Purna Warta – “Anda harus potong kepala ular yang di Tehran,” ini adalah penggalan kisah Robert Gates, mantan Menlu AS dalam pertemuannya dengan Raja Abdullah pada tahun 2007. Robert menukil pernyataan itu dalam bukunya, membuatnya tidak mudah untuk menghapus atau mengingkari fakta tersebut.
Meskipun Robert Gates menolak realisasi strategi kalimat di atas, akan tetapi Arab Saudi dari waktu itu hingga sekarang terus mencurahkan upayanya untuk menekan Iran. Sebagai produsen minyak terbesar dunia, Riyadh mengadakan kerjasama dengan AS dalam semua bidang demi kestabilan pasar ketika sanksi menghimpit Tehran.
Ketika Iran dicekik krisis, pada tahun 2009 Riyadh mengadakan konferensi rahasia di Washington untuk menandatangani sanksi maksimum terhadap Iran. Klub yang hanya menamakan diri dengan kelompok “satu pemikiran” mencakup wakil-wakil kubu negara G-7, antara lain Saudi, Emirat, Australia dan Korea Selatan. Sedangkan Cina dan Rusia enggan untuk menambah suntikan sanksi kepada Iran dan tidak hadir dalam konferensi senyap-senyap ini.
Konferensi diselenggarakan di rumah dinas Kementerian Keuangan AS dengan dipelopori oleh Stuart Levey, seorang pakar pemboikotan dalam tubuh pemerintahan Barack Obama. Petinggi pemerintahan AS kala itu menyebut konferensi ini dengan salah satu dari sejumlah konferensi strategis antara 11 negara dengan tema metode realisasi sanksi keuangan atas Iran.
Secara khusus, Kemenkeu AS menentukan 8 bidang yang dirasa Washington bisa menjatuhkan Iran. 8 bidang itu adalah memotong tangan Iran untuk meraih proyek pemurnian bahan bakar, sanksi terhadap perusahaan-perusahaan asuransi Iran, memotong tangan Iran dalam penggunaan fasilitas perkapalan internasional dan kampanye baru untuk membuat cacat perbankan Iran.
Peran Arab Saudi dalam realisasi sanksi minyak Iran sangatlah mencolok daripada negara-negara lain. Tanpa kestabilan pasar, tidak akan ada yang namanya sanksi minyak atas Iran. Dan tugas ini dipikul oleh Arab Saudi.
Raja Abdullah dalam kunjungannya ke India dan Cina, sebagai konsumen terbesar emas hitam Iran, pada tahun 2005 berupaya meyakinkan kedua negara bahwa setiap sanksi atas Iran aktif, Saudi tidak akan membiarkan kelangkaan minyak dalam pasar. Dan hal tersebut teruji ketika Iran memutus secara sepihak ekspor minyak ke Eropa, Riyadh langsung menutup kelangkaan pasar.
Regional Dalam Api Fitnah Saudi
Yang jelas persaingan Iran-Saudi tidak terbatas dalam bidang emas hitam saja. Pada tahun 2006, di tengah kobaran perang Hizbullah versus rezim Zionis, tim ulama Saudi mengeluarkan fatwa haram mendoakan Hizbullah menang dalam perang melawan Israel. Ini adalah bukti kebencian mengakar dalam lubuk strategi mereka terhadap sahabat-sahabat Iran. Pada tahun 2011, ketika demonstrasi bersenjata meluap di Suriah, lagi-lagi Saudi muncul sebagai pendukung finansial para teroris.
Dengan segepok uang Saudi, para teroris membeli senjata melewati negara-negara Eropa timur dan melalui wilayah udara Azerbaijan, senjata dikirim ke Turki hingga sampai ke tangan teroris.
Yordania memainkan peranan lain. Yordania bertugas untuk membagi-bagi senjata ke para teroris. Saudi yang marah akan kerjasama Suriah-Iran, telah menganggarkan uang dalam jumlah tak terbatas bahkan mempersenjatai para teroris dengan rudal paling mutakhir.
