Purna Warta – Keberadaan wartawan atau jurnalis memiliki peran penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan menegaskan hak asasi manusia, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan seimbang. Untuk mendapatkan informasi yang tepat dan akurat, jurnalis kerap kali diharuskan untuk terjun langsung ke lapangan untuk mengungkap fakta dan peristiwa secara langsung.
Sehingga dibutuhkan seorang jurnalis yang berani bertindak dalam menghadapi resiko-resiko besar yang mungkin saja akan mengancam jiwanya. Begitu pula terhadap jurnalis perang yang berada atau ikut serta dalam medan pertempuran yang nantinya mungkin akan menemui berbagai rintangan yang tidak diduga sama sekali.
Baca Juga : Bagaimana Media Barat Mensucikan Bercak Dosa di Perang Ukraina?
Dengan adanya kemajuan teknologi informasi di era saat ini, semua orang dianggap selalu butuh informasi setiap saat dari berbagai sudut di dunia. Oleh karena itu, setiap negara di dunia seolah berlomba-lomba untuk memberitakan berbagai hal yang terjadi, baik secara regional, nasional maupun internasional, termasuk pemberitaan tentang terjadinya suatu konflik dan perang. Setiap terjadinya suatu konflik, beberapa negara di dunia akan mengirim para jurnalis pilihan mereka ke daerah konflik tersebut untuk memberikan informasi yang berkualitas berdasarkan fakta-fakta obyektif dengan kualitas berita yang lebih menarik dan lebih cepat untuk dapat disampaikan kepada masyarakat maka jurnalis diperlukan terjun langsung ke daerah konflik tersebut.
Berita dan artikel dalam peperangan yang ditulis oleh jurnalis berisi tentang perincian menit dan peristiwa yang terjadi dalam peperangan seperti lokasi geografis di mana mereka berada yang menggambarkan tentang penderitaan setiap tentara yang gugur dalam peperangan dan kematian orang-orang yang tidak bersalah. Dengan kata lain, jurnallis dalam peperangan telah menjadi mata dan telinga bagi masyarakat di seluruh dunia. Peran jurnalis yang melaksanakan tugasnya di daerah konflik bukanlah tanpa adanya resiko, bukan rahasia umum bila pekerjaan di daerah konflik seperti pekerjaan jurnalis akan mengancam nyawa dan jiwa mereka. Bahkan kerap kali jurnalis yang sedang bekerja di daerah konflik harus mengalami berbagai pelanggaran HAM seperti luka-luka, menjadi tawanan perang, bahkan meninggal dunia di daerah konflik.
Baca Juga : Eks Konsultan Trump: Setelah 41 Tahun Telaah, Saya Sadar Iran Menang
Baru-baru ini Pasukan Pertahanan Israel (IDF) diklaim sebagai penyebab jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, meninggal dunia. Abu Akleh tewas tertembak saat meliput operasi militer Israel di Kota Jenin, Tepi Barat, Rabu (11/5). Tewasnya Jurnalis Al Jazeera memicu kecaman masyarakat internasional, termasuk dari Indonesia. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menanggapi soal tewasnya jurnalis Al Jazeera lantaran ditembak oleh pasukan Israel. Ia mengatakan bahwa pembunuhan jurnalis Al Jazeera Shireen Abu Akleh oleh pasukan Israel itu merupakan tindakan yang sangat keji dan melanggar hukum humaniter internasional.
“Ini kejahatan yang sangat keji dan jelas-jelas melanggar hukum humaniter internasional. Setiap insan pers yang bertugas dan apalagi sudah menggunakan identitas pers, tidak boleh menjadi sasaran kekerasan oleh pihak mana pun,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (12/5).
Sukamta mengatakan peristiwa penembakan itu ada unsur kesengajaan untuk melakukan pembunuhan terhadap wartawan sebagai upaya untuk menutupi fakta-fakta kejahatan yang dilakukan oleh tentara Zionis di wilayah pendudukan Tepi Barat.
“Upaya yang sama juga pernah dilakukan oleh tentara Israel dengan melakukan pengeboman terhadap kantor Al Jazeera di Jalur Gaza yang juga menampung wartawan Associated Press (AP),” kata dia.
Baca Juga : Iran Siap Produksi dan Tukar Ilmu Drone dengan Negara Sahabat
Setelah mengungkapkan pentingnya keberadaan wartawan di daerah konflik namun keberadaan wartawan di daerah konflik justru beresiko tinggi dan mengancam nyawa bahkan mengalami pelanggaran HAM, maka dapat terlihat bahwa diperlukan adanya perlindungan bagi wartawan yang melaksanakan tugasnya di daerah konflik. Kesadaran tentang pentingnya perlindungan keberadaan jurnalis dalam daerah konflik bukan merupakan isu baru, dimana pembahasan tentang isu ini sudah berlangsung cukup lama yaitu sejak era Perang Dunia terbukti dengan terbentuknya berbagai bentuk dari perjanjian internasional yang memuat tentang perlindungan kepada jurnalis.
Perjanjian internasional tentang perlindungan terhadap wartawan termuat dalam hukum humaniter atau hukum perang yang berisi sekumpulan aturan tentang tata cara berperang dan perlindungan terhadap korban perang. Bila jurnalis berada dalam suatu wilayah yang sedang berperang atau berkonflik maka dapat dipastikan bahwa jurnalis berada dalam perlindungan hukum humaniter.
Perlindungan jurnalis dalam hukum humaniter termuat dalam berbagai perjanjian internasional yang disebut sebagai konvensi, seperti Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum-hukum Perang serta Kebiasaan Perang di Darat (Respecting the Laws and Customs of War on Land) dan Konvensi Jenewa III 1949 serta Protokol Tambahan I 1977. Dengan adanya hukum yang memberikan perlindungan terhadap jurnalis maka tindakan tentara Israel melakukan penembakan secara sengaja yang diarahkan kepada sekelompok jurnalis yang sedang melakukan tugas peliputan sebaigamana laporan saksi mata, merupakan tindakan yang melanggar hukum humaniter.
Baca Juga : Buku Pemilu Lebanon, Perhitungan Memihak Muqawamah Hizbullah
Pelanggaran dalam hukum humaniter atau disebut sebagai kejahatan perang merupakan kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi materil dari Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). ICC adalah pengadilan tetap dan independen yang dibentuk untuk melakukan penyelidikan dan mengadili setiap orang yang melakukan pelanggaran terberat terhadap hukum humaniter internasional, seperti kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, genosida dan tindakan agresi. Atas insiden tertembaknya Shireen Abu Akleh yang melanggar hukum humaniter, dapat dikatakan sudah seharusnya ICC sebagai pengadilan permanen untuk menghukum Israel.
Atas pelanggaran HAM dilakukan Israel terhadap wartawan jika terbukti, maka Israel dapat diadili oleh ICC melalui rujukan oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma 1998. Statuta Roma merupakan salah satu bentuk dari perjanjian internasional yang telah disepakati oleh negara-negara di dunia dan telah menjelma menjadi suatu hukum yang harus dipatuhi oleh negara-negara di dunia. Sebagai salah satu perjanjian yang telah menjadi hukum internasional, dalam hal ini Statuta Roma juga memiliki kekuatan yuridis dalam menegakkan keadilan dan menghukum setiap pelaku kejahatan tidak beradab yang terjadi di belahan dunia manapun, termasuk kejahatan perang yang dilakukan oleh Rezim Zionis Israel.