Purna Warta – Donald Trump, mantan Presiden AS, yakin bahwa Coronalah yang telah mengalahkannnya dalam Pemilu 2020. Ini adalah keyakinan akan pandemi yang telah menjadi pemusnah ekonomi dan keunggulannya. Kekalahan Donald Trump ini juga memiliki sisi lain, dari strategi tekanan maksimal, pemaksaan perundingan baru hingga 12 prasyarat Kemenlu AS.
Keluarnya AS dari JCPOA memiliki banyak alasan. Namun sekarang yang harus dibahas adalah bagaimana Amerika kembali ke resolusi nuklir tersebut. Ada satu hal aneh bahwa baik Amerika maupun Iran saling tunjuk bertanggungjawab realisasi JCPOA lebih dulu.
Antony Blinken bersama dengan badan politik luar negeri Amerika lainnya menuntut Iran untuk menjalankan pasal resolusi nuklir. Sementara Iran menanti pemerintah Joe Biden untuk membangun jalan pulang ke situasi tahun 2016, yaitu waktu sebelum Donald Trump memimpin Gedung Putih.
Tapi pertanyaannya sekarang adalah siapa yang butuh menghidupkan JCPOA?
JCPOA dan Keluarnya AS
Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dilihat kembali filsafat rajutan resolusi nuklir Iran-5+1. JCPOA adalah reaksi serta jawaban untuk menutupi kelemahan Amerika dan mencegah Cina di wilayah Timur yang bisa membunuh hegemoni Amerika.
Semenjak awal dekade kedua abad 21 jelas bahwa Gedung Putih harus memikirkan cara untuk mencegah Cina. Dan upaya ini butuh pada ketentuan tugas dalam menyelesaikan krisis yang menyelimuti Timur Tengah, karena militer Amerika telah lama mandul di Kawasan.
Tahun 2011, pemerintah Barack Obama menarik hampir 50 ribu pasukan. Kemudian Obama berupaya membuka pintu hubungan dengan Iran secara diam-diam, tepat di tengah upaya Iran mengoperasikan pengayaan uranium hingga 20%. Upaya ini dipelantarai oleh Raja Oman hingga terajutlah perundingan rahasia yang berakhir pada resolusi nuklir tahun 2015. Satu kesepakatan yang memaksa penundaan sanksi dan pembatasan kuantitas pengayaan uranium serta beberapa hal lainnya.
Meskipun Iran sedikit menggerutu mengenai pasal resolusi, namun resolusi ini adalah kesempatan emas untuk prospek pemerintahan Hillary Clinton demi menambah amunisi untuk melawan Cina. Tapi kemenangan Donald Trump telah menghancurkan segalanya.
Tekanan Maksimal dan Militer
Berbeda dengan pemerintahan Barack Obama, pemerintah Donald Trump lebih menitikberatkan ekonomi dan perdagangan Amerika. Maka hal wajar, jika masalah cuan lebih menarik daripada yang lainnya.
Selain itu, Donald Trump juga menggebu-gebu menghidupkan energi fosil Amerika. Satu strategi produksi yang memiliki banyak suara di negara-negara bagian pendukung Republik. Peningkatan kuantitas minyak-gas Amerika serta upaya stabilitas harga telah memaksa penurunan produksi di semua belahan dunia.
Di masa kepemimpinan Donald Trump, peningkatan produksi minyak AS mencapai 4 juta barel dan itu harus dibayar dengan penurunan jumlah produksi emas hitam di Iran, Libya dan Venezuela.
Sementara di lain pihak, dengan keluarnya Amerika dari JCPOA terbuka lebar pengaktifan sanksi terhadap Iran oleh Gedung Putih. Ditambah lagi, pemerintah Donald Trump menulis ratusan pihak dan kelompok ke daftar hitam berdasarkan ketentuan CAATSA yang pernah ditandatangani pada periode Barack Obama.
Di bawah berbagai macam tekanan ini, Iran berhasil menjaga diri. Bertolak dengan impian keruntuhan Iran dalam tidur Donald Trump, Tehran sukses dalam beberapa operasi senjata berat melawan Amerika Serikat, puncaknya serangan ke Ain Assad Air Base pada tahun 2020.
Iran mulai mundur selangkah demi selangkah dari isi resolusi nuklir. Dari tahun 2019, semenjak pandemi Covid-19 Tehran mengembangkan teknologi baru dan mengayakan uranium hingga 3.5%.