Upaya termashurnya adalah manuver fitnah dalam serangan kimia di wilayah Rif Damaskus pada tahun 2013 demi membangun pondasi intervensi senjata AS di Suriah. Namun di akhir langkah, AS sendiri mundur dari strategi ini dan semenjak itulah Saudi sadar-yakin bahwa tidak ada yang namanya hegemoni Amerika di Asia Barat.
Saudi yang Tidak Bisa Menggapai Pengayaan Uranium
Dengan semua jerih payahnya ini, mungkin kabar perundingan Amerika dengan Iran di Oman adalah hal paling perih untuk Istana Riyadh. Dengan semua uang yang digelontorkan, Riyadh mengimpikan jasa besar di tengah upaya mencari opsi pertikaian AS-Iran. Namun demikian, pada tahun 2013 Saudi melihat satu kesepakatan yang pondasinya telah dibangun beberapa tahun sebelumnya.
Kemarahan Saudi bisa dilihat dalam kebijakannya dalam keanggotaannya di Dewan Keamanan pada tahun 2013. Secara lahir Saudi menuntut DK PBB untuk mensucikan Timur Tengah dari nuklir. Tapi fakta sebenarnya adalah mereka tidak bisa sabar melihat pengayaan uranium Iran.
Sebagai pesaing utama Iran, Saudi ingin mendapatkan apa yang diraih Iran secara seimbang. Ingin membangun satu keseimbangan dengan si saingan. Tapi jelas, meraih kekayaan nuklir adalah hal yang mustahil bagi Arab Saudi. Jenjang yang sangat jauh telah memisahkan Saudi untuk mendapatkan energi nuklir. Manipulasi nuklir Pakistan juga tidak bisa direalisasikan begitu saja, itu cuman hiasan tidur.
Untuk bekerjasama di bidang nuklir dengan AS, Saudi harus menyetujui resolusi no 123 dan mendeklarasikan secara resmi untuk tidak mengadakan pengayaan uranium. Kerjasama pengeboran tambang uranium di Riyadh antara Saudi-Cina bisa dijadikan kesadaran mereka akan batas merah ini dan masih jauh dari kata realisasi akhir.
Dengan dasar inilah bisa dilihat dengan jelas urgensi strategi tekanan maksimum Donald Trump kepada Iran dalam lingkup kepentingan Saudi. Kekalahan Donald Trump dalam Pemilu kemarin, kemenangan Joe Biden dan indikasi kembalinya AS ke JCPOA telah mengingatkan Saudi pada kejadian tahun 2013.
Indikasi AS Kembali ke JCPOA
Pada tahun 2014 di tengah perundingan marathon Iran-5+1 di Vienna, kunjungan Saud al-Faisal ke ibukota Austria ini dan pertemuannya dengan John Kerry, Menlu AS kala itu, telah menunjukkan keserakahan kerajaan Riyadh.
Pasca kunjungan dan pertemuan ini, produksi minyak Saudi langsung melonjak dan harganya turun drastis hingga 20 dolar. Aksi ini semakin menambah tekanan atas Iran. Namun yang perlu diperhatikan adalah Saudi pada tahun 1986 telah menggunakan manuver ini di saat perang Iran-Irak.
Thomas Friedman, jurnalis New York Times, mendukung Saudi secara terang-terangan dalam tulisannya dengan mengatakan, “Kembalinya AS ke JCPOA harus didasarkan pada kekhawatiran Saudi terhadap Iran seperti rudal.” Saudi yakin bahwa serangan ke kilang minyak Aramco dilakukan dengan senjata Tehran. Dan di lain pihak, jurnalis yang lain menulis di New York Times, “Joe Biden bisa menggunakan sekutu Saudi dan Israel untuk menekan Iran sebagai kartu utama sehingga mendapatkan nilai lebih di bidang rudal dan regional.”
