Jakarta, Purna Warta – Setidaknya terdapat tiga poin pesan moral terkait pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Mulai dari kelalain dalam pemetaan strategis Indonesia, inkonsistensi pengambil keputusan, dan nilai sepakbola yang terabaikan. Kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 yang sudah di depan mengundang respons publik.
Salah satu tanggapan atas kabar buruk ini diungkapkan oleh peneliti kebijakan olahraga, Amal Ganesha, selaku Ketua Jakarta Business School’s Centre for Sport Business and Governance (JBS Corsigo).
Baca Juga : Jawaban Tuntas Seputar Isu Penolakan Timnas U-20 Israel
“Pertama, jika ingin eksis dan bermain di level internasional, tidak bisa kita pakai ‘mindset’ lokal. Kita harus memetakan posisi strategis Indonesia di kancah sepakbola global sebelum bertarung. Kegagalan menjadi tuan rumah ini saya yakini karena pengambil keputusan sepakbola Indonesia tidak melakukan analisis ‘macro and micro environment’ yang dalam dan tidak pandai menilai risiko. Pengambil keputusan tersebut—dalam hal ini terdiri dari petinggi PSSI dan pemerintah—tidak mampu mengidentifikasi isu Israel-Palestina ini sebagai titik krusial. Ada banyak kerangka kerja untuk memahami posisi strategis, bisa pakai PESTLE analysis dan SWOT analysis. Kasus ini sekali lagi mengonfirmasi bahwa sepakbola Indonesia kekurangan strategists, karena bertahun-tahun hanya fokus kepada hal-hal yang terlalu teknis,” ucap Amal.
“Perlu diketahui juga, kalau sudah level internasional, tidak bisa andalkan lobi-lobi gaya lokal. FIFA tidak akan kompromi dengan risiko keamanan, apalagi mereka paham betul tentang Tragedi Kanjuruhan.
“Selain itu, pesepakbola juga harus punya mental yang lebih elite jika ingin eksis di level internasional. Kemarin beredar kalimat dari pesepak bola junior, kira-kira isinya ‘memperjuangkan kemerdekaan bangsa lain, tapi mematikan mimpi anak bangsa’. Saya katakan, mimpi bermain di Piala Dunia jalur tuan rumah adalah mimpi yang terlalu kecil. Pesepakbola harus bermimpi besar: misalnya berjuang sangat keras sampai dilirik pemandu bakat klub Liga Jepang atau Inggris, lalu membawa timnas tampil di Piala Dunia jalur kualifikasi. Jadi, pola pikirnya harus lebih elite jika ingin menembus level global.”
“Kedua, isu ini sebenarnya bukan tentang sanksi FIFA atau bercampurnya politik dan olahraga. Ini tentang inkonsistensi. Sudah dari dulu semua orang tahu, Indonesia tidak mengakui Israel. Jika tiba-tiba menerima timnas Israel berlaga di Indonesia, maka itu sama saja dengan memberi legitimasi kepada Israel. Jadi tidak konsisten. Lagi-lagi karena pengambil keputusan sepakbola kita gagal memetakan isu-isu yang lebih strategis, karena hanya mengerti hal-hal yang bersifat teknis.”
Baca Juga : Gagal Gelar Piala Dunia U-20, Ini Negara Selain Indonesia yang Pernah Dicoret Jadi Tuan Rumah
“Presiden Jokowi dalam pernyataannya berkata jangan mencampuri urusan politik dan olahraga. Tidak lama saya baru berkata, bahwa memisahkan olahraga dari politik dan sebaliknya adalah mitos. Jelas-jelas ketua PSSI sekarang adalah perpanjangan politik—jika tidak mau dibilang politisi—karena ia merupakan menteri BUMN yang dipilih oleh presiden.”
“Ketiga, ini harus menjadi titik refleksi dan instropeksi diri bagi semua pihak. Jangan jadikan ‘football taken for granted’, karena risiko dan biayanya terlalu besar. Bayangkan, dalam setahun terakhir, Indonesia menerima dua citra memalukan di kancah global melalui sepakbola: Tragedi Kanjuruhan dan dicabut status Tuan Rumah Piala Dunia U-20. Jelas, sepakbola menyangkut citra Indonesia di level dunia,” pungkasnya.
Sumber: https://www.goal.com/