Puncak pengayaan dilakukan di Fordo hingga 20% yang banyak mempengaruhi kualitas program nuklir Iran. Tentunya langkah ini dilakukan pasca kesepakatan Dewan Permusyawaratan Islami Iran.
Sanksi yang Tumpul
Sekarang pemerintahan AS baru dimulai di satu zaman di mana pengembangan program nuklir Iran lebih baik dari periode Donald Trump, sedangkan pemerintah baru lahir ini juga tidak bisa menaruh harapan besar pada sanksi tumpul yang pernah diagung-agungkan oleh pemerintah sebelumnya.
Pernyataan-pernyataan Blinken dan petinggi AS yang lain, yang memaksa Iran lebih dahulu menjalankan JCPOA, membuktikan bahwa pemerintah Joe Biden ingin menarik Iran dalam satu permainan, yang ujung-ujungnya akan menuntut Iran untuk menerima perundingan tentang rudal dan Kawasan.
Di awal, siasat ini terlihat menjanjikan, namun situasi strategis pihak lawan, yaitu Iran, mendukung pengambilan keputusan yang akan menyulitkan Amerika.
Di bidang ekonomi, dengan tangan terikat Iran masih mampu mengalahkan situasi mencekam. Statistik menunjukkan peningkatan tajam penjualan minyak Iran dari Oktober 2020 lalu. Bahkan di bulan Januari 2021 ini, produksi minyak Iran mencapai 1 juta barel perhari, ini adalah rekor dari tahun-tahun sebelumnya.
Fakta ini membuktikan bahwa Iran mampu meningkatkan bursa perekonomian di tengah upaya penihilan produksi oleh Donald Trump. Melihat situasi ekonomi internasional yang membaik, terbuka kemungkinan peningkatan perdagangan, kenaikan harga minyak hingga 60 dolar serta produksi 1 juta setengah barel perhari.
Di ranah politik juga terbentuk satu kesatuan arah berbagai pihak dalam Iran untuk melawan arogansi Amerika. Satu kesatuan yang diwariskan oleh ektrimisme Donald Trump yang telah membantu manajemen program nuklir berjalan lebih baik.
Di militer, Iran juga telah menunjukkan kehebatannya dalam meredam berbagai macam manuver. Karena hal inilah, upaya merundingkan militer akan terhalang. Selain itu jelas bahwa situasi umum dalam negeri Amerika juga tidak memungkinkan mereka untuk menarik hal ini ke meja politik luar negeri Gedung Putih.
Program Nuklir Iran Siap Meletup
Di bidang nuklir, Iran mampu berlari di jalan impiannya. Saat ini juga tercium kabar kebijakan baru berdasarkan kesepakatan Dewan Permusyawaratan Islami Iran. 1000 mesin pengayaan IR-2 sedang diaplikasikan di Natanz, yang bisa meningkatkan pengayaan uranium menjadi dua kali lipat. Dan sekarang sudah setengah dari 1000 mesin tersebut berhasil disematkan dan dalam tahap pengujian.
Dari sisi lain, ada kemungkinan Iran menghentikan tuntutan aplikasi protokol tambahan di awal bulan depan. Karena bagian utama Barat dalam upaya memata-matai program nuklir Iran butuh pada realisasi protokol tambahan ini, (maka) ketika Iran mengambil langkah penyetopan realisasi protokol, efek mendalam akan dirasakan Barat, terkhusus Amerika Serikat.
Sekarang Iran telah mengambil ancang-ancang pengayaan uranium. Satu kebijakan yang ditegaskan oleh petinggi Tehran demi kebutuhan dalam negeri.
Sampai batas mana Iran akan meneruskan pengayaan uranium, tidaklah jelas. Yang pasti saat ini Amerika juga tidak menunjukkan sinyal-sinyal serius untuk mencegah Tehran, karena Donald Trump telah mengumbar semuanya.
Klaim Petinggi AS Tidaklah Penting
Berdasarkan analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa Iran tidak butuh pengaktifan JCPOA. Ekonomi telah membuktikan sesuatu. Iran juga menanti satu gebrakan besar dalam program nuklirnya, yang sedikit mengganggu Amerika.
Iran tidak akan terburu-buru untuk membangkitkan JCPOA. Yang penting bagi Iran adalah bebas sanksi. Oleh karena inilah, Iran tidak terlalu memperdulikan omongan-omongan AS, yang penting adalah tingkah mereka.