–catatan refleksi 16 Hari Anti Kekerasaran terhadap Perempuan-
Kemarin, saat membuka akun Instagram, saya membaca satu unggahan dari sebuah kelompok studi feminis yang mengkritik salah satu materi kegiatan di kampus Banten, Ciputat berkenaan pencegahan Kekerasan seksual (KS) terhadap perempuan.
Ditulis bahwa pakaian bukan tanda persetujuan perempuan untuk dilecehkan dengan menampilkan data kasus KS yang menimpa perempuan berhijab atau KS di pesantren atau tempat ibadah. Mereka menyampaikan bahwa KS berpotensi kepada siapa saja dan tidak ada kaitanya sama sekali dengan pakaian yang dikenakan perempuan. Narasi ini sering dikampanyekan oleh para aktivis perempuan dan feminis.
Sepakat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja, dimana saja tanpa pandang usia, pendidikan atau status sosialnya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa pakaian tidak memiliki peran terhadap KS terhadap perempuan.
Penyebab KS itu sendiri sudah menjadi kompleks. Dan ketika melihatnya secara runut, sulit menemukan akar penyebab tunggalnya karena setiap bentuk kasus kekerasan seksual memiliki latar belakang penyebab yang berbeda. Ada pengaruh pornografi, minuman beralkohol, relasi kuasa atau adanya kesempatan yang ada saat itu yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada moral atau kesadaran. Pemicu itulah yang melahirkan bentuk kekerasan seksual baik itu dalam bentuk pelecehan, pemerkosaan hingga pada tingkat tragis pembunuhan setelah melakukan kekerasan tersebut. Karenanya harus diakui bahwa kekerasan seksual bukan berasal dari satu pemicu saja, tapi dia sudah menjadi rangkaian mata rantai yang memiliki keterkaitan dan kesalingsambungan dengan penyebab-penyebab lainnya.
Bincang pakaian tentu berkenaan dengan tubuh. Pakaian atau ketelanjangan punya bahasa, you are what your wear. Pakaian atau tubuh tentu memiliki efek terhadap siapapun, memberikan reaksi terhadap perilaku individu. Pada konsep Stimulus-Respon, kita bisa mengatakan bahwa stimulus yang diberikan oleh pakaian atau tubuh merupakan pesan yang kemudian individu memberikan respon terhadap stimulus yang diterimanya.
Narasi kelompok studi feminis ini “berbicara soal pakaian seakan-akan perempuan memang sering dijadikan objek seksual” seakan lupa jika sejarah berawal pada masa revolusi industri. Perempuan Barat sengaja digiring dari lingkungan rumah kejalan dengan dalih memperoleh hak atas kesetaraan dengan laki-laki dan kebebasan. Mereka menjadikan perempuan sebagai alat murah untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan (dengan hadirnya perempuan ke lapangan pekerjaan, makin murah pembayaran jasa mereka).
Dari sini, perempuan banyak terlibat pada dunia materialistik dan kapitalistik yang hanya fokus pada tubuh bukan pada kemanusiaan perempuan. Tubuh perempuan secara sadar atau tidak dipergunakan untuk menjalankan misi kaum kapitalis, dieksploitasi di berbagai media, dunia kerja atau bahkan kampanye normalisasi style life ala barat.
Jika benar pakaian tidak memiliki kaitan sama sekali, lalu bagaimana dengan dunia kerja yang membuat dress code, syarat perempuan harus tinggi, langsing, menawan? Bagaimana dengan dunia periklanan atau perfilman yang harus menunjukkan adegan sensasional perempuan melakukan tampilan pakaian yang terbuka dengan mengiklankan barang yang menghadirkan tubuh perempuan meski itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan perempuan. Seandainya pakaian tidak memiliki peran, kenapa harus ada pelbagai model baju diproduksi dari yang paling seksi sampai baju tertutup, dari yang ketat hingga longgar? Ini menunjukkan bahwa, ada keterlibatan pakaian atau sensasional tubuh perempuan dalam hal memicu lahirnya kekerasan seksual.
Juga, yang paling keliru dipahami orang pada umumnya adalah anggapan bahwa pakaian dan penampilan manusia adalah urusan pribadi, terserah pihak individu mau mengenakan apa saja. Semua sepakat akan hal itu, seperti menjaga tubuh tetap hangat, terawat, ingin berpakaian seksi atau bahkan tidak berpakaian di dalam rumahnya, tentu tidak ada yang melarangnya karena itu adalah ranah pribadinya. Namun yang perlu diingat, bahwa pakaian dan penampilan individu jika memasuki ranah publik, maka jenis dan model pakaian yang dikenakannya juga otomatis harus berkaitan dengan kepentingan publik, menjaga kesehatan dan keselamatan bersama.
