oleh: Ismail Amin
Tehran, Purna Warta – Sejak mengubah haluan negara dan menjadi Republik Islam, Iran tampil menjadi negara yang paling keras menentang eksistensi Israel di jantung Timur Tengah. Kehadiran Republik Islam Iran (RII) dalam penentangannya terhadap Israel ibarat oase ditengah gersangnya gagasan bangsa Arab dalam menghentikan makin kuatnya cengkraman rezim Zionis itu pada wilayah Palestina. Terlebih lagi saat itu, baru sebulan dari kemenangan revolusi Islam Iran oleh Imam Khomeini, pada tanggal 25 Maret 1979 Presiden Mesir Anwar Sadat menandatangani perjanjian damai dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin di Camp David, tempat peristirahatan Presiden Amerika Serikat di Maryland. Dalam perjanjian itu, Mesir secara resmi mengakui Israel setelah 30 tahun menolak kehadirannya lewat empat perang besar. Sebagai negara yang kuat posisinya, dengan didepaknya Mesir dari Liga Arab karena perjanjian itu, membuat Liga Arab kehilangan taringnya untuk bisa tetap garang di depan Israel.
Baca Juga : Peserta Pawai Hari Quds Internasional di Inggris Bakar Bendera Israel
Perjanjian damai itu adalah hantaman keras terhadap pernyataan perlawanan Imam Khomeini pada sebulan sebelumnya yang disampaikan secara terbuka di hadapan dunia. Menyusul kemenangan Revolusi Islam Iran pada 11 Februari 1979, hanya berselang enam hari setelah itu, Imam Khomeini mengundang Yasser Arafat pemimpin milisi Fatah dan PLO untuk ke Iran. Arafat adalah tamu negara pertama RII yang disambut gempita rakyat revolusioner Iran. Sebagai kepala otoritas Palestina, Imam Khomeni meminta Arafat menyaksikan langsung peresmian kantor kedutaan Palestina di Teheran dan menerima kuncinya. Gedung yang sebelumnya adalah kantor konsulat Israel tersebut menjadi kantor kedutaan Palestina pertama di dunia. Jadi Iran adalah negara pertama yang membuka kantor kedutaan Palestina. Itu adalah deklarasi terang-terangan Iran mendukung pembebasan dan kemerdekaan Palestina sekaligus memproklamirkan Republik Islam Iran yang baru terbentuk itu anti Zionisme Israel. Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama pula, Imam Khomeini mendeklarasikan Yaumul Quds. Yaumul Quds yang kemudian dikenal dengan Hari Alquds Internasional yang ditetapkan Imam Khomeini untuk dirayakan setiap Jumat terakhir Ramadhan tersebut adalah hari bersatunya umat Islam dengan turun ke jalan menyuarakan pembebasan Palestina, pembelaan pada Alquds dan penentangan pada Zionis Israel.
Semua mengira, hubungan Iran-Palestina melalui Khomeini-Arafat akan terus mesra, sekaligus memuluskan proyek pembebasan Palestina setelah sebelumnya Iran di bawah Syah Pahlevi adalah pendukung eksistensi Israel. Terlebih lagi orasi Arafat di hadapan ribuan rakyat revolusioner Iran yang menyambutnya di Teheran, 17 Februari 1979. Dia berkata, “Hari ini adalah salah satu hari besar kemenangan dunia Islam. Revolusi Iran adalah kemenangan besar bagi Palestina. Ketika saya memasuki wilayah udara Teheran, saya merasa memasuki wilayah udara Al-Quds. Iran dan Imam Khomeini telah menunjukkan bahwa bangsa kita (muslim) tidak akan pernah menyerah. Rakyat Iran telah mendobrak pagar yang telah membatasi kami sehingga revolusi besar anda ini menjamin kemenangan kami. Kami menganggap Imam Khomeini adalah pemimpin dan imam tertinggi kami. Kemenangan sebentar lagi tiba. Semakin gelap, menunjukkan semakin dekat datangnya pagi, dan kami telah melihat ufuk kemenangan dengan revolusi Iran.”
Baca Juga : Sikapi Kejahatan Terbaru Zionis, IPI Iran Serukan Dukungan pada Palestina
Tapi siapa sangka, Iran baru di bawah para Mullah yang membawa semangat kebangkitan Islam, justru dikhianati bangsa-bangsa Arab. Praktis hanya Suriah yang membela ketika Saddam Husain melancarkan operasi militer menyerang perbatasan Iran pada September 1980 dan memborbardirnya sampai 8 tahun. Tidak terkecuali Yasser Arafat. Tokoh yang sebelumnya memuji-muji Imam Khomeini dan percaya kemenangan revolusi Iran adalah jalan pembebasan Palestina justru memilih berada di pihak Saddam dalam Perang Irak-Iran. Pengkhianatan Arafat berlanjut dengan menerima perdamaian dengan Israel pada tahun 1988 dan mengakui hak Israel untuk hidup dalam kedamaian dan keamanan sesuai Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB. Sementara Iran masih terus berjalan di garis perjuangan Imam Khomeini yang menyebut, “Revolusi Islam Iran belum tuntas sebelum rezim Zionis hancur.”
