HomeAnalisaSetahun Badai al-Aqsha: Peran Kunci Operasi Psikologis dalam Perlawanan

Setahun Badai al-Aqsha: Peran Kunci Operasi Psikologis dalam Perlawanan

Purna Warta – Setiap tanggal 7 Oktober kini diperingati sebagai hari bersejarah, menandai dimulainya proses kehancuran Zionis di wilayah Pendudukan Palestina. Setahun yang lalu, Israel membantai warga sipil Palestina di Gaza melalui serangan udara, kelaparan, dan penyiksaan, meninggalkan sekitar 45 juta pon puing. Banyak keluarga hilang, dan yang selamat akan membawa luka dan trauma psikologis selamanya.

Setelah setahun serangan terhadap rumah-rumah penduduk, rumah sakit, sekolah, masjid, gereja, dan kamp pengungsi, warga sipil di Gaza kini tidak melihat prospek akhir dari agresi Israel, yang justru sekarang menyebar ke wilayah lain seperti Lebanon, Yaman, Suriah, Irak, dan Iran.

Di sisi lain, pejuang Hamas telah meruntuhkan mitos tentang kedigdayaan rezim Zionis dengan perlawanan kuat, meluncurkan roket yang menghancurkan kota-kota penting Israel di wilayah Pendudukan. Pasukan Perlawanan Hizbullah, Houthi Yaman, dan al-Hasd al-Shaabi Irak juga terus menyerang tentara Israel tanpa henti. Meskipun kapan konflik ini berakhir masih belum jelas, penting untuk merenungkan peristiwa-peristiwa setahun terakhir dan memahami penyebabnya.

Pertama, peran pentingnya “media” dan “operasi psikologis” (Psychological Operations/PsyOps) dalam konteks perang fisik. Beberapa orang berpendapat bahwa pengaruh media dan operasi psikologis bisa lebih signifikan daripada senjata fisik seperti rudal.

Contohnya, khotbah dan shalat Jumat bersejarah yang dipimpin oleh Imam Ali Khamenei menunjukkan dampak psikologis yang kuat terhadap mentalitas masyarakat, politik, dan militer. Pengaruhnya terasa baik secara individu maupun kolektif, menggugah semangat masyarakat, memperkuat solidaritas, dan meningkatkan kesadaran akan situasi yang dihadapi. Khotbah ini benar-benar berkontribusi signifikan dalam mengubah dinamika politik dan mengatasi dampak negatif dari operasi media, terorisme, dan potensi tindakan militer Zionis terhadap Iran. Bahkan dampak khotbah ini memiliki signifikansi setara dengan operasi True Promise Pertama, Kedua dan, Ketiga yang mungkin terjadi di masa depan.

Kedua, operasi Badai al-Aqsha telah memberikan pukulan besar terhadap reputasi, keamanan, intelijen, dan ekonomi Israel. Laporan media menyebutkan lebih dari 1.400 tentara Israel tewas, dengan sebagian besar tentara yang tewas terbunuh oleh rekan-rekan mereka sendiri. Hal ini diungkapkan dalam berbagai laporan, termasuk artikel oleh Ed Sykes di situs Canary, “Despite Attempts to Hide It, Israeli Forces Clearly Killed Their Own on 7 October” yang menyatakan bahwa dalam kekacauan dan kepanikan, pasukan Israel secara sengaja menembaki sesama tentara, menciptakan ironi tragis dalam operasi militer. Temuan ini menambah kontroversi terkait Operasi Hannibal yang menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan tanggung jawab dalam rantai komando militer Israel selama perang.

Protokol Hannibal adalah kebijakan militer Israel yang memungkinkan penggunaan kekuatan maksimum dalam situasi penculikan tentara, bahkan jika itu berisiko mengorbankan nyawa prajurit mereka sendiri. Kebijakan ini diperkenalkan pada tahun 1986 setelah penculikan beberapa tentara oleh Hizbullah dan dianggap penting untuk mencegah pihak Perlawanan menggunakan tawanan sebagai alat negosiasi.

Dalam peringatan Operasi Badai al-Aqsha kemarin, beberapa media dan pejabat Israel memulai kampanye manipulasi dengan “berpura-pura menjadi korban.” Israel menggunakan narasi ini untuk memperoleh simpati internasional di tengah konflik, menyoroti betapa pentingnya konstruksi dan penyebaran narasi dalam situasi konflik.

