Purna Warta – Sekitar tengah hari, puluhan mahasiswa muda mengerumuni halaman ikonik Harvard Yard di depan patung John Harvard di Universitas Harvard pada tanggal 24 April 2024, bersenjatakan ransel, kantong tidur, dan tenda. Semua berjalan dengan cepat, dalam hitungan menit, tenda pusat, dapur, dan beberapa tenda logistik didirikan. Di sekitar perkemahan, mereka hiasi pagar “kampung baru” itu dengan tulisan slogan yang mereka pekikan bersama: “Universitas Rakyat Palestina,” “Rahmat bagi para martir,” “Bangga untuk Gaza,” “Dari Sungai ke Laut, Palestina akan Merdeka,” dan “Boikot Israel.”
Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam, ratusan massa mahasiswa sudah berkumpul, mengepalkan tinju ke langit, suara lantang penuh gelora mereka teriakkan, “Hanya ada satu solusi, Intifada, revolusi!.” Halaman ikonik universitas terkenal itu sekejap berubah menjadi kampung perkemahan, menurut cerita kawan dari Persia yang sedang melakukan perjalanan ke AS 10 Mei 2024.
Harvard adalah salah satu dari banyak protes perkemahan lainnya yang bermunculan di universitas-universitas di seluruh dunia, di Prancis, Belanda, Kanada, Australia, Inggris, Belgia dan bahkan Jepang. Semua terinspirasi oleh Perkemahan Solidaritas Gaza yang pertama kali muncul di Universitas Columbia.
Semua mengetahui bahwa protes perkemahan ini merupakan respons terhadap perang mengerikan di Gaza, genosida di Palestina yang selama ini ditutup-tutupi oleh media. Meskipun terus berlangsung, perang sudah pasti akan melewati puncaknya, dan Israel terus menerus menolak kesepakatan demi kesepakatan dan mengakhiri genosida secara permanen.
Tak bisa ditutupi, protes yang kian meluas itu pada kenyataannya, menandai perubahan pola pandang dan pikir kaum intelektual muda secara revolusioner di Eropa dan Amerika bahkan Asia. Pertanyaannya, apa yang melandasi anak-anak muda terpelajar itu memilih berontak atas ketidakadilan?
Sekian tahun lalu, tepatnya pada 29 November 2015, dan Oktober 2020, pemimpin Revolusi Islam Ayatullah Sayyid Ali Khamenei pernah menulis surat untuk anak-anak muda Eropa dan Amerika.
Surat pertama diterbitkan pada 29 November 2015, menanggapi aksi serangan terorisme ISIS di gereja Notre-Dame de Paris, Prancis yang penggalan isinya sebagai berikut: “Berbagai peristiwa getir yang ditandai dengan terorisme buta di Prancis, kembali mendorong saya untuk berdialog dengan kalian. Bagi saya, sangat disayangkan sekali peristiwa-peristiwa seperti ini menjadi landasan dialog, akan tetapi kenyataanya adalah jika masalah-masalah pedih tidak melatarbelakangi pencarian solusi dan tidak menjadi panggung untuk berkonsultasi, maka kerugian [yang diderita] akan berlipat ganda. Penderitaan setiap manusia di setiap sudut dunia secara otomatis akan memilukan sesama.
Pemandangan seorang anak kecil yang meninggal dunia di hadapan orang-orang yang dikasihinya, ibu yang [menyaksikan] kegembiraan keluarganya menjadi duka, seorang suami yang tergesa-gesa menggendong jenazah istrinya, dan atau seorang pemirsa yang tidak mengetahui bahwa dalam beberapa saat kemudian akan menyaksikan detik-detik akhir pertunjukan kehidupan, bukanlah pemandangan yang tidak akan menggugah afeksi dan perasaan setiap manusia. Semua orang yang memiliki cinta kasih dan kemanusiaan, akan sedih dan terluka menyaksikan pemandangan tersebut, baik itu terjadi di Prancis, Palestina, Irak, Lebanon atau Suriah. Yang pasti satu setengah miliar umat Muslim juga merasakan hal yang sama dan mereka mengecam serta berlepas tangan dari para pelaku dan otak tragedi tersebut. Akan tetapi masalahnya adalah bahwa berbagai penderitaan saat ini jika tidak menjadi bekal untuk membangun hari esok yang lebih baik dan lebih aman, maka hanya akan terpendam menjadi kenangan pahit dan sia-sia.
Saya yakin, hanya kalian para pemuda yang mengambil pelajaran dari goncangan hari ini yang akan mampu menemukan jalan baru untuk membangun masa depan, serta akan menjadi benteng berbagai penyimpangan yang telah mengantarkan Barat hingga ke titik sekarang ini.
Surat kedua diterbitkan menyusul publikasi karikatur penghinaan terhadap Rasulullah SAW oleh majalah Charlie Hebdo atas nama kebebasan berekspresi di Prancis. Salah satu penggalan surat Imam Ali Khamenei adalah menanyakan kembali kepada para pemuda di Prancis dan Eropa terkait kebenaran Holocaust.
“Mengapa meragukan kebenaran Holocaust dianggap sebagai suatu kejahatan dan pelakunya bisa diseret ke penjara, namun menghina Nabi Muhammad SAW diperbolehkan?
Apakah kebangkitan anak-anak muda AS dan Eropa dalam mendukung Palestina di Gaza ada kaitannya dengan dua surat pemimpin revolusi Islam? Untuk itu, kita bisa membaca kembali dua surat yang ditulis oleh Imam Ali Khamenei dengan tinta emas itu dan menemukan butiran-butiran mutiara disana. Wallahu a’lam.
Oleh: Cak Tiuw