Mengapa Republik Islam Iran Anti Zionis?
Pertanyaan yang muncul, mengapa RII memilih jalan menentang eksistensi israel? Apa keuntungan yang didapat? Sebab sebagai republik baru mestinya Iran lebih dulu menyibukkan diri membenahi politik internal dan membangun pondasi dasar negara yang lebih kuat, bukannya mencari musuh dengan menolak Israel yang dibeking kekuatan arogansi dunia: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Berikut ini, sejumlah faktor yang disebut berkontribusi pada pembentukan sikap keras Iran terhadap Zionisme:
Baca Juga : Terkait Kecaman pada Rusia, Kemenlu Rusia Panggil Dubes Rezim Zionis
Faktor Ideologis
Dengan berpedoman pada Al-Qur’an, RII merasa berkewajiban memberikan pembelaan pada kelompok yang tertindas. Salah satu ajaran Al-Qur’an adalah bahwa umat Islam dapat terlibat dalam perjuangan bersenjata jika mereka diusir dari rumah mereka (Surat Al-Hajj, ayat 39 dan 40). Satu problema serius dalam krisis Palestina adalah masalah pengungsi Palestina yang ditolak haknya untuk kembali. Menurut PBB, pengungsi Palestina adalah mereka yang kehilangan rumah dan kebutuhan mereka antara 1 Juni 1946 dan 15 Mei 1948. PBB memperkirakan bahwa sekitar 5 juta orang Palestina sampai sekarang hidup dalam situasi ini. Dengan kondisi Palestina menjadi bangsa yang tertindas dan terlebih lagi sesama muslim, Iran terpanggil untuk berada di garis terdepan membela Palestina dan berdiri menentang rezim Zionis yang menjadi akar kesengsaraan rakyat Palestina.
Faktor Agama
Faktor kedua yang menyebabkan Republik Islam Iran terus-menerus memusuhi Israel adalah pendudukan seluruh Yerusalem dan proklamasinya sebagai ibu kota oleh Israel. Yerusalem atau Al-Quds adalah tanah yang disakralkan oleh masing-masing agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Tempat ini sangat penting bagi umat Islam karena keberadaan Masjidil Aqsha, yang merupakan kiblat pertama umat Islam sebelum Kakbah. Dikuasainya Yerusalem secara sepihak oleh rezim Zionis dengan tindak tanduk yang menginjak-injak kesucian Masjidil Aqsha, menjadi faktor perlunya Iran mengaggas proyek pembebasan Al-Quds.
Baca Juga : Kemenhan Rusia Laporkan Keberhasilan Puluhan Target di Ukraina
Faktor sejarah
Selama rezim Pahlevi, Tehran-Tel Aviv memiliki hubungan yang mesra. Shah yang secara ambisius ingin memodernisasi Iran mendapat perlawanan dan protes keras dari kelompok konservatif dari kalangan Islamis. Rumor yang tidak bisa dibantah, SAVAK badan intelijen dan keamanan Iran bekerjasama dengan Mossad, badan intelijen Israel. Bahkan dokumen dari The Library of Congress menyebutkan SAVAK yang dibentuk pada 1957 menjalankan setiap operasinya di bawah pengawasan perwira intelijen Israel dan AS. Kerjasama militer AS-Israel dengan Iran pulalah yang membuat militer Iran paling mengerikan kelima di dunia.
Kedekatan Israel dengan Iran dikecam keras Imam Khomeini melalui orasinya pada 3 Juni 1963. Orasi itu memicu kerusuhan dua hari setelahnya yang menelan banyak korban jiwa di Qom akibat kekerasan yang dilakukan aparat. Imam Khomeini kemudian ditahan dan mendapatkan hukuman pengasingan ke luar negeri. Banyak ahli menyebut insiden 5 Juni 1963 itu sebagai awal aksi gelombang revolusioner yang 15 tahun kemudian menyebabkan penggulingan sistem kekaisaran di Iran. Penggulingan itu terang merugikan Israel. Dengan demikian, ketika Republik Islam terbentuk, benih-benih kebencian telah ditaburkan di antara Iran dan Israel. Bagi Imam Khomeini dan pengikutnya, Israel yang berperan dalam kuat dan mengerikannya kesatuan militer dan intelijen Pahlevi justru membawa bencana bagi Iran dan memakan korban dari rakyat.
