Ini merupakan ancaman untuk negara-negara demokrasi.
Baca Juga : Perjuangan Panjang Maryam Khotun, Transseksual Pertama di Iran
Beberapa hari lalu, The Guardian telah mengingatkan bahaya kedekatan Moskow-Beijing dan menuliskan dalam jurnalnya, “China dan Rusia terus bergerak ke kesatuan. Petinggi dua kedaulatan memiliki ideologi yang sama dan mereka berupaya menggilas Amerika Serikat. Bahkan kedua negara meyakini bahwa Gedung Putih mengalami degradasi.”
Sebelum melakukan pertemuan, Presiden Rusia dan China telah membangun medan baru untuk membendung sanksi poros Barat. Pihak Barat menekan Rusia dengan alasan Ukraina dan mengekang China karena masalah Hongkong serta etnis Uighur. Namun demikian di tengah perkembangan ini, persekutuan China-Rusia malah bertambah dua kali lipat.
Dalam wawancara dengan media Xinhua, Presiden Rusia menegaskan, “Kedua negara memiliki peran besar dalam stabilitas dunia dan relasi dibangun dengan lebih adil serta lebih universal.”
Militer dan perdagangan telah dikerjakan secara maju, bahkan baru saja disepakati resolusi baru untuk pasar gas Rusia di China. Dan kini ada indikasi kesepakatan untuk menjalin kerja sama di bidang pertahanan dengan metode NATO.
Baca Juga : Pemimpin Ukraina Zelenskyy kepada Putin Rusia: ‘Mari kita bertemu’
Poros Rusia-China, Perkembangan Strategis Paling Urgen Pasca Keruntuhan Uni Soviet
Kelahiran poros Rusia-China dalam melawan Barat pimpinan AS merupakan peristiwa strategis paling penting di kancah internasional sejak keruntuhan Uni Soviet.
The Guardian di akhir pengamatannya menulis, “Takut akan satu masalah yang mungkin dikerjakan oleh China telah membantu untuk memahami maksud respon Joe Biden tentang Ukraina yang telah dikurung Rusia. Yang penting menunjukkan kepada Putin bahwa keras kepala sudah tidak efektif lagi. Akan tetapi secara mendasar, krisis ini tidak berkaitan dengan Ukraina ataupun Eropa. Ini tentang dunia baru yang menakutkan dan tanpa aturan yang akan dihadapi semua pihak.”