Purna Warta – Agresi koalisi Saudi ke Yaman akan memasuki umur ke 7. Saudi dengan beberapa Arab lainnya dan Barat memulai agresi dari tahun 2016 dengan tujuan meruntuhkan revolusi demonstran dan menghancurkan upaya gerakan perlawanan rakyat demi menancapkan semua kepentingannya.
Inggris, Prancis, Amerika dan Jerman adalah sebagian negara yang menyokong senjata Saudi sebagai bentuk dukungan menundukkan gerakan resistensi kerakyatan Ansarullah. Dukungan terus mengalir meskipun dunia HAM teriak-teriak rudal yang hanya membunuh sipil dan menghancurkan konstruksi. 17 ribu sipil tewas dan lebih dari 26 ribu luka-luka, ditambah lagi kelaparan, kesehatan dan ekonomi yang terus merosot.
YNP menganalisa siasat baru yang mungkin diambil oleh pihak-pihak Arab-Barat koalisi Saudi untuk menekan dan lari dari tanggung jawab kerugian yang harus dibayar.
YNP mengamati, “Ketika perang Yaman akan memasuki tahun ke 7, (akhirnya) dunia internasional, khususnya pendukung perang, baru yakin bahwa kelanjutan perang tidak berguna. Negara-negara besar pendukung perang dan perundingan telah mengklik satu tombol bahwa Saudi harus membayar kerugian yang mungkin menjadi faktor akhir perang.”
“Pada tanggal 26 Maret 2021, Yaman secara resmi akan melewati perang dan blokade sistematik di bawah pimpinan Saudi, Emirat, Amerika dan Inggris selama 6 tahun. Sanaa akan memasuki periode baru perang yang arahnya sangat menguntungkan al-Houthi. Satu gerakan yang memulai aksinya demi menciptakan satu balance untuk bertahan. Ini adalah satu bukti bahwa kekuatan Sanaa akan segera mengangkat bendera kemenangan di tahun ini, yang selama ini hanya berupa impian,” tambahnya menganalisa.
Analis Yemen News Portal (YNP) menegaskan, 2/3, “Hari ini Saudi tidak lagi berani membalas serangan udara Ansarullah Yaman ke wilayah dalam Saudi. Padahal belum lama ini, Saudi masih mengontrol langit Yaman selama bertahun-tahun sebelum akhirnya Abdrabbuh Mansur Hadi lari dari Sanaa.”
Menurut pengamatan analis surat kabar Yaman ini, ketakutan Arab Saudi bukan dikarenakan tekanan internasional ataupun pelanggaran atas HAM. Karena negara-negara ini selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa semua hal ini tidaklah penting. Tidak ada beda apakah rudal menghantam sipil atau tidak.
“Faktor tidak adanya balasan Saudi adalah kesadaran mereka bahwa setiap aksi baru melawan Ansarullah dan pemerintah penyelamatan nasional Yaman akan berakhir buruk,” jelasnya.
YNP juga menambahkan bahwa peningkatan operasi di Ma’rib tidak akan menyelamatkan keruntuhan markas terakhir Riyadh di utara Yaman. Padahal Ma’rib adalah kartu as sebelum terselenggaranya perundingan apapun.
“Mengenai Ma’rib harus dikatakan bahwa provinsi serta kota Ma’rib telah membuka pintu manuver besar-besaran di semua penjuru. Perubahan peta ini meyakinkan dunia internasional bahwa Ma’rib segera jadi milik al-Houthi,” tambah analis YNP.
Fakta ini, menurut pengamatan YNP, telah memaksa sekutu Saudi untuk melaksanakan satu perundingan politik demi menyelamatkan serta mempertahankan semua daerah kontrol koalisi di wilayah selatan dan timur Yaman. “Hal ini bisa dilihat dari lagak akhir Amerika dan Inggris,” jelasnya.
“Inggris, si pemimpi menjajah selatan Yaman seperti dulu, menegaskan keinginannya untuk berunding dengan al-Houthi via media dan lisan petinggi selatan Yaman, terkhusus Aidarus al-Zoubaidi, kepala Dewan Transisi Selatan Yaman yang juga terafiliasi dengan Emirat. Ini adalah lampu hijau Inggris akan pelepasan Ma’rib sebagai daerah kontrol. Tapi di saat yang sama, Inggris menekankan pembentukan dua negara di selatan dan utara (yaitu separasi Yaman menjadi dua negara, utara dan selatan).
Terakhir, kepala Dewan Transisi Selatan Yaman, al-Zoubaidi menjelaskan kepada surat kabar Inggris, The Guardian bahwa dirinya sangat menginginkan bantuan Joe Biden, Presiden AS untuk memecah Yaman.
“Referendum separasi selatan Yaman dari utara akan mendapatkan dukungan 90% suara warga-warga provinsi selatan. Referendum ini ini harus dilaksanakan hanya di bagian selatan dan warga utara Yaman tidak boleh ikut (referendum),” jelas Aidarus al-Zoubaidi dengan mendasarkan klaimnya pada kasus Brexit (Britain Exit) yang tidak mengikutsertakan Eropa di referendum.
Aidarus al-Zoubaidi mendapatkan dukungan pula dari Emirat. Sebelumnya, dia juga menyambut normalisasi sebagian negara Arab dengan Israel.
Dalam wawancara dengan Russia al-Youm, al-Zoubaidi menjelaskan, “Jika kami memiliki negara dengan ibukota Aden, maka kami akan memiliki hak untuk menormalkan kerjasama dengan Israel. Ini adalah hak satu kedaulatan.”
Aidarus al-Zoubaidi melakukan kunjungan ke Rusia beberapa pekan lalu. Dalam kesempatan itu, dia juga menegaskan urgensi separasi Yaman dan pembentukan negara selatan. Maksud kepala Dewan Transisi Selatan Yaman ini adalah pemerintahan Demokrasi Arab Yaman, yang pernah ada dari tahun 1967 hingga 1990 dan setelahnya bersatu dengan pemerintahan Arab Yaman.
“Editor siasat pecah belah Yaman ini bukan hanya Inggris. Akan tetapi Amerika, sebagai pendukung yang berusaha mengentas Saudi dari rawa Yaman, juga menganggap (perang) sudah berakhir,” hemat analis YNP.
RAND, think tank AS yang banyak bergelut dengan peta politik luar negeri Washington, dalam analisa terakhirnya menjelaskan bahwa dua opsi untuk mencapai jalan keluar Yaman: perdamaian nasional atau pembentukan dua negara.
“Ini bukanlah tekanan AS dan Inggris kepada Saudi, tapi ini adalah buah fakta yang ditanam oleh al-Houthi. Satu hasil yang tidak kurang dari sebuah kemerdekaan, pertahanan persatuan, stabilitas dan kedaulatan Yaman,” jelas YNP.
Baca juga: Mantan Wakil PBB di Yaman Bongkar Rahasia di Balik Perang