Tiga Pelajaran dari Dua Dekade Kegagalan AS di Afghanistan yang Penuh Darah

Pasukan AS, Ilustrasi.

Purna Warta – Krisis di Afghanistan musim panas ini menegaskan apa yang telah lama dicurigai banyak orang: bahwa sebagian besar kebijakan luar negeri Barat sejak 11 September 2001 dengan dalih memberantas terrorism telah sepenuhnya gagal. Tugas sekarang adalah untuk merenungkan kesalahan masa lalu dan menyusun strategi baru untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruh di dunia multipolar.

Dua puluh tahun yang lalu, serangan teroris 11 September mengejutkan dunia. “Kita semua orang Amerika” menjadi slogan solidaritas global. Setelah tragedi penyerangan inilah akhirnya kekebalan Barat pasca Perang Dingin terbukti hanyalah ilusi belaka. Setelah 9/11 menjadi jelas bahwa “globalisasi” yang menyebabkan dominasi ekonomi Barat pada 1990-an juga terkuak sisi gelapnya.

Dua dekade setelah serangan, sulit untuk melebih-lebihkan konsekuensinya bagi Barat dan dunia yang lebih luas. Di mana sebuah aktor non-negara yang kejam menentukan agenda internasional hingga level yang luar biasa. Sebagai akibat dari 9/11, gagasan tentang dunia unipolar (satu kutub) yang dipimpin AS berakhir, dan Washington mengubah kebijakan luar negerinya berdasarkan gagasan “Perang Melawan Teror.”

Pada masa itu, tidak mengherankan bahwa invasi pimpinan AS ke Afghanistan mendapat dukungan internasional yang luar biasa. Serangan 9/11 tidak bisa dibiarkan tanpa jawaban, dan Taliban-lah yang telah menyediakan tempat berlindung bagi al-Qaeda untuk merencanakan, mengatur, dan meluncurkan operasi.

Namun perang di Afghanistan akan dikenang sebagai kegagalan besar. Biayanya yang tinggi dan keuntungan yang rendah menimbulkan pertanyaan yang jelas: Untuk apa semua itu? Lebih dari 48.000 warga sipil Afghanistan, setidaknya 66.000 tentara Afghanistan, dan 3.500 tentara NATO tewas selama konflik 20 tahun itu. AS menghabiskan lebih dari $ 2 triliun untuk mencoba membangun lembaga-lembaga negara Afghanistan. Namun semua investasi itu lenyap dalam waktu beberapa minggu ketika Taliban maju untuk merebut kembali negara itu.

Pembentukan kembali pemerintahan Taliban di Kabul adalah bukti lebih lanjut bahwa “perang global melawan teror” adalah upaya yang salah arah. Warga Afghanistan – terutama wanita dan para gadis – sekali lagi dibiarkan menghadapi kenyataan hidup di bawah rezim fundamentalis. Bagi Barat, tugas sekarang adalah merenungkan pelajaran dari pengalaman menyedihkan ini.

1. Militer dan Kekerasan tak dapat menyelesaikan masalah

Pelajaran pertama adalah bahwa kekuatan militer eksternal bukanlah cara yang masuk akal untuk menghasilkan perubahan rezim yang efektif dan langgeng. Barat sama sekali gagal menciptakan negara Afghanistan yang modern, demokratis, dan tangguh yang mampu bertahan dari ancaman Taliban. AS jatuh dalam perangkap yang sama setelah invasi ilegal ke Irak pada tahun 2003, di mana segera menghadapi pemberontakan yang akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya ISIS. Dan kemudian terjadi lagi di Libya, di mana fiksasi NATO untuk menggulingkan Muammar el-Qaddafi meninggalkan sebuah negara dalam kekacauan yang selalu berada di ambang perang saudara.

Singkatnya, pembangunan bangsa dari atas ke bawah telah didiskreditkan secara luas. Model ini mengasumsikan bahwa membangun kehadiran militer dan menuangkan sumber daya ke suatu negara pasti akan memberikan keamanan, pembangunan, dan pemerintahan yang demokratis. Namun karena pembangunan bangsa membutuhkan dukungan rakyat, maka hanya dapat berhasil jika dilakukan melalui perwakilan lokal yang dianggap sah.