Imam Khomeini sendiri pernah mengatakan kemesraan Shah dengan Israel adalah salah satu motif pemberontakannya. Dia berkata, “Saya selalu mengatakan dalam ceramah saya bahwa Shah bekerja untuk kepentingan Israel sejak berdirinya. Dan ketika perang antara Israel dan kaum Muslim mencapai puncaknya, Shah malah merampas minyak kaum Muslim Iran dan memberikannya kepada Israel. Ini telah menjadi salah satu faktor dalam penentangan saya terhadap Shah. “(Shahifah Imam, jld. 5, hlm. 187).
Baca Juga : Perwakilan Yahudi Iran Serukan Boikot Terhadap Rezim Zionis
Faktor Psikososial
Dalam pandangan Imam Khomeini, salah satu tujuan Revolusi Islam yang sering dia suarakan adalah kebangkitan dunia Islam. Kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari 1967 menjadi simbol kekalahan dunia Islam secara umum. Sehingga kebijakan-kebijakan repressif Israel terhadap Palestina tanpa ada lagi yang bisa menghalangi, melukai perasaan umat Islam. Tentu saja, Iran yang melabeli negaranya dengan nama Islam dan dipimpin dewan ulama memiliki beban taklif untuk terus menggelorakan sikap penentangan pada Zionis tanpa kata menyerah.
Faktor Politik
Sejumlah ahli percaya bahwa eskalasi permusuhan Iran terhadap Israel memiliki alasan politik. Bagi Imam Khomeini pembentukan rezim penjajah Al-Quds adalah sebuah gerakan besar yang dilakukan oleh kekuatan opresor dunia melawan dunia Islam. Dukungan AS yang luas untuk Israel merupakan bukti kebenaran analisa Imam Khomeini tersebut. Iran percaya bahwa eksistensi Israel yang semakin kokoh karena dukungan AS. Sehingga menjadi keniscayaan bagi RII untuk juga garang pada AS. Imam Khomeini menyebut keberadaan pemerintahan ilegal Zonis merupakan meeting point dari semua kekacauan yang terjadi di Timur Tengah. Sebuah rezim yang dicangkokkan paksa di jantung kawasan itu telah melahirkan prahara yang tidak berkesudahan bagi negara-negara Islam di kawasan.
Baca Juga : Departemen Luar Negeri AS: Iran Belum Ambil Langkah Membuat Senjata Nuklir
Selain bantuan senjata dan finansial, AS juga bertindak sebagai perisai bagi Israel di meja perundingan internasional. Misalnya, setiap Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk memberi sanksi pada Israel karena kejahatan perang yang dilakukannya atas Palestina, AS selalu menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi itu.
Dari faktor-faktor yang telah disebutkan, permusuhan Iran terhadap Israel memiliki akar ideologis, historis dan psikososial dan bukan merupakan rekayasa, sekedar agar Iran mendapat simpatik dan dukungan luas dari publik muslim untuk menjadi pemimpin di dunia Islam. Selama perjuangannya melawan rezim kekaisaran, Imam Khomeini selalu menekankan bahwa Israel adalah bibit korupsi yang tumbuh di tanah Islam dan berusaha menghancurkan Islam. Ia menyampaikan ancaman Israel terhadap dunia Islam dengan sangat serius dan konsisten. Imam Khomeini adalah pemimpin dan otoritas agama pertama yang mengeluarkan izin untuk mendukung pejuang Palestina dari harta baitul mal. Pembentukan Brigade Al-Quds, pasukan elit khusus yang ditugaskan membebaskan Al-Quds adalah bentuk keseriusan lainnya dari Imam Khomeini terkait Palestina.
Baca Juga : Apa Pesan Rudal dari Selatan Lebanon ke Israel?
Dalam sebuah wawancara dengan koresponden Timur Tengah pada bulan-bulan menjelang revolusi, Imam Khomeini mengatakan bahwa salah satu alasan pemberontakan Muslim Iran melawan Shah adalah dukungan Shah yang tak tergoyahkan untuk rezim penjajah Israel yang telah merebut tanah Palestina. “Kami selalu menentang Shah dan Israel dalam kaitannya dengan perjuangan Palestina. Kami tidak akan berhenti sampai Israel dihancurkan.” (Shahifah Imam, jld. 3, hlm. 186).
*Dimuat pertama kali di Majalah Syiar edisi Maret-April 2022