Revolusi Hijau Iran dan Penyesalan Obama

Obama

Purnawarta – Mantan Presiden Amerika Serikat dari partai Demokrat, Barrack Obama dalam sebuah wawancara dengan Pod Save America mengungkapkan penyesalannya terkait keputusan Gedung Putih dalam menyikapi kerusuhan Iran pada tahun 2009. Cuplikan wawancara tersebut diunggah oleh laman Twitter situs berita Inggris yang berbahasa Persia, BBC Persian pada 15 Oktober 2022. Kolom komentar cuitan tersebut diwarnai pro-kontra yang sangat menarik.

Dalam wawancaranya tersebut Obama mengatakan bahwa ada satu perdebatan luar biasa di Gedung Putih mengenai apa yang harus ia nyatakan sebagai sikap Presiden Amerika Serikat dalam menanggapi kerusuhan di Iran pada tahun 2009 dan 2010. Menurutnya, saat itu Gedung Putih dilanda kegalauan dilematis karena soal dukungan terhadap perusuh di Iran akan menjadi sangat tricky dan akan menempatkan mereka pada posisi serba salah.

Pada satu sisi, jika AS dan Obama enggan menunjukkan dukungannya secara terang-terangan, maka demonstrasi di Iran tidak akan menjadi pusat perhatian publik internasional. Hal ini akan membuat demonstrasi tersebut tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menekan pemerintah Iran yang saat itu dianggap mencurangi hasil pemilu Presiden.

Di sisi lain, jika AS dan Obama menunjukkan dukungannya secara terang-terangan, maka itu sama saja membongkar intervensi dan keberadaan AS di balik kerusuhan tersebut. Dalam istilah yang digunakan oleh Obama, dukungan terang-terangan mereka justru akan membuat “orisinalitas gerakan aktivis revolusi hijau dipertanyakan.” Obama akhirnya memilih untuk tidak mendukung perusuh di Iran secara terang-terangan dan tetap bermain di balik layar.

Setelah ia keluar dari Gedung Putih dan merefleksikan kembali kiprahnya selama menjadi orang nomor satu di AS, ia mengakui bahwa keputusannya itu salah. Ia merasa bahwa seharusnya saat itu AS perlu dengan tegas menyatakan solidaritasnya dengan para demonstran di Iran, mendukung mereka secara totalitas dan menengadahkan lampu sorot ke arah gerakan mereka di kancah komunitas internasional.

Sehingga dunia tahu apa yang sedang terjadi di Iran dan bahwa gerakan mereka diafirmasi serta didukung oleh Amerika Serikat. Dengan begitu, negara-negara yang searah, baik negara-negara ‘makmum’ atau penjilat Paman Sam akan membeo, turut menyatakan dukungannya untuk Iran dan mengecam pemerintah Iran.

Persoalan Iran hanyalah satu dari sederet penyesalan Obama selama menjabat sebagai Presiden AS. Dalam wawancaranya yang lain ia juga menyesali kebijakan politknya dalam menanggapi Libya, partisan, legalitas senjata di dalam negeri dan yang paling utama, soal intervensi Suriah. Obama menyebut kesalahannya dalam intervensi Suriah itu selalu menghantuinya hingga sekarang.

Analis berpendapat bahwa ungkapan penyesalan seperti ini hanya akan membuat dunia menyadari kebobrokan kebijakan politik Amerika Serikat dalam menyikapi berbagai persoalan, terutama dalam menghadapi Iran. Karena sejarah menunjukkan bahwa AS selalu mendukung fenomena apapun yang berpotensi meruntuhkan pemerintahan di Iran.

Pengakuan dan penyesalan Obama dalam menyikapi Iran pada tahun 2009 ini agaknya mengandung tiga poin penting:

Pertama, AS salah dalam membaca peta politik Iran, termasuk kondisi masyarakat dan pemerintahannya. Kesalahan ini membuat AS menerapkan strategi politik yang keliru dan akhirnya berujung pada kegagalan dalam menekan Republik Islam Iran.

Kedua, bisa jadi pengakuan ini justru menjadi alarm untuk memperingatkan mantan wapresnya yang sekarang jadi Presiden, Joe Biden. Obama seakan memperingatkan Biden agar tidak lengah dan luput dari mengambil momen untuk memancing di air keruh selagi kerusuhan di Iran berlangsung. Ucapan Obama seakan mengadung kode yang hendak memberitahu Biden agar ia tidak ragu untuk mendukung kerusuhan ini dengan apapun yang bisa ia dilakukan.

Ketiga, masalah elite politik Amerika dan media-media provokatif mereka adalah mereka masih menerapkan kebijakan politik yang usang dalam menghadapi Iran. Mereka juga masih belum bisa memetakan kondisi masyarakat dan pemerintah Iran sebagaimana dengan baik. Apakah para pendemo yang saat ini sedang menari-nari di jalanan Tehran dengan lagu yang dinyanyikan orang-orang peliharaan mereka sendiri seperti Masih Alinejad itu adalah mayoritas atau hanya sekelompok minoritas yang berisik? Apakah masyarakat benar-benar kehilangan dukungan dan harapannya dari Republik Islam ataukah tidak dan lain sebagainya. Semua ini pada akhirnya akan membuat Biden takkan lama lagi juga akan menjadi seperti Obama yang mengungkapkan penyesalannya setelah keluar dari Gedung Putih. Tak peduli apapun keputusan yang diambil.

Karena itu, kali ini kita menyaksikan elite politik Amerika Serikat mulai dari Joe Biden, jajaran menteri, anggota parlemen hingga artis-artisnya ramai-ramai mendukung kerusuhan di Iran dan menyatakan solidaritasnya terhadap para perusuh. Namun apakah perubahan strategi politik ini akan membuahkan hasil bagi mereka atau justru kontraproduktif dan akan berakhir sebagai bahan cerita penyesalan Biden saat ditendang dari Gedung Putih nantinya. Kita lihat saja nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *