Purna Warta – Gemuruh ledakan, langit-langit yang kelam oleh asap hitam, ditambah ketakutan dan ketidakpastian yang melingkupi ketika peluru dan roket beterbangan menjadi babak baru dalam konflik di Sudan. Kehidupan di ibu kota Sudan, Khartoum, dan di banyak bagian lain negara itu, tiba-tiba berubah secara dramatis menjadi lebih buruk.
Ada dua jenderal di jantung krisis ini: Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Mohammed Hamdan Dagalo, yang lebih dikenal sebagai Hemedti, kepala dari kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Kedua jenderal itu dulunya bekerja sama, melakukan kudeta bersama, namun kini pertempuran mereka demi meraih supremasi justru menghancurkan Sudan.
Mereka memiliki riwayat hubungan yang panjang. Keduanya memainkan peran kunci dalam kelompok pemberontak Darfur dalam perang saudara di wilayah barat Sudan yang dimulai pada 2003.
Jenderal Burhan mengendalikan tentara Sudan di Darfur. Hemedti merupakan komandan salah satu dari banyak kelompok milisi Arab, yang dikenal sebagai Janjaweed, yang digunakan pemerintah untuk menumpas secara brutal kelompok pemberontak Darfur yang sebagian besar merupakan non-Arab.
Majak D’Agoot saat itu merupakan Wakil Direktur Badan Intelijen dan Keamanan Nasional, sebelum dia menjadi wakil menteri pertahanan di Sudan Selatan ketika wilayah itu memisahkan diri pada 2011.
Dia bertemu Jenderal Burhan dan Hemedti di Darfur, dan mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan baik. Namun, dia mengatakan kepada BBC bahwa dia melihat sedikit tanda-tanda bahwa keduanya akan naik ke posisi puncak di negara bagian.
Hemedti hanyalah seorang pemimpin milisi yang “memainkan peran kontra-pemberontakan, membantu militer”, sedangkan Jenderal Burhan adalah seorang prajurit karier, meskipun “dengan semua ambisi korps perwira Sudan, segalanya mungkin terjadi”.
Militer telah menguasai sebagian besar sejarah Sudan pasca-kemerdekaan.
Taktik pemerintah di Darfur, yang pernah digambarkan oleh pakar Sudan, Alex de Waal sebagai “kontra-pemberontakan yang murah”, menggunakan pasukan reguler, milisi etnis, dan kekuatan udara untuk melawan pemberontak – dengan sedikit atau tanpa memperhatikan korban sipil.
Situasi di Darfur telah digambarkan sebagai genosida pertama abad ke-21. Janjaweed dituduh melakukan pembersihan etnis dan melakukan pemerkosaan massal sebagai senjata perang.
Hemedti akhirnya menjadi komandan dari kelompok yang digambarkan sebagai sayap dari Janjaweed, yakni RSF bentukannya. Milisi Janjaweed dituduh melakukan pembersihan etnis dan pemerkosaan massal selama konflik Darfur Kekuatan Hemedti berkembang secara masif begitu dia mulai memasok pasukan untuk berperang bagi koalisi pimpinan Saudi di Yaman.
Penguasa militer Sudan pada saat itu, Omar al-Bashir, mengandalkan Hemedti dan RSF sebagai penyeimbang angkatan bersenjata reguler, dengan harapan akan terlalu sulit bagi kelompok bersenjata mana pun untuk menggulingkannya.
Pada akhirnya, setelah berbulan-bulan aksi protes, para jenderal bersatu untuk menggulingkan Bashir pada April 2019.
Belakangan, masih dalam tahun yang sama, mereka menandatangani perjanjian dengan para pengunjuk rasa untuk membentuk pemerintahan sipil yang diawasi oleh Dewan Berdaulat, yakni sebuah badan gabungan sipil-militer di mana Jenderal Burhan menjadi pemimpinnya dan Hemedti sebagai wakilnya.
Situasi itu bertahan selama dua tahun, hingga Oktober 2021, ketika militer menyerang dan mengambil alih kekuasaan untuk diri mereka sendiri. Jenderal Burhan kembali menjadi kepala negara dan Hemedti kembali menjadi wakilnya.
Siddig Tower Kafi adalah seorang anggota sipil dari Dewan Berdaulat, dan rutin bertemu dengan kedua jenderal tersebut. Dia mengatakan tidak melihat tanda-tanda perselisihan sampai setelah kudeta 2021.
“Jenderal Burhan mulai mengembalikan kelompok Islamis dan mantan anggota rezim ke posisi lama mereka,” kata Siddig kepada BBC. “Jelas bahwa rencana Jenderal Burhan adalah mengembalikan rezim lama Omar al-Bashir ke tampuk kekuasaan.”
Siddig mengatakan bahwa pada saat itulah Hemedti mulai ragu, karena dia merasa kroni-kroni Bashir tidak pernah sepenuhnya mempercayainya. Lanskap politik Sudan selalu didominasi oleh elite yang sebagian besar berasal dari kelompok etnis yang berbasis di sekitar Khartoum dan Sungai Nil.
Sedangkan Hemedti berasal dari Darfur. Elite Sudan sering membicarakan dia dan tentaranya dengan nada merendahkan, seperti disebut sebagai “orang udik” yang tidak layak untuk memerintah negara.
Selama dua atau tiga tahun terakhir, dia telah mencoba memposisikan dirinya sebagai tokoh nasional, dan bahkan sebagai perwakilan dari kelompok yang terpinggirkan. Dia mencoba menjalin aliansi dengan kelompok pemberontak di Darfur dan Kordofan Selatan yang sebelumnya telah ditugaskan untuk dihancurkannya.