Peran media dalam peperangan fisik ini sangat krusial karena memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi publik, baik secara lokal maupun internasional. Narasi yang disampaikan melalui berbagai platform media dapat memengaruhi opini dunia tentang siapa yang menjadi agresor dan siapa yang menjadi korban. Dengan pengaruh ini, media berfungsi sebagai senjata yang ampuh, dan dimanfaatkan Israel untuk mendapatkan dukungan politik dan moral dari masyarakat internasional.

Karena peperangan tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di ranah informasi, menjadikan penyebaran narasi, berita, dan opini publik sebagai bagian integral dari strategi perang dan militer. Kecanggihan informasi dapat dimanipulasi untuk mengubah realitas di mata dunia, seperti yang terlihat dalam Operasi Badai al-Aqsa oleh zionis Israel.

Selain insiden di mana banyak tentara Israel tewas akibat tembakan rekan sendiri, militer Israel juga melakukan pembantaian terhadap 42.000 warga sipil di Gaza dan 2.000 di Lebanon dengan metode yang sangat brutal. Menyebarkan tindakan ini menunjukkan betapa pentingnya dampak peperangan di ranah informasi dalam membentuk narasi yang baik dan benar.

Melalui Protokol Hannibal, tentara Israel dapat menyebarkan informasi kepada seluruh media bahwa mereka telah membunuh ribuan pejuang Palestina atau Lebanon, padahal yang sebenarnya menjadi korban adalah warga sipil. Klaim ini benar-benar dimanfaatkan Israel untuk membangun citra “kemenangan” di mata dunia.

Selain pembantaian langsung, Israel juga melakukan serangan terencana yang menargetkan penduduk sipil dengan teknologi militer canggih, seperti ledakan pagar dan talky-walkie yang dikendalikan dari jarak jauh. Akibatnya, ratusan ribu warga sipil mengalami cacat permanen, kehilangan nyawa serta kemampuan fungsional lainnya.

Kejadian-kejadian seperti ini menunjukkan pentingnya peran media dalam mengungkapkan tingkat kekejaman dan brutalitas Israel, serta dampak jangka panjangnya yang tragis. Kerusakan fisik dan psikologis pada penduduk sipil terus berlanjut, sementara narasi media sering kali tidak mencerminkan fakta yang terjadi di lapangan. Hal ini menciptakan kesenjangan antara realitas yang dialami masyarakat dan gambaran yang ditampilkan kepada dunia, memengaruhi persepsi publik dan respons internasional terhadap konflik.

Kemampuan media dalam mengatur wacana menyadarkan negara-negara, termasuk Israel, bahwa dalam perang modern, kemenangan di medan pertempuran tidaklah cukup; kemenangan dalam narasi dan opini publik juga sama pentingnya, bahkan lebih.

Oleh karena itu, peran media sangat penting dalam analisis dan operasi psikologis.

Dalam hal ini, keterlibatan kita dalam menggalang demonstrasi, penggalangan dana, seminar, dan kegiatan lainnya untuk mendukung perlawanan sangat diperlukan untuk menciptakan kesadaran dan membentuk opini publik yang mendukung tujuan tersebut.

Ketiga, belakangan ini, sekelompok orang di tanah air—baik karena ketidaktahuan maupun alasan lain—telah melakukan upaya-upaya yang mencurigakan. Mereka membangkitkan isu-isu tidak relevan atau membahas hal-hal yang tidak penting, bahkan sering kali memancing emosi publik dengan memprovokasi persoalan sepele dan remeh. Jelas, tujuan utama dari tindakan-tindakan ini, disadari atau tidak, adalah untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari perjuangan perlawanan dan melemahkan Poros Perlawanan di tengah situasi perang yang krusial. Ini merupakan bagian dari gerakan senyap Operasi Psikologis, yang sering kali tidak kita sadari.

Melalui manipulasi informasi dan provokasi emosi, operasi ini dirancang untuk melemahkan semangat masyarakat dan memecah fokus mereka dari isu-isu yang sebenarnya sangat penting dan urgent.

Terakhir, saya ingin mengingatkan kita semua tentang pernyataan Imam Ali Khamenei dalam khotbah Jumat kemarin: “Setiap pukulan yang diberikan kepada rezim Zionis, oleh siapa pun dan oleh kelompok mana pun, adalah pelayanan untuk seluruh kawasan dan bahkan untuk seluruh kemanusiaan.” [MT]

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here