Sejauh Mana Mimpi Kebangkitan Turki Usmani Terwujud?

Purna Warta – Sejak 29 Oktober 1923 hingga hari ini, para pemimpin Turki, dari Ataturk hingga Erdogan, selalu bermimpi untuk dapat untuk memastikan kelangsungan dan kemajuan warisan-warisan Kekaisaran Usmani (Ottoman).

Sejak Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)-nya berkuasa, strategi kebijakan luar negeri Turki lebih terfokus pada Timur Tengah. Turki berhadap dapat menjadi hegemon kawasan tersebut.

Situasi internal Turki, perombakan dan perpecahan internal partai, kudeta, dan di sisi lain perubahan dan perkembangan signifikan dalam politik dan sosial Timur Tengah pasca perang dingin, khususnya fenomena Arab Spring, telah mendorong para petinggi partai AKP untuk mengaktualkan ajaran-ajaran teoritis dan impian mereka itu.

Sementara itu, kebijakan pro-Barat Kemalis (warisan pemikiran pendiri negara Turki modern) telah terpinggirkan dalam beberapa tahun terakhir dan digantikan oleh neo-Ottomanisme dalam kebijakan luar negeri Turki. Hasilnya, Turki jauh lebih berfokus pada Timur Tengah dan negara-negara tetangga dan pembenaran untuk campur tangan dalam urusan internal negara-negara tersebut.

Faktor lain yang berpengaruh dalam pendekatan Erdogan adalah visi Turki 2023. Untuk mencapai visi tersebut, Turki membutuhkan sumber daya ekonomi dan energi yang jauh lebih besar. Kebutuhan besar tersebut mewajibkan Turki untuk hadir secara nyata di negara-negara kawasan, terutama Suriah, Libya dan Irak.

Turki dalam proses sejarah

Kisah Turki kontemporer dimulai pada tahun 2002, ketika AKP berkuasa. Partai, yang dipimpin oleh Recep Tayyip Erdogan dan dengan pola pikir Ahmet Davutoglu, pada awalnya dirancang untuk membawa Turki ke posisi idealnya dengan berasaskan pemikiran sekularisme, demokrasi, dan pasar bebas. Posisi ideal Turki dijelaskan dalam pernyataan para pemimpinnya dan lebih koheren dalam visi Turki 2023: Visi yang hasilnya akan menjadi kebanggaan bagi para pemimpin warisan Turki Usmani pada 100 tahun pendirian Turki Modern. Menurut visi ini, Turki harus mencapai tujuan berikut pada tahun 2023:

1- Menjadi salah satu dari sepuluh kekuatan ekonomi terbesar di dunia

2- Memiliki produksi kotor 2 ribu miliar Dolar

3- Memiliki kebijakan luar negeri yang terdepan dan inovatif

4- Memiliki daya saing tinggi di kancah internasional

5- Mensistematiskan hubungan luar negeri dan keamanannya. Dalam hal ini, bergabung dengan Uni Eropa dan berperan aktif di kawasan menjadi prioritas utama.

Untuk mencapai tujuan yang digambarkan dalam Visi 2023, Turki telah mengambil banyak langkah dan menguji prosedur yang berbeda dan terkadang bertentangan. Apa yang terlihat jelas dalam semua tindakan proses sejarah Turki adalah bahwa Turki secara relatif menginggalkan ajaran-ajaran Pro-Barat Kemalis dan fokus pada regionalisme Neo-Ottoman. Perhatian terhadap Timur Tengah dan Afrika Utara serta pemetaan aktif di kawasan juga membuktikan klaim ini.

Partai AKP pertama-tama mengejar kebijakan luar negerinya dengan cara mereformasi dan menormalkan hubungan dengan sejumlah pihak luar negeri.

Antara 2005 dan 2010, Turki telah mengembangkan hubungan dengan banyak negara, serta reformasi seperti penghapusan hukuman mati sehingga membuka jalan bagi Turki untuk dapat bergabung dengan Uni Eropa.

Dalam bukunya, “Strategic Depth,” Menteri Luar Negeri Turki saat itu, Davutoglu, menguraikan lima prinsip utama untuk kebijakan luar negeri Turki:

1- Upaya untuk membangun lingkup pengaruh Turki melalui perluasan keamanan dan demokrasi

2- Meniadakan masalah dengan negara tetangga

3- Mempromosikan dan memperkuat hubungan politik, ekonomi dan budaya dengan negara-negara tetangga dan sekitarnya

4- Mengadopsi strategi multilateralisme dalam kebijakan luar negeri;

5- Diplomasi cerdas

Mesir

Arab Spring adalah kesempatan bagi Turki untuk menguji prinsip-prinsip kebijakan luar negerinya dan mengembangkan kekuatan lunaknya di wilayah tersebut. Mimpi neo-Ottoman para pemimpin Turki terwujud pertama kali di Mesir. Mohamed Morsi dari kubu Ikhwanul Muslimin sempat berkuasa di Mesir, sebuah partai yang didukung oleh Partai AKP. Ini adalah awal kemenangan Turki di negara-negara Arab di Timur Tengah.

Suriah

Setelah Mesir, giliran Suriah. Di Suriah, Turki berusaha menjadikan orang-orang Ikhwanul Muslimin untuk mengambil kekuasaan di Suriah dan menggusur posisi Partai Ba’ath yang dipimpin oleh Bashar al-Assad. Turki gencar berbicara tentang penggulingan Assad dalam beberapa bulan di awal-awal krisis Suriah. Pengalaman baik yang diraih di Mesir, bagaimanapun, tidak terulang di Suriah, dan Suriah menjadi kebuntuan strategis bagi Turki. Pada tahun 2011, Erdogan menyerukan intervensi militer NATO di Suriah, dan Amerika Serikat yang juga petinggi NATO bukannya memenuhi permintaan Turki, tetapi malah mendukung Kurdi Suriah di kota Kobani, yang notabene merupakan ancaman nyata bagi Turki. Mungkin peristiwa tahun-tahun ini di Suriah dapat dianggap sebagai awal dari pergantian kebijakan luar negeri Turki.

Pada 2012, Turki secara terbuka mendukung Jabhat al-Nusra dan kelompok-kelompok pemberontak anti-Assad, dan mengubah strateginya dari “ketegangan nol dengan tetangganya” menjadi “ketegangan belaka.” Krisis Suriah di tahun-tahun berikutnya juga membuat arena menjadi lebih sulit bagi Turki. Antara 2013 dan 205, Kurdi di Suriah utara membentuk wilayah Rojava di perbatasan Turki. Unit Pertahanan Rakyat (YPG) berhasil membebaskan kota Tel Abyad dekat perbatasan Turki dari ISIS dan menetap di sana. Rusia, atas permintaan Assad juga berperang melawan para musuh Assad dan membuatnya meraih kemenangan besar setelah sebelumnya banyak kota telah direbut oleh para pemberontak. Lagi-lagi Turki meraih kegagaln.

Turki menghadapi kudeta pada tahun 2016. Karenanya, Turki dilanda krisis lebih besar daripada sebelumnya. Sekitar setahun kemudian, Turki meluncurkan serangkaian operasi militer di Suriah utara yang mereka sebut sebagai perang untuk melawan ISIS. Serangan tersebut mengakibatkan perpecahan lebih lanjut dengan Amerika Serikat. Komitmen Turki sebagai negara yang berkomitmen pada standar hak asasi manusia juga semakin dipertanyakan karena meningkatnya tindakan represi yang dilakukannya. Hal ini menyebabkan pembicaraan soal aksesi ke Uni Eropa dihentikan dan meninggalkan mimpi Turki lainnya dalam kabut ambiguitas seperti di masa lalu.

Selama tahun-tahun ini, Turki harus tetap bersama Rusia untuk mempertahankan perannya di kawasan dan mengambil bagian aktif dalam pembicaraan Astana dan Sochi dengan Iran dan Rusia. Namun, Turki melanggar semua ketentuan perjanjian Astana dan Sochi dengan operasi militernya pada tahun-tahun setelah Operasi Perisai Efrat pada 2016 dan 2017, Operasi Ranting Zaitun pada 2018, dan Operasi Musim Semi Perdamaian pada 2019. Kehadiran militer Turki di Suriah, terutama dalam beberapa tahun terakhir, lebih karena negara itu ingin mengambil bagian dalam krisis yang dianggap telah membuatnya menderita banyak kerugian. Turki bermaksud untuk membangun zona penyangga di timur laut Suriah untuk menyingkirkan militan Kurdi dari perbatasannya dan menciptakan lingkungan untuk menampung sekitar 2 juta pengungsi Suriah yang ditempatkan di Turki. Kehadiran sumber daya minyak yang sangat besar di timur laut Suriah, terutama di Hasakah dan Deir ez-Zor, adalah masalah lain yang membenarkan kehadiran Turki di wilayah tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *