Satu Tahun Setelah Badai Al-Aqsa: 5 Kerugian yang Dialami Israel

Satu Tahun Setelah Badai Al-Aqsa 5 Kerugian yang Dialami Israel

Purna Warta – Badai Al-Aqsa dapat dianggap sebagai kekalahan intelijen dan militer terbesar rezim Zionis sejak pendirian rezim tersebut, yang telah membawa dampak negatif dan kerugian yang signifikan dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.

Meskipun tujuan dan dampak utama Badai Al-Aqsa berada dalam ranah politik-keamanan, operasi ini juga menimbulkan konsekuensi ekonomi yang merugikan bagi rezim tersebut. Beberapa dampak Badai Al-Aqsa bagi rezim Zionis dalam bidang ekonomi adalah sebagai berikut:

1. Biaya Militer yang Sangat Besar

Bank Sentral Israel memperkirakan biaya perang Gaza dan Lebanon mencapai 66 miliar dolar AS, yang setara dengan 12 persen dari produk domestik bruto (PDB) rezim tersebut. Perkiraan ini terpisah dari anggaran militer reguler dan biaya tambahan perang yang diakibatkan oleh pemukiman penduduk dan biaya medis, serta lainnya.

Berdasarkan sebuah laporan, perang di Gaza telah menjadi perang termahal dalam sejarah modern rezim Zionis.

2. Pengungsian Pemukim dan Penurunan Investasi serta Pariwisata

Menurut data dari Kementerian Pariwisata rezim Zionis, sejak dimulainya perang, lebih dari 68 ribu pemukim di daerah utara) telah mengungsi, dengan sekitar 16 ribu di antaranya ditempatkan di hotel. Rezim ini telah menghabiskan sekitar 10 miliar dolar AS untuk menampung pemukim ini dan kehilangan pendapatan pajak sebesar 9 miliar dolar AS.

Biaya langsung dari kerugian akibat perang diperkirakan mencapai 6 miliar dolar AS. Sektor pariwisata juga mengalami kerugian sekitar 5,25 miliar dolar AS.

3. Produk Domestik Bruto (PDB) dan Kenaikan Pajak

Meskipun PDB tidak banyak berubah sejak dimulainya perang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, hal ini lebih disebabkan oleh tingginya pengeluaran untuk kebutuhan militer dan rekonstruksi pasca-perang. Kondisi ini bukan hanya tidak memberikan dampak positif, tetapi justru memicu kenaikan pajak dan menambah tekanan besar pada perusahaan-perusahaan swasta.

4. Pertumbuhan Defisit Anggaran

Setelah Badai Al-Aqsa, defisit anggaran Israel mencapai rekor 8,3% dari PDB (sekitar 43 miliar dolar AS) pada akhir Agustus 2024, dibandingkan dengan 12 bulan sebelumnya. Angka ini pada akhir tahun 2023, tiga bulan setelah perang dimulai, adalah 4,2 persen dari PDB.

5. Peningkatan Migrasi

Menurut data resmi rezim Zionis pada tahun 2023, sekitar 55.300 orang meninggalkan Palestina yang diduduki secara permanen, meskipun sekitar 27 ribu orang kembali atau bermigrasi ke Palestina.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2022, sekitar 38.000 orang Israel bermigrasi, dengan 23.000 orang bermigrasi ke Palestina yang diduduki.

Pada tujuh bulan pertama tahun 2024, ketika perang dengan Hizbullah belum dimulai, lebih dari 40 ribu orang meninggalkan Palestina yang diduduki, dan diperkirakan angka ini akan mencapai lebih dari 69 ribu orang pada akhir tahun.

Meskipun angka ini berasal dari data yang dikonfirmasi oleh rezim Zionis dan hanya mencakup mereka yang secara resmi menyatakan niat untuk meninggalkan Palestina yang diduduki, estimasi tidak resmi memperkirakan bahwa jumlah migrasi bisa mencapai hampir satu juta orang.

Menurut studi dari Pusat Warisan “Begin,” 59% orang Yahudi mencari informasi tentang cara mendapatkan kewarganegaraan asing, dan 78% keluarga mendukung anak-anak mereka yang lebih muda untuk pergi ke luar negeri.

6. Penutupan Perusahaan dan Pelarian Modal

Selain itu, sekitar 40 ribu perusahaan Israel tutup setelah perang dimulai, dan diperkirakan jumlah ini akan mencapai 60 ribu perusahaan pada akhir tahun.

Menurut surat kabar Ibrani “Catalyst,” sejak 7 Oktober 2023, investor institusional telah menarik dana sebesar 40 miliar dolar AS dari wilayah pendudukan. Dalam hal ini, rencana rezim untuk menjadi pusat teknologi mengalami kerugian besar, dengan investasi di sektor teknologi pada tahun 2023 turun sebesar 55%.

Dalam sebuah survei, lebih dari 80% dari 507 perusahaan teknologi tinggi Israel melaporkan mengalami kerugian akibat perang. Pengurangan tenaga kerja di sektor ini, yang menyumbang 14% dari lapangan kerja rezim, berdampak pada kemampuan mereka untuk terus beroperasi dan mengurangi daya tarik investasi asing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *