Purna Warta – Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman menghadiri sesi wawancara dengan surat kabar al-Arabiya. Terlihat perubahan intonasi dan sastra sang Putra Mahkota mengenai negara-negara tetangga, khususnya Iran bahkan berharap menjalin relasi baik dengan negeri Para Mullah.
Reuters, surat kabar kondang asal Amerika Serikat mengupas alasan di balik perubahan aksara politik ini dan menulis, “Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Saudi, lebih menunjukkan keinginan rekonsiliasi dari pada Iran. MBS berupaya meredam tensi panasnya karena alasan balance ekonomi dan perbedaan mereka dengan Washington tentang metode menghadapi aksi Iran di regional.”
Reuters mengamati bahwa pertikaian antara Riyadh dan Tehran lebih meningkat lagi karena masalah Yaman. Ansarullah Yaman menambah serangannya di tengah upaya Saudi menarik investor asing.
Tensi yang semakin panas antara dua penguasa Timteng ini menguat pasca serangan ke sumber cuan Istana oleh gerakan resistensi Sanaa pada tahun 2019. Saudi menuduh Iran sebagai aktor di balik agresi, meskipun Tehran sudah berkali-kali menolak klaim tersebut.
Dalam wawancara yang dilaksanakan pada Selasa malam tersebut, Mohammed bin Salman menuduh aksi negatif Iran yang menjadi sumber kerisihan Riyadh. Meski demikian, MBS menegaskan bahwa dirinya dan negaranya ingin merajut tali relasi dengan Iran.
“Kami tidak ingin Iran jatuh dalam lubung masalah. Tapi sebaliknya, kami ingin Iran dalam keadaan gembira dan berkembang. Kami memiliki kepentingan di Iran dan mereka juga memiliki hal yang sama di kerajaan Riyadh sehingga Kawasan dan dunia bergerak ke arah perkembangan dan kemajuan,” tambahnya.
Reuters melakukan perbandingan dan menjelaskan perbedaan sastra MBS tahun 2017 dan 2021.
“Ini berlawanan dengan pernyataan Putra Mahkota pada tahun 2017. Bahkan bertentangan dengan pernyataan-pernyataan belum lama ini yang mengatakan bahwa setiap ribut tanding hegemoni dua negara harus terjadi di dalam Iran, bukan di Arab Saudi,” tulis Reuters.
Reuters juga menambah analisanya dengan pernyataan salah satu Diplomat yang menyatakan, “Dikarenakan kebijakan yang lebih keras AS tentang jejak kelam Saudi di ranah HAM dan tekanan lebih terhadap Riyadh untuk menghentikan perang Yaman, Mohammed bin Salman berupaya memperlihatkan diri sebagai sekutu berpengaruh di mata Washington, yang bisa berperan dalam stabilitas regional.”
Menurut klaim Reuters, petinggi Iran dan Saudi telah mengadakan pertemuan di bulan ini pasca 6 tahun putus hubungan diplomatis. Mereka membicarakan Yaman dan resolusi nuklir tahun 2015.
Salah satu peneliti dunia Arab dan Islam di universitas Oxford, Elisabeth Kendall dalam hal ini menerangkan, “Saudi sangat butuh jalan keluar dari rawa Yaman, yang bisa disebut kemenangan, bisa pula mengandung nama baik.”
Begitu pula seorang analis dari LSE Middle East, Madawi al-Rasheed meyakini bahwa salah satu alasan perubahan sastra ini adalah pengaruh Joe Biden.
Perubahan juga terlihat kala membahas Mukawamah Yaman, Ansarullah. MBS menyebut al-Houthi memiliki karakteristik Arab dan Yaman.