Elemen ini tidak ada di Afghanistan. Dengan mendukung panglima perang seperti Abdul Rashid Dostum, yang pasukannya melakukan banyak kekejaman, Barat melemahkan upaya pembangunan bangsanya sendiri dan mengasingkan sebagian besar penduduk Afghanistan.

Secara umum, gagasan bahwa lembaga yang ada di suatu negara dapat dengan mudah diganti dengan yang baru seharusnya diakui sebagai hal yang tidak masuk akal. Sebagian besar negara dibangun secara bertahap dan endogen melalui kerja sama dan kompromi dalam jangka waktu yang lama, bukan oleh diktat asing. Emulasi dan rayuan jauh lebih kuat daripada paksaan dan kekerasan.

Lebih buruk lagi, pemerintahan Presiden AS George W. Bush merangkul kekuatan militer setelah 9/11 dengan mengorbankan diplomasi, yang telah lama menopang aset paling berharga Amerika: daya tariknya ke seluruh dunia. Tembok Berlin runtuh bukan karena kekuatan militer tetapi karena mereka yang hidup di bawah komunisme menyadari bahwa model ekonomi Barat menghasilkan standar hidup yang lebih tinggi daripada yang dapat mereka cita-citakan.

2. Pembangunan negara harus melibatkan kekuatan regional

Pelajaran kedua dari 20 tahun di Afghanistan adalah bahwa pembangunan negara dalam negeri harus dibarengi dengan strategi regional. Pendekatan yang mengecualikan pemain regional utama tidak dapat dilakukan, terutama di dunia multipolar saat ini. Dengan melakukannya sendiri, Barat gagal memahami keseimbangan kekuatan internasional yang terus berubah.

Lingkungan Afghanistan menawarkan peluang yang sia-sia. China tidak dalam posisi untuk berkontribusi secara substansial pada awal perang, tetapi dengan kebangkitannya sebagai kekuatan global, China bisa menjadi mitra yang berguna. Koordinasi yang lebih erat antara upaya stabilisasi yang dipimpin AS dan investasi asing China di Afghanistan dapat memaksimalkan manfaat proyek-proyek pembangunan bagi masyarakat lokal.

Demikian pula, keterlibatan Rusia yang lebih besar dapat memungkinkan lebih banyak sumber daya untuk mencapai Afghanistan melalui Jaringan Distribusi Utara, mengurangi kebutuhan untuk melalui Pakistan, yang sebagai hasilnya memperoleh pengaruh yang signifikan. Selain itu, Arab Saudi, penerima manfaat senjata AS dan investor utama di Pakistan, dapat menggunakan pengaruhnya terhadap pemerintah Pakistan untuk meyakinkannya agar negara itu dapat memainkan peran yang lebih konstruktif dalam menyelesaikan masalah regional.

3. Eropa Tak boleh bergantung kepada AS

Pelajaran terakhir dari bencana Afghanistan ini tertuju kepada Eropa. Eropa seharusnya mengambil pelajaran bahwa mereka harus mengembangkan kemampuannya sendiri sesuai dengan kepentingan strategisnya sendiri. Mengingat berubahnya koridor dan keseimbangan kekuasaan dunia saat ini, Eropa semestinya mempertimbangkan Kembali secara serius ketergantungannya pada Amerika Serikat.

Meskipun dunia telah banyak berubah selama 20 tahun terakhir, masalah terorisme internasional masih jauh dari penyelesaian. Situasi keamanan yang meresahkan di Sahel, misalnya, seharusnya membuat kita semua merenungkan tindakan apa yang harus diambil di masa depan. Tapi satu hal yang jelas: “Perang selamanya” bukanlah tak dapat diakhiri, terutama bagi mereka yang harus menanggungnya. Setelah 9/11 kita berslogan “Kita semua adalah orang Amerika”, tetapi kita juga lupa, kita juga harus “menjadi orang Afghanistan”.

Diterjemahkan dari artikel Javier Solana di situs project-syndicate.org/ dengan judul Three Lesson From a Two Decade Failure (11 September 2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *