HomeAnalisaTahanan Penjara Militer Qurain; Saksi Hidup Kekejaman Bahrain terhadap Demonstran

Tahanan Penjara Militer Qurain; Saksi Hidup Kekejaman Bahrain terhadap Demonstran

Purna Warta Bahrain saat ini dikenal sebagai negara yang memenjarakan rakyat sipil  akibat aksi protes damai, dan melakukan penyiksaan kepada mereka; bukan hanya saat interogasi, melainkan juga ketika mereka menjadi tahanan di penjara militer.

Semua bermula dari gerakan 14 Februari di Bahrain pada tahun 2011, ketika demonstrasi damai besar-besaran terjadi di ibu kota Bahrain, Manama.

Protes damai itu ditanggapi dengan represi dan penangkapan para pengunjuk rasa. Tindak kekerasan militer Bahrain terus berlanjut hingga akhirnya penjara Bahrain dipenuhi dengan ribuan tahanan hanya dalam beberapa bulan.

Sejak itu, penjara-penjara Bahrain menjadi terkenal akibat tingginya tingkat penyiksaan, perlakuan buruk, dan berbagai bentuk pelanggaran terhadap tahanan. Sejak awal gerakan, aksi penangkapan dan penahanan warga mencapai angka ratusan tiap tahunnya.

Baca Juga : Sembilan Tahun Sejak Fatwa Epik Ayatullah Sistani Lawan Daesh di Irak

Pengakuan Tahanan

Banyak mantan tahanan menceritakan tahapan siksaan psikis dan fisik yang mereka alami selama berada di penjara.

Penyiksaan dimulai pada tahap penyelidikan dan interogasi, di mana pengakuan palsu diambil dari para tahanan dengan cara memukuli mereka, menyetrum dan melakukan pelecehan seksual. Masih dirasa belum cukup dengan penyiksaan, mereka kemudian diadili berdasarkan pengakuan hasil siksaan tersebut di pengadilan militer, yang sudah dipastikan sangat memihak kerajaan dan tidak independen.

Istri seorang tahanan melaporkan bahwa setelah fase interogasi berakhir, sang istri beserta keluarganya mengunjungi suaminya yang berada di penjara. Sang istri bertanya kepadanya tentang apa yang telah dia alami sejak penangkapannya. Sang suami tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan kekhawatiran dan kondisi psikis yang akan menimpa sang istri beserta orang tuanya yang juga datang dan hadir bersamanya. Sang suami dengan sederhana mengatakan kepadanya, “Jika mereka membawa seekor kucing kepada Saya dan memerintahkan Saya untuk mengaku bahwa kucing itu adalah ibu saya, Saya akan melakukannya.”

Hal itu tak lain adalah sebuah kiasan untuk menjelaskan betapa beratnya siksaan yang ia dapat ketika proses interogasi.

Seorang mantan tahanan lainnya melaporkan bahwa dia ditangkap setahun setelah penahanan putranya. Ketika dia bertemu dengan putranya di penjara, dia melihat luka basah di punggungnya. Ia kemudian bertanya kepadanya tentang hal itu, dan putranya menjawab, “itu adalah luka bekas penyiksaan yang ia dapatkan satu tahun lalu.” Sang ayah tertegun dan berkata, “Saya terkejut ketika melihat bekas luka yang masih tidak kunjung sembuh bahkan setelah satu tahun berlalu.”

Banyak keluarga tahanan lainnya menceritakan kasus penyiksaan yang dialami anak-anak mereka sejak pertama kali ditangkap.

Baca Juga : Relasi Arab-China Semakin Erat; Kekhawatiran bagi Amerika Serikat

Penyiksaan; Sebuah Perangkat Praktis dan Sistemis

Penyiksaan telah menjadi alat yang digunakan secara sistemis oleh otoritas Bahrain untuk menekan lawan politik, aktivis hak asasi manusia, dan warga negara yang berpartisipasi dalam aksi protes atau bahkan hanya menulis postingan di media sosial yang menentang kebijakan Al Khalifa.

Penyiksaan tidak hanya berhenti ketika dilakukan interogasi, namun tetap berlanjut hingga mereka dipindahkan ke penjara. Otoritas penjara memang tidak setiap hari melakukan pemukulan terhadap tahanan, namun ketika mereka melakukannya, seorang tahanan akan mendapatkan pukulan hebat, semprotan merica, sel isolasi, dan diseret di koridor penjara di bawah pengawasan kamera pengintai.

Tahanan penjara militer juga mendapatkan penolakan perawatan medis tiap harinya tanpa ada alasan yang jelas, tidak peduli seberapa serius atau kronis penyakit yang dideritanya. Serangan verbal dan perampasan kepemilikan tahanan juga menjadi bagian dari rutinitas harian para tahanan.

Itulah kehidupan sehari-hari ribuan tahanan tak berdosa di Bahrain. Dan memang itulah yang terjadi di sebagian besar pusat penahanan dan penjara di sana; baik itu Penjara Pusat Jau -yang memang sudah memiliki persentase pelanggaran manusia terbesar-, atau Penjara Dry Dock -tempat sebagian besar tahanan kecil ditahan-, atau Penjara Wanita Kota Isa, – yang untungnya tahanan wanita terakhir telah dibebaskan pada tahun 2022-.

Sudut luar penjara Dry Dock, Bahrain
Sudut luar penjara Dry Dock, Bahrain

Persoalan HAM tahanan sipil tidak hanya terbatas pada kasus di dalam Penjara Militer Qurain saja.

Selain bentuk penyiksaan dan perlakuan buruk, alasan penangkapan mereka didasarkan hanya pada bukti yang direkayasa. Rekayasa tersebut semakin berlipat ganda karena proses persidangan mereka dilakukan di pengadilan militer -ingat! bukan di pengadilan sipil-, yang berarti bahwa aksi yang para tahanan lakukan dinilai memiliki ancaman yang lebih tinggi, sehingga pengadilan militer menjadikan mereka sebagai objek dan sasaran yang tepat untuk hukuman yang lebih berat, tentunya dengan memanfaatkan bukti yang telah direkayasa itu.

Lalu, apa yang membuat pengadilan militer Bahrain menuntut warga sipil dan menahan mereka di penjara militer?

Salah satu hasil dan manifestasi dari krisis politik yang dimulai pasca pecahnya Gerakan 14 Februari 2011 adalah krisis sosial dan HAM di Bahrain. Otoritas Bahrain mengubah undang-undang tertentu agar sejalan dengan rencana mereka untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap mereka yang dinilai merusak keamanan negara, tak terkecuali pengunjuk rasa yang damai itu.

45 hari setelah dimulainya gerakan, terdapat sekitar 502 warga sipil yang diadili di pengadilan militer yang disebut “Pengadilan Keselamatan Nasional”. Beberapa diantaranya adalah pengunjuk rasa damai dan bahkan dokter dan staf medis yang berpartisipasi untuk memberikan perawatan kepada pengunjuk rasa yang terluka. Padahal pengadilan militer seharusnya ditujukan kepada elit tertentu, seperti pemimpin gerakan oposisi, bukan sipil, apalagi dokter yang melakukan tugasnya.

Baca Juga : Apa yang Dicari Presiden Raisi melalui Lawatannya ke Venezuela?

Celah Buatan dalam Konstitusi

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Komite Pencari Fakta, yang dikenal sebagai Komisi Bassiouni, yang diterbitkan pada 23 November 2011, terdapat 165 hukuman militer yang dijatuhkan kepada warga sipil.

Pada tanggal 30 Maret 2017, Raja Bahrain membuat amandemen konstitusi. Ia mengubah kekuasaan Pengadilan Militer yang termaktub dalam Pasal 105 ayat (b) konstitusi dan memasukkan warga sipil untuk dapat diadili di pengadilan militer. Sebelumnya, yurisdiksi pengadilan militer hanya terbatas pada anggota Angkatan Pertahanan, Garda Nasional, dan Keamanan Publik, dan yurisdiksi tersebut tidak meluas ke orang lain kecuali ketika darurat militer diumumkan dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang.

Konstitusi Bahrain sendiri dikenal dengan “Konstitusi Hibah” yang bermaknya perancangannya dilakukan secara sepihak oleh Raja Bahrain pada tahun 2002 setelah dia membatalkan Pakta Aksi Nasional yang dikeluarkan pada tahun 2001. Teks paragraf konstitusi yang diubah menjadi: “Undang-undang mengatur peradilan militer dan memperjelas yurisdiksinya di masing-masing Angkatan Pertahanan Bahrain, Garda Nasional, dan Pasukan Keamanan Publik.”

Amandemen konstitusi ini diikuti dengan amandemen UU Peradilan Militer pada 18 April 2017, yang memberikan yurisdiksi kepada peradilan militer untuk menghukum warga sipil yang dituduh melakukan kasus politik yang diatur dalam KUHP. Artinya, celah hukum dibuat dalam konstitusi untuk memfasilitasi amandemen Hukum Peradilan Militer untuk memungkinkan yurisprudensi agar memiliki wewenang untuk mengadili orang lain, termasuk warga sipil.

Dengan kata lain, objek pengadilan militer bukan hanya Pasukan Pertahanan Bahrain, Garda Nasional dan Keamanan publik saja, tetap warga sipil juga dapat masuk ke pengadilan militer. Hal itu merupakan konsekuensi dihapusnya teks dalam konstitusi yang menyebutkan “… tidak berlaku kepada warga sipil kecuali darurat militer diumumkan.”

Oleh karena itu, setelah amandemen diberlakukan, 13 warga sipil diadili di pengadilan militer dan keputusan akhir dikeluarkan terhadap mereka oleh Pengadilan Kasasi Militer pada 11 April 2018.

Lima dari mereka masih ditahan hari ini di Penjara Militer Qurain. Mereka adalah Sayed Alawai Al-Mussawi, Muhammad Abdul-Hassan Al-Mitghawwi, Sayyed Fadel Abbas Radhi, Muhammad Abdul-Hussein Al-Shahabi, dan Mubarak Adel Muhanna.

Baca Juga : Sanggahan Terhadap Media Israel yang Memanipulasi Pernyataan Ayatullah Khamenei

Bantuk Penyiksaan

Dari segi bentuk, cara penyiksaan dalam interogasi dan persidangan terhadap warga sipil di pengadilan militer tidak berbeda dengan di pengadilan sipil. Protokol penyiksaan yang sama dipraktikkan terhadap mereka dan memaksa banyak dari mereka untuk mengakui kejahatan berat yang tidak mereka lakukan.

Sebagai contoh, 20 personel medis dihukum atas tuduhan kasus penculikan dan penyimpanan senjata pada tahun 2011 lalu seperti yang diputuskan oleh “Pengadilan Keamanan Nasional”, padahal partisipasi mereka hanyalah memberikan perawatan medis bagi pengunjuk rasa yang terluka.

13 pengadilan militer Bahrain pada tahun 2018 secara terang-terangan melanggar prinsip-prinsip hukum internasional yang ditetapkan dan ditegaskan oleh Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, seperti:

  • Mengambil pengakuan dari tahanan melalui siksaan
  • Menyembunyikan dan merahasiakan bukti, sehingga pihak pembela tidak bisa mengetahui dan mendisukiskannya selama persidangan.
  • Menjadikan para interogator yang menyiksa para tahanan dan memaksa mereka untuk menandatangani pengakuan palsu, sebagai saksi dari pihak penggugat (pemerintah).
  • Pihak pembela dilarang membela diri! (Beberapa dari mereka bahkan diadili kembali di pengadilan sipil di kemudiannya).

Baca Juga : Menyorot Hubungan Iran-Amerika Latin Jelang Kunjungan Raisi

Kondisi di Penjara Qurain

Salah satu buntut dari peradilan militer adalah para terpidana akan ditahan di Penjara Militer Qurain. Penjara militer sendiri adalah lembaga yang berafiliasi langsung dengan Kementerian Pertahanan, bukan dengan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini secara langsung memberikan persepsi negatif kepada warga sipil yang ditahan sebagai orang yang mengancam perdamaian sipil negara. Hal inilah yang akhirnya berujung pada terdistorsinya citra warga sipil yang keluar dalam aksi protes damai, atau para dokter dan tenaga medis untuk merawat para pengunjuk rasa yang terluka oleh tembakan aparat represif negara.

Perbedaan lain antara tahanan pengadilan militer dan sipil adalah bahwa pengamanan di dalam penjara militer Qurain lebih ketat. Para tahanan di Qurain menyampaikan kepada anggota keluarga mereka dalam sebuah kunjungan keluarga bahwa setiap tahanan ditahan di satu sel yang diawasi 24/7, tanpa privasi bahkan ketika di kamar mandi.

Para tahanan bertemu satu sama lain kurang dari satu jam sehari di halaman penjara, yang berukuran 4 kali 5 meter. Anggota staf militer perwira dan personel di dalam Qurain tidak memiliki shift giliran.

Tidak seperti tahanan lain di Penjara Pusat Jau atau Penjara Dry Dock, tahanan di Penjara Militer Qurain tidak dapat menyampaikan pesan melalui rekaman audio tersembunyi terkait peristiwa yang mereka hadapi terkait represi. Walaupun tentunya, jika tertangkap basah melakukan rekaman audio, para tahanan di penjara Jau dan Dry Dock akan dijatuhi hukuman sel isolasi, penolakan panggilan telepon, dan penolakan kunjungan keluarga.

Baca Juga : Bagaimana sih Pemikiran Politik Imam Khomeini dan Pandangannya tentang Politik Kontemporer?

Skenario Raja yang ‘Baik Hati’

Keluarga seorang tahanan sipil di Penjara Militer Qurain melaporkan bahwa ia ‘terpaksa menghilang’ selama enam bulan tak lama setelah penangkapannya.

Pihak keluarga mencoba pada untuk mencari tahu keberadaannya. Mereka menghubungi Lembaga Nasional untuk Hak Asasi Manusia, Ombudsman, Unit Investigasi Khusus, dan Pusat Intelijen, tetapi mereka tidak mendapat hasil yang berarti.

Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa dia berada di Kementerian Dalam Negeri. Namun ternyata sebaliknya, dia ditahan di bawah pengawasan Kementerian Pertahanan untuk diadili oleh pengadilan militer.

Hukuman mati dijatuhkan oleh Pengadilan Militer Kasasi terhadapnya berdasarkan dakwaan yang direkayasa. Hukuman tersebut diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan perintah yudisial yang memang telah direncanakan sebelumnya. Sehari sebelum otoritas pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadapnya, pengadilan akan mendesak pihak keluarga untuk menghadiri sidang. Di hari yang sama ketika hukuman mati dijatuhkan, pihak kerajaan Bahrain memutuskan secara sepihak untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Ketika pihak keluarga merasa lega, barulah kacung-kacung raja menghampiri sang keluarga dan berkata, “Kalian sendiri lihat, kan! Betapa baik dan murah hatinya sang Raja kepada Kalian?”

Saat ini, keluarga para tahanan menyebutkan bahwa Lembaga Nasional untuk Hak Asasi Manusia dan Ombudsman mengambil kesempatan untuk mengunjungi keluarga tahanan sehingga mereka dapat mengisi berkas tertentu dan mengatakan bahwa mereka tetap peduli dan telah meninjau kasus fulan dan fulan.

Pihak keluarga tahanan sendiri mengatakan mereka telah kehilangan harapan untuk menerima bantuan nyata dari organisasi-organisasi semacam itu, apalagi ketika mereka meminta advokasi perawatan medis untuk putra mereka yang ditahan yang menderita penyakit dan memerlukan pemeriksaan dari dokter spesialis dan tindak lanjut medis secara berkala.

Hingga saat ini, otoritas Bahrain masih menolak permintaan pihak-pihak khusus seperti organisasi hak asasi manusia internasional untuk memasuki penjara dan melihat kondisi para tahanan tersebut.

Apa yang disembunyikan otoritas Bahrain dengan mencegah badan internasional untuk mengetahui keselamatan para tahanan? Apakah mereka takut akan fakta bahwa para tahanan di penjara Qurain adalah hanya warga sipil? Apakah para tahanan di Qurain akan memaparkan realita yang terjadi yang seharusnya disembunyikan sepenuhnya dari publik?

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here