Kisah tidak berhenti di sini, para sekutu Riyadh mengungkapkan impian Saudi lebih lantang. Anwar Gargash, Menteri Penasihat pemerintah Emirat untuk urusan luar negeri, meminjam pernyataan Heiko Maas, Menlu Jerman dan menuntut pemerintah Amerika untuk menghasilkan kesepakatan plus-plus dengan Iran.
“Sebuah kesepakatan yang lebih kuat, lebih keras dengan Iran dengan tujuan pencegahan Iran untuk mendapatkan senjata nuklir. Pencegahan dukungan Iran terhadap teroris, mencegah Iran merusak sosial dan pemerintahan Arab, menghentikan produksi roket dan rudal perang,” kata Anwar Gargash.
Hingga saat ini, Joe Biden beserta orang sekelilingnya belum merespon kemungkinan serta indikasi seperti ini. Namun secara implisit mengatakan bahwa untuk kembali ke JCPOA harus ada kesepakatan yang lebih luas untuk membahas regional dan rudal Iran.
Tapi jelas tim Joe Biden menyadari bahwa rudal Iran bukan masuk kategori yang bisa ditawar. Pada zaman pemerintahan Barack Obama juga tidak berhasil memasukkan hal ini ke dalam tema perundingan.
Kerajaan Saudi sadar bahwa kemungkinan besar Joe Biden akan mencari kesepakatan dua partai di Amerika tentang Iran. Dan lobi mereka, Republik bisa menjadi senjata pamungkas sebagai alat tawar.
Dengan berbagai macam lobi, Saudi sudah berupaya menjauhkan perusahaan-perusahaan minyak untuk mengambil langkah posisitif di bawah JCPOA, meskipun perusahaan-perusahaan tersebut kritik tajam sanksi dan boikot bidang minyak.
Dengan segala permasalahan HAM SAudi, mulai perang Yaman dan kasus pembunuhan Jamal Khashoggi, Joe Biden tidak akan mampu menutup mata akan tekanan Saudi. Lobi OPEC akan berjalan karena situasi terkini barat Asia sebagai sekutu lobi Saudi di Washington melawan segala kesepakatan dengan Iran. Hal ini membuktikan akan kompleksitas Joe Biden dalam upaya penarikan persetujuan Dewan Kongres mengenai strategi pemerintahannya nanti. Selain itu, Saudi juga begitu nafsu untuk meraih hasil positif di balik peresmian Israel demi menekan Iran. Sepertinya kegagalan Donald Trump dan Mohammed bin Salman telah menutup pintu normalisasi dengan rezim Zionis.
Awan Hitam di Langit Riyadh
Pada akhirnya Washington juga mengetahui bahwa pukulan-pukulan Saudi sendiri itu adalah sebuah pekerjaan rumah atau PR. Tutup mata atas apa yang mereka sepakatkan dengan rezim Zionis, Saudi tetap tidak memiliki nilai tawar lebih di hadapan Iran.
Pesan negatif perang Yaman terus menyeruak keluar. Militer Saudi lemas ketika berhadapan dengan militer Ansharullah. Proyek-proyek ekonomi non-minyak demi pengembangan kemajuan juga tidak ada yang mencapai titik harapan.
Pertanyaanya adalah kenapa Amerika selalu menyorot kepentingan Arab Saudi di tengah tuntutan kepentingannya sendiri? Untuk menjawab persoalan ini cukup lihat latar belakang, sejarah menunjukkan bahwa Saudi selalu menjadi sekutu sewaan. Bahkan dikatakan bahwa para oposisi Bin Salman menunggu pengangkatan Joe Biden untuk menurunkan MBS dari tahtanya. Mungkin Riyadh sedang menjahit kantong untuk perundingan Barat-Iran, namun belum jelas apakah perundingan tahap dua ini akan berlangsung atau tidak. Yang jelas awan-awan terus berkumpul menghitam di atas langit Istana, krisis akan cepat mencekik Riyadh.
Baca juga: AS dan Arab Saudi Adakan Latihan Bersama Untuk Simulasi Perang di Permukaan laut