Dia juga rutin membicarakan bahwa demokrasi dibutuhkan, meskipun pasukannya sendiri secara brutal menghentikan aksi protes masyarakat sipil di masa lalu.
Ketegangan antara tentara dan RSF meningkat seiring dengan kian dekatnya tenggat waktu untuk membentuk pemerintahan sipil, yang fokus pada persoalan pelik soal bagaimana RSF harus diintegrasikan kembali ke dalam angkatan bersenjata reguler.
Kemudian pertempuran pun dimulai antara RSF melawan ASF, Hemedti melawan Jenderal Burhan, dengan misi menguasai negara Sudan. Dalam satu hal, setidaknya, Hemedti mengikuti jejak petinggi SAF yang sekarang dilawannya itu. Selama beberapa tahun terakhir, dia telah membangun kerajaan bisnis yang luas, termasuk tambang emas dan banyak sektor lainnya.
Jenderal Burhan dan Hemedti sama-sama menghadapi seruan dari para pemimpin sipil dan korban konflik di Darfur serta di tempat-tempat lain untuk diadili atas dugaan kekerasan.
Pertaruhannya sangat tinggi, dan ada banyak alasan bagi mantan sekutu yang berujung menjadi musuh bebuyutan ini untuk tidak mundur dari pertempuran mereka.
Banyak rumah sakit berlokasi di dekat markas tentara di ibu kota Sudan, Khartoum, yang paling terdampak. Pengeboman telah mengakibatkan kerusakan parah di sejumlah tempat seperti Rumah Sakit Al-Shaab, di mana seorang pengemudi ambulans dan tiga orang lainnya terluka.
Empat rumah sakit lain juga terkena dampaknya. Beberapa bahkan tidak bisa beroperasi sama sekali, sedangkan satu rumah sakit polisi telah dikosongkan seluruhnya dan dilaporkan telah diambil alih oleh RSF.
Berdasarkan informasi yang diterima oleh BBC, pasien-pasien di Sudan terjebak di rumah sakit tanpa listrik dan air. Sementara pasien-pasien lainnya yang membutuhkan perawatan medis telah dievakuasi, ketika pertempuran memasuki hari ketiga.
“Saya kira kami akan mati di jalan,” kata Faheem, setelah dievakuasi dari rumah sakit bersama putrinya yang berusia 14 tahun, Amal.
“Amal harus menjalani operasi tumor di kepalanya, setelah ada komplikasi dari operasi sebelumnya. Tapi kami harus terus pindah kamar karena penembakan. Kami akhirnya sampai di lantai dasar. Tapi kami lalu disuruh pergi dan mencari area yang aman.”
Hampir 100 orang telah tewas sejak kekerasan pecah pada Sabtu. “Saya menggendong Amal saat gedung-gedung di sekitar kami dibombardir. Dia merasa sangat tidak sehat dan kesakitan,” jelas Faheem.
Keduanya akhirnya berhasil menyelamatkan diri dari daerah itu. Faheem mengatakan kepada BBC bahwa dia baik-baik saja dan berharap bisa kembali menemui dokter dalam beberapa minggu ke depan untuk perawatan lanjutan, jika memungkinkan.
Beberapa orang telah dievakuasi, namun yang lainnya terjebak di rumah sakit-rumah sakit di berbagai wilayah selama berhari-hari. Para pekerja dan sukarelawan mengatakan kepada BBC bahwa mereka telah menjalani hari-hari hidup di bawah “tekanan psikologis yang luar biasa karena kekurangan makanan dan minuman”, serta menghadapi ketakutan akan penembakan tanpa pandang bulu yang terjadi di sekitar mereka.
“Kami mendengar suara pengeboman dan tembakan,” kata Ashraf, yang menemani kerabatnya yang terluka ke rumah sakit Sudan kepada BBC.
“Rumah sakit menghadapi situasi kritis, tanpa air dan listrik, yang membahayakan nyawa pasien,” Ashraf memperingatkan.
Seorang dokter yang kami ajak bicara, yang telah terjebak di rumah sakit yang sama selama tiga hari, membenarkan bahwa kondisinya semakin memburuk. “Rumah sakit menghadapi situasi mendesak: gangguan pasokan air dan listrik, sehingga pasien yang tersisa berada dalam posisi genting,” kata dia.
Dia mengatakan bahwa meskipun rumah sakit telah menerima bantuan makanan, dia mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika bangunan tersebut dihantam bom.
“Mereka sedang berusaha mengevakuasi rumah sakit saat ini, berkoordinasi dengan otoritas terkait tetapi tidak ada rencana evakuasi yang tepat, yang menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut karena lokasinya ada di daerah berisiko tinggi, rentan terhadap potensi serangan,” katanya kepada BBC.
Di seluruh media sosial, video-video yang telah diverifikasi oleh BBC menunjukkan orang-orang dievakuasi dari sebuah rumah sakit diiringi suara tembakan yang terdengar di latar belakang. Di tempat lain, seorang petugas kesehatan terlihat berusaha meyakinkan pasien mengenai persediaan oksigen yang hampir habis, sedangkan seorang perempuan terdengar berteriak meminta tolong di belakangnya.
Dalam video lain yang dikirim langsung ke BBC, sejumlah perempuan tampak berlindung di ruang bawah tanah sebuah rumah sakit dalam kegelapan, sambil menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Serikat Dokter Sudan telah mengeluarkan pernyataan mendesak yang menyerukan agar fasilitas kesehatan dilindungi serta mengizinkan perjalanan yang aman untuk ambulans.
Mereka menyebut pengeboman sebagai pelanggaran yang jelas terhadap hukum humaniter internasional dan meminta masyarakat internasional untuk membantu mereka.
*Nama-nama narasumber di rumah sakit telah diubah untuk melindungi keselamatan mereka.