Kalimat populer yang dilontarkan para kaum feminis atau para aktivis perempuan, yah dasar laki-lakinya yang kurang akhlak, bejat, mesti jaga mata, kendalikan hawa nafsu dan seterusnya. Lah, ini tentu tidak akan terjadi jika tidak ada stimulus yang diberikan. Di dunia ini, hanya dua jenis manusia, yah jika bukan laki-laki yah perempuan. Nah, bagaimana mereka bisa menjaga hawa nafsunya ketika setiap detiknya disodorkan tubuh yang sensual? Tidak mungkin kan disuruh tinggal dalam rumah dan kalian asyik-asyik memamerkan diri, bukankah ini egois dalam bermasyarakat?
Kita ini makhluk sosial, masyarakat majemuk. Begitu banyak karakter atau sifat diluar sana yang tidak kita ketahui siapa yang baik, apa isi otaknya, bernafsu dan seterusnya. Olehnya itu, karena majemuknya sifat, karakter atau perangai seseorang di masyarakat, dan kita tidak bisa mengendalikan banyak orang di luar sana, sudah semestinya perempuan sebagai makhluk yang indah, bagian dari masyarakat yang dikarunia anggota tubuh menarik, dijaga sebagai wilayah privasi yang orang lain tidak berhak menyentuhnya.
Karena keterbatasan kita mengenal orang atau lingkunganlah yang seharusnya membuat kita mawas diri dengan menjaga penampilan diri. Bukan hanya laki-laki yang dituntut untuk menundukkan pandangan, jaga mata, kendalikan nafsu sedangkan kita asyik-asyik tidak bisa mengendalikan nafsu menampakkan atau memamerkan keindahan tubuh yang sudah jelas laki-laki sangat tertarik dengan itu.
Metafor berlian sering digunakan untuk menggambarkan nilai perempuan yang berharga, mesti dijaga dengan baik agar tidak menarik perhatian pencuri, menyimpan ditempat aman dan tidak bermaksud memamerkan dimana-mana. Olehnya itu, Islam tidak membatasi aktivitas publik perempuan dengan syarat mengenakan hijab. Beda cerita ketika pencuri itu niat merampok dari awal. Sama kasusnya dengan perempuan berhijab, sudah menutup rapat tapi tetap kena juga kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual.
Pernyataan bahwa pakaian tidak memberikan pengaruh dengan contoh seorang ustad memperkosa santri-santrinya. Di lingkungan pesantren memang tidak ada santri yang membuatnya tertarik secara sensual, tapi karena di luar pesantren dia melihat perempuan berpakaian terbuka yang membuatnya terangsang dan memberi stimulus dia melakukan KS, maka yang jadi korban adalah santrinya sendiri sebab itu yang paling mungkin dia lakukan.
Tapi sekali lagi kasus KS terhadap perempuan berjilbab, bukan sebuah dalil dalam mengcounter peran pakaian karena sudah dikatakan sebelumnya bahwa berbicara sebab KS tidak bahas faktor tunggal. Banyak hal yang mendasari timbulnya sebab KS ini. Yang mau saya sampaikan bahwa, menolak unsur pakaian sebagai salah satu faktor sebab adalah sebuah kesalahan berfikir juga karena selain menyalahi prinsip agama juga merupakan kampanye yang memberikan konsep penguatan materialisme dan kapitalisme.
Contoh kasus, kuli bangunan melakukan pelecehan kepada anak-anak atau nenek-nenek, yang setelah diinterogasi mengakui perbuatannya karena terpengaruh oleh penampilan terbuka dan goyangan erotis biduan yang ditontonnya. Jadi dari sini yang menstimulasi si kuli untuk melakukan kejahatan adalah penampilan tubuh biduan yang vulgar yang merangsang hawa nafsu kelelakiannya. Tubuh perempuan dipertontonkan secara arbiter sehingga memacu hormon para lelaki untuk menyalurkan hasratnya. Memang bukan korban yang membuat pelaku berniat berlaku jahat, tapi karena kejahatan hanya paling mungkin dilakukan oleh pelaku pada anak-anak dan nenek-nenek maka kedua tingkat umur inilah yang rentan menjadi korban. Terus dikatakan bahwa kejahatan yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan penampilan yang seksi atau tubuh yang montok, sebab anak-anak dan nenek-nenek pun jadi korban. Kenapa sesederhana itu menilai penyebab sebuah kasus kejahatan?.
Yang dilakukan kelompok studi feminis dengan fokus pada jargon jangan menyalahkan korban, pada hakikatnya ingin mengkampanyekan bahwa perempuan boleh mengenakan pakaian model apa saja yang disukainya di ruang publik, seterbuka apapun, sebab bukan model pakaianlah yang memicu kekerasan seksual. Ini bukan saja tidak menjadi solusi bagi upaya pencegahan kekerasan seksual namun malah mendorong tindakan permisif dalam kehidupan masyarakat.
-Haryati, founder Perempuan Bersuara